11.| Kunjungan Dospem

4 0 0
                                    

Sudah mendekati minggu terakhir mereka bertugas di sekolah ini. Proyek pohon pengukur tinggi badan juga sudah hampir selesai. Beberapa alat peraga pendukung materi pelajaran hasil karya mereka juga sudah mulai digantung di beberapa kelas. Papan nama kelas dan wali kelasnya juga sudah dipasang di atas ambang pintu masing-masing kelas. Dua  set tempat cuci tangan beserta sabun cair yang masih penuh mengisi botolnya pun sudah dipajang.

Senang juga melihat beberapa perubahan ini. Suasana sekolah jadi lebih ceria. Apalagi ada kejadian lucu kayak kemarin...hahaha...aku tertawa dalam hati.

Kemarin pagi, aku sedang sibuk mengetik soal di kelasku. Anak-anak KKN yang lain juga tengah sibuk dengan urusannya masing-masing. Tiba-tiba ada suara menyapaku begini, " Excuse me, ma'am. Did you call me ?"

Aku menoleh. Suaranya tipe om-om gitu sih, ternyata si Arief.

"Nggak ada saya panggil kamu. Tadi saya cuma panggil Justin, sih."

Wajahnya bingung sesaat.

"Pasti kamu lagi dikerjain nih sama temen-temen kamu." Kataku.

Arief tertawa dan segera balik ke kelas sebelah, tempat teman-temannya berkumpul. Tak lama terdengar suara tawa membahana.

Belakangan aku tahu emang dia dikerjain teman-temannya gara-gara dia suka datang telat.

Nah, hari ini rupanya dospem alias dosen pembimbing mereka akan datang. Tentunya mau ketemu kepsek dan guru-guru. Juga mau memeriksa pekerjaan mereka selama ini. Katanya sih pak dospem ini udah tua tapi dosen favorit di kampus mereka.

Ibu-ibu guru pada sibuk menyiapkan masakan untuk menjamu pak dospem itu. Berkali-kali aku menghubungi Justin lewat telepon untuk memintanya mencarikan beberapa temannya untuk membantu kami mempersiapkan masakan.

Entah mengapa, dari dua sisi, pihak sekolah dan pihak mahasiswa, semuanya bermuara padaku kalau ada keperluan atau untuk berkomunikasi. Mungkin karena aku pernah membimbing mereka dalam menentukan program. Padahal guru-guru pendamping lainnya kulihat sangat akrab dengan anak-anak mahasiswa bimbingannya.
Ya sudahlah, kuterima saja posisi ini. Bu Yussi bertanya apa mereka sudah menyiapkan kue ? Ya aku ga tau dong. Kutelepon Justin. Saat itu posisiku di depan pintu dapur yang koridor lurusnya berakhir pada kelas ujung tempat Justin dan teman-temannya biasa berkumpul.

Pada deringan kedua, panggilanku dijawab.

"Halo.." Sapanya.

"Justin, mau tanya.." kataku.

Di ujung sana, Justin keluar kelas dengan gaya berlari dan mengerem langkah, membuatku ingin tertawa saja. Sungguh kekanakan gayanya. Aku mematikan panggilan dan berjalan menuju ke arahnya. Dia pun begitu. Lalu kami berhenti di depan pintu kelas yang terletak di pertengahan.

Owh !
Kok gini sih...kok rasanya kayak anak SMA..
Stupid ! Aku memaki diriku sendiri.

"Emm...kalian ada siapkan kue nggak buat acara nanti ?" Tanyaku.

" Kue ? Kayaknya ga ada, bu." Jawab Justin.

Eh, tiba-tiba datang pak Jul, cleaning service sekolah. Pria tua  itu menghampiri kami dengan wajah serius. Ah, rutukku dalam hati. Pak Jul ganggu aja deh !

"Kue udah ade keh untuk acara ? Saye bise pegi belikan." Katanya dalam dialek bahasa melayu Pontianak yang biasa digunakannya sehari-hari.
Ah ! Kue lagi, kue lagi...

"Belum ada pak." Jawabku.
Lalu kurogoh kocek. Kukeluarkan selembar seratus ribuan.  Kuberikan pada pak Jul.

" Bapak tolong belikan ya. Dua macam. Satu asin, satu manis. Secukupnya."

Dia pun segera pergi.

"Udah bu ? " Tanya Justin.

"Udah." Jawabku.

"Saya pamit, balik ke teman-teman."

"Okay."

Dia pergi, dan aku memaksa diri masuk ke kelas di sampingku itu. Aku perlu menenangkan diri dari degup jantung yang berlebihan dan rasa nyeri peru yang tiba-tiba menyerang. Aku memang sedang mengalami menstruasi hari kedua, hari dimana sedang banyak-banyaknya dan kadang disertai nyeri. Kadang juga tidak ada keluhan apapun. Kurasa gejolak hormon yang membuat rasa nyeri ini datang.

Aku duduk di bangku siswa, menyandarkan lengan dan kepala di meja. Perlahan menarik napas dan menghembuskannya.

Dan tibalah jua sang dospem. Yang kami sambut dengan baik. Yang menyampaikan rasa terima kasihnya atas sambutan dan bimbingan kami terhadap para mahasiswanya. Yang sempat bertukar cerita denganku tentang kegiatan mahasiswa di kampusnya, juga tentang Ria, dosen di kampusnya yang juga teman waktu aku SMA dulu. Aku mengabarinya apa-apa saja kegiatan anak-anak KKN di sekolah kami. Semua berjalan mulus dan lancar.

Acara makan bersama pun berjalan dengan meriah. Serbuan datang tak cuma dari anak-anak KKN, juga dari guru-guru yang sudah lapar dari tadi. Ruang guru jadi penuh sesak.

Aku mencuri pandang pada Justin seorang. Ia tampak sabar membiarkan teman-temannya menyerbu hidangan. Pose khasnya, berdiri dengan sebelah lengan memeluk dada, sebelah lengan lagi bertopang di atasnya, dan jari telunjuk menggosok pelan hidungnya. Walau tertutup masker, sensasi merinding yang kurasakan tetap saja sama. Ih, pose mematikan. Belum lagi tatapannya. Jangan coba-coba deh nyari tatapannya.

Saat dospem pulang, aku menarik napas lega. Kemudian mengasingkan diri ke kelasku sendiri. Duduk dan menyandarkan kepala pada lengan di meja. Nyeri ini sedang hebat-hebatnya.

Eh, kenapa satu persatu anak-anak itu datang padaku ya ? Memasuki ruang kelasku dan berdiri berkerumun di pintu kelas. Mukanya pada iba, "Ibu sakit ?"

"Engga, cuma nyeri perut aja. Lagi mens." Jawabku.

"Ga dioles minyak kayu putih aja perutnya ? " Tanya Tini.

"Udah." Jawabku.

Justin yang baru bergabung langsung mengambil kursi dan duduk. Sepertinya tadi dia mau duduk dekat aku, tapi dia menggeser agak jauh. Mikir ada temen-temennya, dia malu kali. Tatapannya sedikit bingung melihat kondisiku, tapi dia tidak bertanya.

Mereka rupanya minta pendapatku soal tugas baru mereka untuk membuat garis dengan cat pada lapangan sekolah. Mereka tanya anak-anak di sini suka olahraga apa. Kujawab mereka suka olahraga sepakbola. Justin tersenyum sedikit. Mereka minta saran, gimana bagusnya mereka ngomong sama guru yang minta bantuan mereka itu.

"Kalian beberapa orang coba datangi bu Yussi. Jangan rame-rame. Lalu tanyakan soal lapangan yang mau kalian cat. Pasti setelah itu dia akan panggil guru olahraga dan minta pendapatnya. Kalian tinggal koordinasi aja." Gitu saranku.

Hmmph...nyeri ini...
Mau ngomong aja rasanya tak sanggup.
Lalu mereka pamit untuk menjumpai bu Yussi di ruang guru.

Saat pulang, aku hanya bisa berjalan gontai menuju kamarku. Membuka jilbab saja tanpa ganti baju dan buka kaos kaki, aku membaringkan tubuhku.
Ah, nyeri ini. Mengapa harus hadir hari ini sih, di antara banyak hari-hari lainnya.











JustiviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang