Kuputuskan untuk tidak membicarakan hal itu lewat email. Kurasa lebih baik bila kusampaikan secara langsung. Lama menimbang dan akhirnya memutuskan, aku mengajaknya janjian di kafe sore nanti. Kusampaikan permintaanku itu lewat WA dan ia menyepakati pada tempat dan jam yang kutentukan.
Sore itu, aku tiba duluan. Kafe yang cantik. Aku memilihnya karena dekat rumahku, selalu saja kulewati saat pergi dan pulang tapi sekalipun belum pernah kusinggahi. Parkirannya luas, ada area terbuka kurasa untuk smoking area, dan yang tertutup kurasa berpendingin udara. Halamannya berhias bunga dan bambu. Catnya abu-abu dan coklat tanah. Cantik sekali. Aku memutuskan masuk dan memilih meja nomor 14 dekat jendela.
Sejujurnya aku galau berat. Aku tak berani menebak apa reaksinya, apa yang akan terjadi, dan apa efeknya padaku nanti. Yang kurasakan, aku sesak. Ingin segera melegakan perasaanku sendiri. Tapi bagaimana kalau dia tak datang ?
Aku pasrah bila kenyataan menjadi pahit seandainya dia tak datang dan ini menjadi akhir dari segalanya. Tidak mau kenal lagi, tidak mau peduli lagi satu sama lain. Kalo dipikir, emang aku selalu saja berprasangka pada Justin.
Aku memesan secangkir kopi tanpa gula, favoritku sepanjang masa. Aftertaste yang selalu membuatku ketagihan hanya ada di kopi hitam tanpa gula itu.
Lima belas menit lewat dari waktu yang kusebutkan. Dan dia belum datang juga. Sedikit keresahan mengganggu sebelum kupertimbangkan pilihan untuk pergi saja.
Aku melamun menatap bunga Bakung merah di luar sana yang bergoyang-goyang ditiup angin. Bunga yang jarang kujumpai, tapi selalu saja memukau dengan kecantikan dan kemewahan warnanya. Aku tak tau apakah ia wangi atau tidak. Tapi warna merahnya begitu eksotik dan cantik. Merah tua hampir marun.
Justin akhirnya datang juga. Kulihat kedatangannya sejak awal, masuk melewati pintu utama, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru sampai akhirnya menemukan aku. Dia berjalan sambil tersenyum dikulum. Kemejanya kotak-kotak hitam coklat, tampak t-shirt putihnya di bagian dalam. Jins biru jadi pelengkapnya.
Kemudian dia duduk di sampingku. Dekat denganku. Bukan di hadapanku. Senyumnya menandakan permohonan maaf.
"Maaf bu, saya terlambat. Tadi ada rapat persiapan liga mahasiswa." Demikian penjelasannya.
Aku menatapnya sekilas. Bukan karena aku cuek atau marah, tapi aku mulai merasa tak nyaman di dekatnya. Perasaan aneh yang kukenali pernah hadir 20 tahun yang lalu. Perasaan yang dulu pernah tercipta karena ilusi yang dibawa seniornya dari kampus yang sama.
Aku tentu saja ingin memproteksi diriku, tak ingin jatuh untuk kedua kalinya.
"Emm, sorry ganggu waktumu." Kataku. Aku memaksakan diri tersenyum. Gimana kalau dia kabur ketakutan gara-gara aku enggan tersenyum untuknya.
"Ga apa-apa bu." Jawabnya.
Seorang pelayan menghampiri, menanyakan Justin mau pesan apa. Sepertinya sang gadis pelayan ini senang melihat Justin. Dia tersenyum manis.
"Latte dan kentang goreng." Itu jawab Justin.
"Ada apa nih, bu ?" Tanya Justin.
Aku menunduk sejenak. Menenangkan batinku yang gelisah tak menentu. Kuhela napas sebentar dan mencoba tersenyum.
"Justin. Aku mau bilang sama kamu kalo aku selama ini merasa ketakutan."
"Takut apa bu ?"
"Kamu tau kan kalo aku tu suka nulis novel... nah gini, pas kita ketemu pertama kali, saat hari pertama itu. Aku terkejut karena kamu persis dengan karakter yang kuciptakan di novelku. Novel itu baru saja selesai malam sebelum paginya ketemu sama kamu."
Justin terperangah.
"Aku tuh bukannya senang. Malah takut. Takut kalau ada lagi yang jadi nyata dari apa yang aku tuliskan. Takut kalau yang terjadi tuh yang jelek. Takut kalau kamu celaka..atau apa.." Aku merasa leherku tercekat saat menyelesaikan kalimatku.
Kuteguk kopi hangat itu.
Pelayan datang dan mengantarkan pesanan Justin. Namun Justin masih menatapku tak percaya.
"Ibu ga becanda, kan ?"
"Nggak Justin. Aku takut."
Justin menyedot minumannya. Lalu diam sejenak baru buka mulut.
"Untuk semua ketakutan ibu, serahkan saja pada Allah. Saya percaya semua sudah diatur oleh-Nya. Kita cuma bisa memohon dan berdo'a."
Kurasakan bijak kata-katanya.
" Maafin aku ya, Justin."
" Maaf apa bu ? Ibu nggak ada bikin salah apapun."
" Maafin aku yang udah mengetik cerita. Maafin aku sampai kita ketemu. Aku cuma berharap semua tidak muncul jadi kenyataan."
" Ga apa ibu. Kalau ibu emang suka jadi penulis, terusin aja bu. Nggak apa kok. Kalau bakatnya memang di situ."
" Maafkan aku ya, Justin... Kumohon.. maafkan aku. "
" Iya bu. Ga apa-apa. "
Justin masih saja tersenyum. Lalu dia minum kopinya lagi. Dan menyorongkan piring berisi kentang itu ke hadapanku.
"Makan bu. Aku suka kentang goreng." Katanya.
Dia sudah mengambil sepotong dan mencocolkan ke saus yang disediakan.Aku ikut-ikutan menikmati kentang goreng. Hmm.. enak juga. Boleh ini nanti kujadikan stok buat cemilan di rumah.
"Mikir apa, bu ?" Tanya Justin.
"Ah, enggak. Kentangnya enak. Mau beli nanti buat stok di rumah." Kataku.
"Iya, saya kadang beli juga yang beku, bukan yang kemasan, tapi yang curah.. lebih murah.. hahaha.." Justin tertawa.
"Bener juga." Aku tersenyum menimpali.
"Eh, gimana kemarin seleksinya ?"
"Ya gitu, bu. Selesainya udah mau magrib. Tinggal tunggu pengumuman hasilnya aja nih." Jawab Justin.
" Kamu pasti lolos deh.." kataku.
"Amin bu. Saingannya banyak juga kemarin. Sebenarnya kemarin itu saya ada juga ditelepon kabupaten lain. Tapi saya milih daerah asal aja."
" Ciee...yang diperebutkan." Godaku.
" Ah, enggak. Biasa aja aku tuh bu. Gak lah diperebutkan." Dia tersenyum malu.
Dan obrolan berlanjut hingga kentang ludes dan kopiku tinggal ampasnya saja." Terima kasih waktunya. Udah mau ketemu sama aku di sini." Kataku.
" Sama-sama bu. Aku juga terima kasih udah banyak dapat masukan dari ibu. Ngobrolnya juga asyik sama ibu."
" Aku pulang dulu ya, Justin.." pamitku.
" Sama siapa bu ? Udah dijemput ya ?" Justin melihat ke parkiran.
"Enggak. Pulang sendiri. Aku ke kasir dulu."
"Eh, nggak usah bu, aku yang bayar. Ga apa-apa." Potong Justin menghalangi langkahku. Ia buru-buru ke kasir dan membayar. Aku berjalan pelan dan menunggu agak jauh darinya.
Lalu kami keluar kafe bersama. Berpisah di parkiran. Sepanjang itu pula hidungku menangkap aroma khas campuran parfum dan aroma tubuhnya. Kombinasi yang mendebarkan. Dan itu membuat rasa tak nyaman saat didekatnya semakin terasa menyiksa.
Saat berpisah, aku merasa begitu lega walaupun langit begitu gelap karena diselimuti mendung.
Semoga esok lebih baik. Please..

KAMU SEDANG MEMBACA
Justivia
RomanceKatakanlah aku harus move on dari segala kekusutan ini... Maka akan kukatakan " Andai dapat mengulang waktu, aku tak ingin mengenalmu, Justin. " Kenyataan adalah sebuah lukisan besar yang kadang tak dapat dimengerti alirannya. Kadang sebuah sketsa h...