10.| Chat Yang Kebablasan

5 0 0
                                    


"Kayaknya abis ini, kita saling hapus chat ya."

"Kenapa bu ?"

" Nggak enak aja. Rasanya kayak kebablasan."

" 🙂😇"

Itu potongan chat terakhir malam ini sebelum aku mematikan data dan membaringkan diriku sendiri di atas ranjang.

Kami memang sering berbalas chat di WA. Seringnya emang karena aku yang memulai chat. Aku suka berbalas chat dengannya. Karena hanya lewat chat kami bisa enak berbicara. Kalau di sekolah, kami memang jarang bicara juga terikat kesibukan masing-masing.

Hampir segala hal kami bicarakan dalam chat. Bercanda. Dan membicarakan hal-hal yang sifatnya sangat pribadi.
Sampai aku merasa, kami sudah kebablasan. Akan sangat bahaya jika chat ini terbaca oleh keluarganya atau cewek yang sedang dekat dengannya.

Hhhh... Kuhembuskan napas perlahan dan memiringkan badan ke kiri, menatap gorden polos warna biru tua yang menutupi jendela kamarku. Kulukis dirinya di situ, sosoknya, wajahnya, bahkan senyumnya.

Kulirik jam dinding di sebelah jendela. Sudah pukul 23.30. Sudah lama lewat dari jam tidur yang seharusnya. Aku memang selalu memastikan tidur cukup agar dapat bekerja baik esok harinya. Juga untuk menjaga kesehatanku. Aku sangat tak suka sakit, karena kalau sakit, aku harus merawat diriku sendiri. Itu menyebalkan buatku.

Respon Justin kalau di WA memang selalu hangat dan selalu terbuka menjawab semua pertanyaannku. Beda dengan kalau di sekolah. Kuharap sikap manisnya ini bukan hanya sekedar basa-basi dengan guru pamong semata.

Kuraih hape, ku buka aplikasi Whatsapp, kucari chat dengannya tadi. Kuhapus emang. Lalu kuketuk profilnya, tak sengaja terkena icon video call.

Aku panik ! Aku sangat jarang video call. Jadi aku gagap tak tahu harus pencet apa sampai teringat pada icon merah itu. Langsung kuketuk untuk menghentikan sambungan video call. Untung saja belum diangkat olehnya.

Ping! Bunyi chat masuk.

"Ada apa bu ?" Dari Justin.

Wah, aku malu berat. Gimana ini ?! Alasan apa untuk menutupi ketidaksengajaan tadi ?

"Maaf tak sengaja kepencet." Aku memilih jujur.

" Oh, gpp." Itu balasannya.

"Suer ✌️" Balasku. Kututup muka pakai bantal. Tapi itu kan nggak ngaruh sebenarnya.

"😇" Itu saja balasnya.

Bener-bener memalukan perbuatanku ini. Segera saja hape kumatikan dan aku berdoa tidur.

***

Esok paginya aku berbelanja dulu di minimarket sebelum sampai sekolah. Aku memang punya kebiasaan bawain kue buat Justin dan teman-temannya. Kadang beli gorengan seplastik besar juga buat mereka.

Hari ini aku kepingin minum vitamin c water yg orange. Buat Justin kupilihkan yang lemon. Lalu aku ambil snack kedelai varian almond raisin untukku dan varian coklat buat Justin. Untuk teman-temannya kubelikan biskuit.

Sampai di sekolah, aku langsung menuju kelasku, ketemu dengan Tini, dan kutitip pesan agar Justin menemui aku di kelasku.

Tak lama dia datang, mengetuk pintu sebelum aku persilakan masuk. Sopan, bersih, dan rapi dengan jaket almet biru tua. Aku juga punya itu dulu, batinku bicara.

" Ambil kursi." Titahku. Dia menarik satu kursi dari deretan terdepan. Lalu duduk di depanku.

"Hai." Sapaku. Balasannya adalah senyum malu.

"Tadi aku belanja. Ini buat kamu, ini buat temen-temenmu." Kataku sambil menyorongkan beberapa benda itu di atas meja ke arahnya.

"Terima kasih, bu." Jawabnya.

"Aku mau minta maaf atas chat yang semalam. Chat yang kebablasan."

"Nggak apa bu." Responnya. Ia meletakkan hapenya di atas meja. Kentara kalau dia mengerti aku akan bicara agak lama.

"Kita kan pernah bicara tentang kriteria perempuan ideal untuk kamu jadikan istri. Menurut kamu, seorang perempuan sempurna yang dibesarkan dalam keluarga baik-baik yang mengajarkan segala hal yang baik-baik juga. Kamu juga bilang kalo kamu tu enggak mau buru-buru. Kamu maunya siap dulu segala sesuatunya baru melangkah serius. Lalu kubilang kamu orangnya perfeksionis."

Justin menunduk sebentar, mengangguk tipis dan merilekskan posisi duduknya.

" Aku tuh jadi membandingkan dengan dirku sendiri. Aku cuma anak yang dibesarkan di panti asuhan. Aku enggak pernah tau siapa orang tuaku. Bahkan ibu panti yang menerimaku pun tak tahu juga. Aku cuma seorang bayi yang ditemukan pagi-pagi dalam kardus di halaman puskesmas."

Kurasakan airmataku memburamkan pandanganku. Justin terperangah.

"Aku belajar bersikap baik tentu karena melihat contoh di sekitarku. Aku belajar masak pada tukang masak panti, pada tetangga-tetanggaku, belajar pakai jilbab juga dari temanku..aku nggak tau gimana rasanya punya ayah dan ibu."

Aku diam dan menggigit bibir. Aku tidak akan menangis. Setua ini, aku tidak akan menangis. Kuteguk air dalam botol itu.
Kutenangkan diriku. Kucoba tersenyum.

Aku percaya senyum bisa memperbaiki keadaan.

Justin mengamatiku iba. Tak sengaja tanganku menyenggol maskerku yang kuletakkan tadi di atas meja hingga jatuh ke lantai.

" Maskernya jatuh." Justin mengingatkan sambil bersiap mengambilkan, tapi aku lebih dulu sigap memungut maskerku itu.

" Aku udah banyak ngomong nih. Giliran kamu sekarang ngomonglah." Kataku.

"Ngomong apa." Justin tersenyum. Dia emang sepertinya tak ingin ngomong apa-apa. Maka segera kukatakan, " Masih ada kerjaan kan ? Bawa ini bagi sama teman-temanmu ya."

Justin meraup kantong plastik berisi barang-barang di dalamnya dan berucap, "Saya ke teman-teman dulu, ya bu. Terima kasih."

Dan dia pergi.

Jatuh setetes airmataku.

Sedih, getir, bersalah, bahkan kucela diriku sendiri dengan label tak tau malu.

Harus apa ? Bagaimana ?

Aku menyadari, diriku yang tengah porak-poranda ini adalah buah keisenganku sendiri. Aku cukup tua untuk tahu kapan seharusnya berhenti bercanda, namun apa daya, aku terlambat menginjak rem. Semua sudah terlanjur.

Kuharap aku masih punya muka di hadapan Justin.

JustiviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang