"Assalamu'alaikum...." Suara salam di teras itu mengagetkanku. Bukan apa-apa, aku sedang konsen membuat sketsa wajah Justin. Suara itu kukenal dengan baik. Itu suara Vania.
"Waalaikumussalam.." Jawabku sambil berdiri dan menuju ruang tamu. Kubukakan pintu dan benar, itu Vania yang berdiri dengan cengiran lebarnya.
"Masuklah, Nia." Kataku.
"Iya kak. Ini aku bawakan burjo untuk kakak." Katanya sambil mengangsurkan satu rantang susun dua. Itu rantang panti. Pasti dia dari sana.
"Kebiasaanmu ya, rajin masakin burjo buat adik-adik di panti."
Kusambut rantang itu dan membawanya ke meja makan tempatku tadi membuat sketsa.
Vania mengekoriku lalu mengamati sketsaku yang belum sepenuhnya kelar.
" Kece badai ini cowok. Korban drakor ya kak ? Sejenis oppa-oppa gitu ?" Tanya Vania.
Aku mengambil sendok, lalu duduk dan mulai menyuap.
" Bukan. Itu produk lokal." Aku tertawa setelahnya.
Vania menaikkan sebelah alisnya."Hei, sejak kapan doyan brondong ? Hehehe..."
"Kata siapa doyan... Napsu tau ! "
Dan kami tertawa berbarengan...
"Jadi ini burjo program perbaikan gizi lagi ?" Tanyaku.
" Anggap aja gitu lah, kak. Kebetulan lagi ada rejeki, bagi-bagilah ke adik-adik, walau cuma burjo campur ubi dan jagung."
" Enak banget loh ini, jahenya ada terasa tapi ga berlebihan." Pujiku.
" Siapa dulu dong yang ngajarin...kan kakak Via yang cantiknya ga luntur dari dulu sampai sekarang."
Katanya." Ga usah memuji, ga bakal kukasi angpau juga..hahaha.."
Aku menyendok lagi, benar-benar pas dan nikmat. Pas lapar-laparnya karena abis ngegambar, eh, ada burjo yang nikmat.
"Gimana tugasnya ? Jadi ditempatkan di mana ?"
Tanyaku.Vania ini baru saja lulus pengangkatan jadi perawat. Aku belum tau dia ditempatkan di mana.
" Di puskesmas batas kota kak. Lumayan. Lagi nyari kosan juga yang dekat situ. Biar hemat uang transpor."
Katanya.Ping !
Sebuah pesan WA masuk. Dari Justin."Bisa nolong ga ?"
Gitu bunyinya. Aku mengkode Vania minta waktu membalas pesan." Tolong apa ?"
" Tolongin teman yang kritis mau bunuh diri. Nadinya ditusuk-tusuk pakai jarum. Sekarang dia hampir pingsan."
" Aduh ! Kirim alamatnya. Aku ke sana."
Kemudian sebaris alamat masuk. Aku segera berganti pakaian sambil mengabari Vania yang kebingungan.
"Nia, kita nolongin orang yang hampir pingsan karena mau bunuh diri."
" Canda kakak ni." Tanya Vania tak percaya.
" Serius. Yuk, cabut !"
Tak lama kami sampai di kosan teman Justin. Ada beberapa orang duduk di teras. Justin langsung berdiri menyambut kami. Aku menatapnya ingin tau. Dia membalasku dengan tatapan yang sama.
"Ayo masuk. Kita ke kamarnya saja."
Kami lalu mengikutinya ke dalam kamar. Seorang perempuan berwajah imut cantik terbaring lemas dan seorang perempuan lagi duduk di sampingnya dengan mata berkaca-kaca. Yang terbaring itu teman satu kelas di angkatan Justin. Perempuan itu terbaring pasrah, matanya merah dan basah oleh airmata saat Vania mengecek kondisinya. Cewek itu diam membisu bahkan saat ditanya dengan suara lembut oleh Vania.
Justin memepetku dan berbisik, "Siapa?"
"Adik di panti. Dia perawat." Jawabku.
Lalu gantian aku yang bertanya, " Siapa ?"
"Teman kuliah. Satu daerah asal. Baru putus sama cowoknya." Ah, lemah. Diputusin malah nekat bunuh diri. Aku menggerutu dalam hati. Tapi kemudian aku beralih topik karena Justin memepetku lagi, lebih rapat. Bau harum parfum dan keringatnya menyerangku tanpa permisi.
Lucu juga kupikir caraku dan Justin berinteraksi barusan. Tanpa banyak bicara, hanya gerakan.
Lalu kami kembali memperhatikan Vania yang terlihat cemas.
"Kak, kita bawa ke puskesmas terdekat ya. Di area ini ada puskesmas 24 jam." Katanya.
"Ada mobil ? " Tanyaku pada Justin. Dia menggeleng.
"Ok, kita pesan taksi online aja." Kataku sambil meraih hapeku.
Tak lama taksi datang, kami membopong gadis itu ke dalamnya. Vania dan teman perempuan yang sedari tadi menemaninya ikut ke dalam mobil. Sementara aku dan Justin mengendarai motor masing-masing.
Sesampainya di puskesmas, gadis itu segera ditangani. Dipasangi infus, dan mulai dibersihkan lukanya, perawat yang bertugas mulai menjahit luka setelah mendapat arahan dari dokter jaga. Wajahnya tenang dan berbisik, " Sayangi nyawanya kak..."
Aku, Justin, dan Vania cuma bisa diam. Lalu memilih duduk di kursi dekat situ.
"Kenalin, saya Vania." Kata Vania sambil mengulurkan tangan pada Justin. Justin malu-malu menyambutnya. Senyumnya juga malu-malu seiring ia mengucapkan namanya. "Justin."
"Justin aja ?" Goda Vania.
Justin mengangguk."Nia.." Bisikku. Maksudku agar dia berhenti membuat Justin jadi kikuk begitu.
"Oh, ini ya oppa versi produk lokal itu..." Vania terang-terangan menatap muka Justin, hampir seperti ingin mencaploknya.
Tapi celetukan jahilnya itu yang berhasil membuat aku dan Justin bertatapan.
"Nia.." bisikku lagi.
Eh, malah jemariku digenggam Justin. Itu konfirmasi yang sangat jelas bagi Vania untuk segera tutup mulut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Justivia
RomanceKatakanlah aku harus move on dari segala kekusutan ini... Maka akan kukatakan " Andai dapat mengulang waktu, aku tak ingin mengenalmu, Justin. " Kenyataan adalah sebuah lukisan besar yang kadang tak dapat dimengerti alirannya. Kadang sebuah sketsa h...