33. | You're Amazing, Via.

6 0 0
                                    

Pipiku basah, mataku panas, dan aku masih saja sesenggukan. Aku belum bisa menerima kenyataan Justin pergi. Sepotong pesan yang aku kirimkan lewat WA hanya bercentang satu. Itu sudah 5 jam yang lalu.

Jam 10 malam sudah. Aku belum makan apapun. Hilang rasa ingin makan atau minum. Aku masih mengharapkan Justin tiba-tiba muncul di depan pintu rumahku itu, lalu dengan senyumnya dia menghiburku.

Aku memberanikan diri menelepon. Nomornya tidak aktif. Berbagai kemungkinan berseliweran di benakku. Mungkin saja ia telah dipaksa berganti nomor. Atau mungkin saja ia sengaja tidak menghidupkan hapenya hingga saat tertentu.
Aku menyusut hidung yang basah agar aku bisa bernapas sedikit lega.

Aku berdiri. Diam sejenak. Tidak, aku tidak linglung, aku tidak hilang kesadaran. Aku tetap bisa menguasai diriku. Perlahan aku melangkah ke tempat wudhu. Aku sucikan diri. Aku sungguh-sungguh sadar betapa kotor diriku, membiarkan diri hanyut dalam nafsu. Aku hanya manusia. Tempatnya salah, lupa, dan khilaf.

Sholat Isya yang sudah jauh dari kata tepat waktu ini, membuatku menangis lagi setelahnya. Doaku hanya, "Yang terbaik ya Allah. Bila engkau izinkan, ampuni hambamu ini."

Sesaat sebelum membaringkan diri di ranjang, aku menoleh ke cermin. Sungguh menyedihkan penampilanku ini. Aku meraih selimut dan berusaha tidur. Kuharap esok pagi, segala kesedihan dan kepedihan ini akan berakhir.

Pagi tiba dan aku terpaksa meminta izin dengan alasan sakit. Bagaimana mungkin aku bisa hadir di sekolah dengan mata sembab begini ? Walaupun tanpa kehadiran murid-murid, tetap saja akan mengundang tanya dari rekan-rekan sejawat.

Perlahan-lahan aku menyiapkan sarapan. Aku tidak sedang terburu-buru. Selesai mandi pun aku cuma duduk bersandar di sofa ruang tamu. Menatap hiasan dinding berupa kain tenun model ikat kepala itu. Itu memang ditenun oleh tangan perajin dari Sintang. Justin memang memilih paduan biru tua dan merah. Dominan biru tua, warna kesukaannya. Itu diceritakannya padaku saat mendekorasi ulang ruang tamuku ini.

Suasana hening sekali. Aku enggan menyalakan laptop untuk sekedar mencari suara pengisi keheningan ini. Aku membiarkan diri hanyut dalam putaran jarum detik yang mencipta menit, lalu jam. Tak apa. Hapeku sepi dari notifikasi. Pesanku untuk Justin tetap centang satu.

Demikianlah hari berlalu menjadi minggu. Minggu bertambah jadi bulan. Tetap pada posisi tidak ada kontak apapun dan notifikasi apapun. Pada akhir bulan ketiga aku memberanikan diri mengunjungi rumahnya.

Aku berhenti di tepi jalan depan rumahnya. Rumah itu terlihat kosong dan tak terawat. Sulur-sulur tanaman liar mulai merambati lantai teras. Rumput meninggi di bagian samping. Aku bingung tapi tak mau membiarkan kebingungan itu tinggal. Aku mencoba bertanya pada tetangganya yang mempunyai kebun mawar jingga itu.

"Justin udah lama pindah. Mungkin sudah 3 bulan ya. Saya juga tak tahu dia pindah ke mana, soalnya dia pergi juga tanpa pamit. " Demikian penjelasan si ibu yang tak lepas memandangiku lekat-lekat.

" Ibu ini siapanya ?" Tanyanya penasaran.

"Oh, saya teman ibunya." Jawabku asal. Lalu aku berpamitan.

Semakin aku menjauh dari lokasi rumahnya, semakin hati ini terasa seperti dicabik-cabik. Terputar kembali semua kenangan manis bersama Justin di rumah itu. Termasuk juga yang menyedihkan seperti saat aku menemukan dia babak belur habis dihajar oleh abangnya.

Sampai di rumah, aku memutuskan untuk menjalani hari seperti yang diminta Justin. Aku harus hidup berbahagia walau tanpa dirinya. Maka aku meneruskan rutinitasku bekerja, memberi les dan bantuan di panti asuhan milik Bu Rauda, meneruskan ketikan novelku, tetap berolahraga seperti biasa, tetap tidur pada pukul 9 malam. Aku sudah sangat membatasi diri untuk keluar rumah maupun bersosialisasi dengan teman-teman sebayaku baik sesama alumni saat sekolah dan kuliah, juga tetangga yang kurang lebih seumuran. Selain memang begitu besar perbedaan status antara lajang dan berkeluarga, toh, topik pembicaraan pun tak lepas dari pengulangan masa lalu yang membosankan, atau prospek bisnis yang saling memguntungkan kedua pihak. Jadi, aku memilih menjalani duniaku sendiri.

Sosial media adalah juga salah satu pelipur lara. Seringkali kumanfaatkan untuk mempromosikan tulisanku yang kupublish di salah satu platform kepenulisan. Namun aku juga menerima kenyataan kalau Justin sudah memblokir aku dari semua sosial media yang dimilikinya.

Ada rasa sedih, marah, kecewa. Semua kuanggap tak logis dan tak adil. Tapi aku tak mampu mengubahnya. Aku hanya bisa menerima. Aku bahkan takut menyimpan harapan untuk bertemu dengannya lagi. Hari demi hari aku belajar untuk menerima kenyataan bahwa apa yang pernah terjadi sebenarnya adalah ilusi. Mungkin itu adalah semacam mimpi dalam bentuk lain. Dan sekarang semuanya sudah berakhir. Seringkali aku menelan ludah dan menghela napas untuk memupuk rasa tabah dan sabar di diriku ini.

Namun percayalah, semua rasa sabar dan tabah itu gugur bila Justin hadir dalam mimpiku. Dan itu dapat dibilang kerap terjadi. Entah apa sebabnya, kurasa tubuhku ini punya bahasanya sendiri untuk mengungkapkan rasa sakitnya juga. Mimpi-mimpi itu beragam. Dari yang hanya selintas saja ia datang dengan senyuman hingga mimpi erotis yang membuatku terbangun karena rasa sesak dan jantung berdebar.

Maka, kutuliskan saja apa yang kualami dalam mimpiku itu. Ada satu folder tersembunyi di laptopku dan aku juga punya backupnya di penyimpanan online. Aku perlu menuliskannya bukan karena aku suka mengulang membacanya tapi aku perlu menyimpan untuk melupakannya.

Aku punya mekanisme sendiri dalam melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Aku selalu saja membayangkan deretan loker dalam jumlah banyak. Satu kenangan yang kulabel dengan tulisan DILUPAKAN akan kumasukkan ke loker itu. Maka pikiranku akan mengingat bahwa hal tersebut sudah kusimpan dan kukunci di loker, untuk tidak aku buka kembali. Hal tersebut aman di sana tanpa membuatku khawatir ia akan muncul tiba-tiba mengganggu hidupku yang sudah kubuat nyaman ini.

****
Dua tahun kemudian...

Demikianlah perjalanan hidupku sehari-hari hingga dua tahun kemudian ada sebuah pesan WA masuk dari Meme. Dia adalah salah satu dari 9 perempuan dalam kelompok KKN Justin yang bertugas di sekolah kami dulu. Dia dulu adalah juru bicara kelompok mereka. Anaknya memang punya kemampuan public relations dan public speaking yang bagus. Meme ini ternyata masih aktif di kegiatan Pramuka walaupun sudah lulus level S1 dan sekarang sedang menempuh level S2. Meme menghubungi aku karena ada program relawan dari Unit Pramuka kampusnya. Mereka butuh relawan guru yang bisa mengajarkan bahasa Inggris pada anak-anak pengungsi korban banjir di kabupaten Sanggau. Banjir memang sedang melanda kabupaten tersebut dalam beberapa waktu belakangan ini. Curah hujan yang tinggi dan rendahnya daya serap tanah membuat banjir menjadi bencana.

Mulanya aku enggan, bukan apa-apa, itu di Sanggau. Walaupun tak ada kemungkinan bertemu dengan Justin, tapi dia kan berasal dari sana. Semua yang berhubungan dengan Justin rasanya berat sekali membebani hidupku. Namun Meme pandai merayu. Katanya siapa lagi yang bisa nolong dia untuk kualitas seperti aku. Katanya aku pasti nggak ada masalah menghadapi anak-anak yang sedang kesusahan itu.

Akhirnya kuterima setelah sepakat bahwa program relawan ini hanya dua minggu saja, kami hanya akan tinggal di mess dan keliling hanya di lokasi pengungsian saja, dan kami di sana dilindungi oleh aparat keamanan dan kami resmi di bawah koordinasi Dinas Sosial. Aku tak suka kegiatan yang aneh-aneh bersifat hura-hura dan yang semacamnya.

Baiklah, dan aku mulai mengemasi ranselku karena esok sudah mulai briefing pertama di Unit Pramuka menjelang keberangkatan tiga hari kemudian.

JustiviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang