Aku membuka pintu rumahku sendiri, menyalakan lampu teras dan ruang tamu, menyandarkan ransel di sisi sofa, kemudian melepaskan sepatu, dan akhirnya duduk diam di sofa. Diam. Sungguh diam. Bukan ekspresi lega seperti biasanya setelah bepergian, tapi ini cuma setengah lega. Memang kuakui aku bahagia sampai di rumah, karena bisa menikmati kamar mandi yang bersih, kasurku yang nyaman, dan satu mug teh tawar hangat buatanku sendiri. Namun, ada yang ketinggalan di Sanggau. Separuh jiwaku ketinggalan di sana. Malu untuk kuakui, tapi ini nyata. Aku kembali jatuh cinta, dan aku kembali merasakan sesaknya berpisah. Perpisahan itu tidak menyedihkan, hanya menyesakkan.
Pelan-pelan kulepas kaus kaki, kerudungku, jaketku, dan kaca mataku. Semua kuletakkan di meja tamu di depanku. Biasanya aku rajin, tertib, dan teratur. Biasanya aku akan langsung meletakkan semua pada tempatnya, kemudian mandi yang bersih, dan menyiapkan makanan hangat untuk memulihkan tenaga. Tapi kali ini aku enggan bergerak. Manja sekali kuanggap diriku ini karena terselip keinginan untuk menghadirkan Justin di ruang tamu ini. Seperti dulu. Itu kan tidak mungkin.Maka kubujuk diriku untuk beranjak dan membersihkan diri. Aku enggan mengirim chat singkat untuk mengabari aku telah sampai. Aku ingin dia duluan yang mengirim chat.
Jadi, sampai pada saat aku telah memeluk guling, dan mata telah hampir terpejam, barulah hapeku berdering. Justin meminta video call.
Aku memiringkan tubuh baru menerima video call itu. Sebentar kemudian, tampaklah wajahnya di layar hapeku. Dia pun ternyata sedang berbaring. Di kamar mess itu. Masih dengan sarung bantal berwarna biru muda itu."Hai." Sapanya. Senyumnya malu-malu.
"Apa.. " Aku melengos malu.
Eh, kenapa jadi malu-malu begini ?"Udah tidur kah ? " Tanya Justin. Sungguh aku kangen suaranya dan logat khas daerahnya itu.
"Baru mau akan. " Jawabku. Justin tersenyum lebar. Dia suka akan kebiasaanku yang kalau menjawab suka asal-asalan.
"Kamu... " Justin tidak menyelesaikannya. Aku menaikkan alis, dia juga. Dan kami tertawa sesudahnya.
"Kamu cantik. " Itu kemudian yang Justin katakan.
"Iya, aku tau. Udah lama begitu. " Jawabku santai. Justin merengut kemudian tertawa lagi.
"Baby, sini lah. " Kataku.
"Iya, ntar. " Jawabnya. Giliranku yang sekarang tersenyum lebar.
" Serius. Kapan bisa sama-sama lagi ? " Tanyaku.
" Secepatnya ya. Kamu kan tau aku masih ada tugas. Dan tugas ini juga belum tau kapan selesainya. "
"Iya, aku tau. Bapak Korlap ga boleh kabur dari tugas, nanti bisa dihukum push up 100 kali. " Olokku.
"Tar kamu aja ya, yang disuruh push up. Bagi dua sama aku. " Goda Justin.
"Yeee... Nggak mau ! " Seruku.
"Daaah, sekarang kamu tidur. Besok udah ngajar kah ? "
"Belom, masih minggu depan. "
"Trus, besok kamu mau ngapain ? "
"Mau main sama adek-adek panti. Mau belanjakan cemilan buat mereka. Sekalian ketemu sama ibu Rauda. Si Vania juga mau ketemu aku besok. "
"Vania si perawat itu ? " Tanya Justin. Rupanya dia ingat.
"Iya. Dia belom tau kita ketemu lagi. "
"Ga usah bilang-bilang. Nanti aja kalo emang udah saatnya. "
"Iya sih. "
"Tidur." Bisik Justin.
"Iya." Sahutku berbisik juga.
"Besok chat aku ya. Kita saling kasi semangat. " Pinta Justin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Justivia
RomanceKatakanlah aku harus move on dari segala kekusutan ini... Maka akan kukatakan " Andai dapat mengulang waktu, aku tak ingin mengenalmu, Justin. " Kenyataan adalah sebuah lukisan besar yang kadang tak dapat dimengerti alirannya. Kadang sebuah sketsa h...