Sore itu, kami baru saja tiba kembali ke markas alias kantor Dinas Sosial setelah hampir seharian bertugas di wilayah yang terdampak bencana. Kami semua anggota pramuka dan beberapa kelompok aksi sosial beserta warga bergotong-royong membersihkan rumah-rumah warga yang berlumpur.
Letih itu pasti, tapi rasa lega karena bisa segera beristirahat lebih memenuhi rongga dada.Aku tersenyum melihat Justin berdiri menantikan bis berhenti dan menurunkan kami semua. Matanya mencari-cari. Aku tahu itu pasti aku yang dia cari. Ingin rasanya aku berlari turun dan menghambur dalam pelukannya, tapi segera kuhapus keinginan itu.
Wajahnya berseri-seri saat aku turun lalu berjalan menghampirinya. Meme melesat langsung ke mess dan meninggalkan aku. Justin dan aku saling bertukar pandang melihat gerak si Meme."Gimana ? " Tanya Justin penuh perhatian.
"Beres." Jawabku sambil mengacungkan jempol
"Kamu capek ? " Tanyanya.
"Iya. "
"Istirahat. Nanti aku mampir ke mess kamu. " Bisik Justin ke telingaku lalu berjalan menghampiri orang di belakangku. Oh, rupanya di belakangku ada ketua rombongan yang ingin melapor.
Terseok-seok aku melangkah menuju mess. Lalu bersiap mandi. Meme membisu seribu bahasa. Aku tak berniat membuka omongan juga. Aku paham kalau dia berhak marah atau kecewa padaku karena sikapku pada Justin yang mungkin dianggapnya di luar batas kewajaran.
Selesai mandi aku memilih berbaring sejenak melepas lelah. Dan aku ketiduran hingga magrib. Selesai magrib kami semua bersiap makan malam bersama di aula. Meme tetap membisu hingga kami kembali lagi ke mess. Sepanjang waktu makan aku tak melihat Justin. Mungkin dia sedang ada tugas.
Sesampainya kembali di mess, aku berhenti untuk duduk santai di teras. Meme dan rekan-rekan yang lain memilih sibuk dengan hape masing-masing di ranjang masing-masing.
Aahhh... Kusandarkan punggung ke kursi kayu panjang ini. Malam memang telah turun, namun lampu teras yang temaram tetap menerangi dengan nyaman. Saat ini aku enggan mengulik hapeku. Jujur, karena atmosfir di sini begitu menyelimuti semua inderaku. Mata ini hanya bisa memandang Justin, pikiran ini hanya tertuju padanya. Lingkungan sekitar pun begitu syahdu, tetap ada keramaian, tapi nuansa alam lebih dominan. Udara malam yang sejuk dan rimbunan pohon di kejauhan adalah sensasi yang tak akan kutemukan di Pontianak.
Maka, ketika Justin benar-benar datang melangkah mendekati teras mess ini, aku langsung terlonjak berdiri menyambutnya.
"My sweet angel ! " Bisikku perlahan saat dia hadir di hadapanku dan menggenggam tanganku.
"Apa, Via sayang ? " Demikian godanya.
Kami lalu duduk berdempetan. Hangat tubuh masing-masing sungguh menenangkan. Rasanya aman dan nyaman. Kalo begini terus, sepertinya aku akan tertidur nyenyak di sampingnya.
"Lama nunggunya ? " Tanya Justin.
"Iya. Kamu kemana ? " Aku balik bertanya.
"Tadi setelah ketua rombonganmu laporan, ada masalah sedikit rupanya tapi harus koordinasi dengan pak camat. Ya, lumayanlah beresinnya." Lapornya.
"Udah selesai kah ? " Tanyaku.
Anggukan kepalanya mengkonfirmasi.
Justin semakin merapatkan tubuhnya padaku. Satu kecupnya singgah di kepalaku yang bersandar di bahunya. Aku tersenyum. Getaran itu masih ada.Tak lama kami mendengar suara langkah kaki dari dalam mess yang membuat kami segera merenggangkan diri. Ternyata yang datang adalah Meme. Dia lalu duduk juga di teras, di seberang kami.
"Aku mau tanya sama kalian, sebenarnya ada apa di antara kalian ini ? " Tanya Meme.
"Seperti yang kamu lihat. " Jawab Justin singkat.
Meme menggelengkan kepalanya."Jadi kamu sama bu Via ini pacaran ? " Tanyanya sebagai penekanan.
Justin tak menjawab dengan kata tapi malah merangkul bahuku.
"Sejak kapan ? " Tanya Meme.
"Sejak kita tugas dulu di sekolah. " Jawab Justin.
"Benar bu ? " Pertanyaan Meme diarahkan padaku.
"Iya." Jawabku.
Meme menatapku tak percaya. Baru kemudian dia menghela napas.
"Kalian tahu kan kalo apa yang kalian lakukan ini salah ?! " Meme mulai mengomeli kami.
"Agama saja berbeda. Apalagi usia. Bagaimana kalian bisa memilih untuk bersama ? " Lanjutnya.
"Itu urusan kami, Me. " Nada suara Justin terang-terangan menunjukkan ketersinggungannya.
"Ok." Meme pun tampak tersinggung.
"Aku hanya mengingatkan kalau apa yang kalian lakukan ini hanya menyakiti diri kalian sendiri. Aku tetap sayang dan peduli sama kalian berdua, tapi aku sedih kalian memilih begini. " Kata Meme. Lalu dia berdiri dan masuk kembali ke dalam.
Justin menarikku dalam pelukannya.
"You know I love you. Ga usah pedulikan dia. " Bisik Justin. Aku diam saja. Meme sesungguhnya mengatakan kebenaran yang telah kurasakan sendiri kepahitannya kemarin-kemarin. Dan yang saat ini sedang terajut, aku merasa begitu lemah hingga memilih terhanyut dalam pusaran ini.
Sesaat kemudian Justin melepaskan aku. Tapi dia malah memposisikan diri berhadapan denganku dan menatap wajahku dalam-dalam.
"Wajah ini.." Jemarinya mengusap keningku, alisku, pipiku, hidung, kemudian bibir, dan akhirnya ke daguku. "Wajah yang tak pernah bisa kuhilangkan dari pikiranku. Sejak bertemu, lalu pisah, dan sekarang bertemu lagi, wajah ini tetap sama. Tak berubah sedikitpun. Malah menjadi semakin cantik. Tak usah ngomong usia kalau itu tentang kamu. Kamu muda selamanya. Malah aku nanti yang akan semakin menua. " Kata Justin dengan suara yang dalam.
"Kenyataan bicara lain, Justin. Tak lama lagi akan ada banyak uban, keriput, dan bayang-bayang menopause." Kataku miris.
"Kalau pun harus begitu, aku percaya kamu tetap cantik dan sangat menarik buat aku."
"Tapi kamu makan babi. " Celotehku memecahkan rasa sesak akibat pembicaraan romantis. Justin ngakak. Aku pun juga tertawa oleh leluconku sendiri.
"Ya, ntar aku nggak makan lagi. " Katanya sambil tersenyum.
Aku memeluknya dan bilang di telinganya , "I love you. "
Justin menjawab, " I love you, too. "

KAMU SEDANG MEMBACA
Justivia
RomanceKatakanlah aku harus move on dari segala kekusutan ini... Maka akan kukatakan " Andai dapat mengulang waktu, aku tak ingin mengenalmu, Justin. " Kenyataan adalah sebuah lukisan besar yang kadang tak dapat dimengerti alirannya. Kadang sebuah sketsa h...