17. | Makan Malam

7 0 0
                                    


Sore cerah menjelang magrib, Justin dan aku duduk-duduk di teras rumahku. Tadi dia mencegatku di depan minimarket itu saat aku berjalan pulang dari panti asuhan tempatku memberi les tiap sore, lima hari dalam seminggu. Kata Justin dia mau ke rumahku, tapi tak tau alamatku. Hari gini, dimana WA tinggal ketik doang... Masih pakai cara jaman batu : cegat orangnya. Hahaha...

Sambil tertawa aku naik ke boncengannya, menuju rumahku yang cuma 5 kali napas juga sudah sampai. Reaksi Justin saat tiba di rumahku ? Wajahnya riang. Apalagi saat melihat pohon jambu yang sedang berbuah.

"Mau jambu ?" Tanyaku sembari turun dari boncengan.

Dia senyum aja tak menjawab.

"Mau enggak ? " Tanyaku lagi.

"Emang boleh manjat ?" Tanyanya polos.

"Ga usah repot manjat kali. Aku udah ada metik pakai galah itu. Udah dingin juga direndam air gula di kulkas."
Kataku sambil melangkah ke teras, membuka pintu yang terkunci dan menyilakan Justin masuk.

Dia memilih duduk di teras. Aku lalu masuk dan mengambil jambu itu dari kulkas.

Dan demikianlah kami sekarang duduk di teras rumahku. Agak gugup sambil mengunyah jambu yang segar.

"Tinggal sama siapa di sini ?" Tanya Justin.

"Sendiri." Jawabku.

"Ga takut ?" Tanyanya lagi.

"Enggak. Takut apa ? Tetangga ada." Jawabku cuek sambil mencomot satu jambu lagi.

"Kamu mandiri banget. Udah berapa lama tinggal sendiri begini ?"

"Sepuluh tahun ada. Disuruh sama bu Raudah sih, katanya kan aku udah kerja, lebih baik punya rumah sendiri, mengatur kehidupanku sendiri. Tapi aku masih bantu-bantu di panti. Kan asalku dari situ."

" Owh.. " Justin menutup mulutnya dengan mengunyah jambu. Ia menatap ke lantai.

"Justin, aku mau tanya." Kataku. Justin mengangkat wajahnya dan menatapku, menunggu pertanyaanku.

"Waktu kalian masih tugas di sekolahan, pas udah minggu terakhir, aku tu merasakan kalo kamu tu kayak jaga jarak denganku. Aku tu merasa kayak kamu membuat dinding denganku. Emangnya ada apa ?" Kataku.

Justin kembali menatap lantai. Aku bisa melihat sudut bibirnya tertarik menandakan dia sedang tersenyum.

" Kamu tau ? Itu kebodohanku yang parah. Ada ular yang mengatakan sesuatu yang jelek tentangmu. Aku percaya. Dan akibatnya kayak begitu. " Jawabnya.

Lalu Justin menatapku. Matanya bersinar teduh, dia tersenyum.

" Tapi aku kan tak buta, aku juga tak tuli, aku juga punya otak untuk mikir. " Katanya.

Aku menatapnya, menunggu kelanjutan ceritanya.

" Aku melihat kamu tak seperti apa yang dikatakan. Tapi aku tak mau berbuat di luar kewajaran. Jadi aku bersikap seperti itu. Maaf itu menyebalkan pasti buat kamu. "

" Emang. " Sahutku.

" Jadi, malam sebelum besok paginya aku kasi mawar jingga itu ke kamu, aku banyak berpikir. Menimbang-nimbang semua kebenaran yang kulihat, dan kuputuskan kalo kamu tak seperti apa yang dikatakan. "

" Siapa ularnya ? " Tanyaku. Aku udah berpikir ke arah sana sih, semacam ada yang setia memfitnah diriku. Tapi aku tak bisa menentukan siapa ularnya.

" Aku nggak bisa bilang. Sebaiknya memang kita maafkan saja perbuatannya. Serahkan saja sama Tuhan. Yang penting sekarang aku percaya kamu."

" Ga bisa gitu, Justin. Aku penasaran. "

" Ga usah penasaran. Biar aja nanti Tuhan yang balas orang yang suka fitnah kamu itu. "

Tepat setelah kata-katanya selesai, azan magrib lalu berkumandang. Kami berpandang-pandangan. Sepertinya Justin beranjak mau pulang.

" Jangan pulang, ntar temani aku makan malam." Kataku.

" Tapi kamu mau sholat ? " Tanya Justin.

" Hari ini enggak. Masih bocor. " Kataku sambil tersenyum.

" Yuk masuk ke ruang tamu. Ga baik di luar saat magrib. " Ajakku. Justin pun mengikutiku.

Di sofa ruang tamu, Justin menghempaskan dirinya. Langsung berbaring dia. Aku menyalakan televisi dan mengatur volume tidak nyaring. Kami bertukar senyum sebelum aku melangkah ke dapur.

Pertama kulongok isi kulkas. Cuma ada nugget dan sawi keriting. Tadi siang aku makan ayam geprek beli di depan gang. Ya sudahlah, aku masak apa yang ada aja.
Sekotak susu rasa moka persediaanku kuambil dan kuberikan pada Justin. Dia tersenyum. Mungkin ingat, susu moka merk itu pernah kubelikan untuknya dulu.

Aku mulai menumis sayur dan menggoreng nugget. Nasi kuintip dari magic com rupanya masih cukup untuk berdua.

Sambil masak kuseduh teh. Aku ingin makan sambil minum teh es manis. Bau harum masakan mengisi dapur dan sekaligus ruang makan.

"Masak apa ?"
Duh, suaranya yang lirih itu menyapa telingaku dan menyetrum sekujur tubuhku. Aku diam sejenak berusaha mengalirkan listrik itu ke ground.. ha ha ha...

"Hmm.." Aku berusaha menyamankan tenggorokanku yang rasanya bagai tercekik.

Justin menarik kursi dan duduk menontonku masak. Senyumnya lebar terpampang.

"Apa ?" Tanyaku risih.

"Enggak.." Jawabnya salah tingkah.

Masakan selesai, dan aku pun secepat kilat menata meja dan menyelesaikan teh es manis itu. Saat kami duduk berhadapan, kami sama-sama tersenyum. Aku sendiri sama sekali pasrah tak tau mau memulai percakapan atau ngomong apa.

"Makan yuk. " Ajakku. Kuambil piring dan kusendokkan nasi untuknya. Kuambilkan sayur dan nugget juga. Lalu kuletakkan piring itu di hadapannya. Gelas besar berisi es teh itu juga kuletakkan di depannya. Matanya menatapku dengan tatapan sayang. Aku risih. Sungguh.

Lalu aku mengambil bagianku. Saat aku selesai, dia mulai memejamkan mata dan berdoa. Duh, kenapa doanya mesti beda, ya Tuhan.. Aku mendesah tepat saat ia membuka mata. Jadi dia bengong sesaat.

Aku tersenyum saja dan mulai makan.

"Kalo tau kamu mau datang, aku bisa siapkan yang lebih dari ini. Maaf ya." Kataku.

"Ini aja udah banyak kok. Ga usah repot." Katanya. Lalu dia meminum teh esnya.

"Teh esnya kayak kamu." Katanya. Aku mengerling.

"Iya, manisnya pas." Katanya. Senyumnya tertahan.

"Hahahaha.." Aku tergelak. Aneh aja rasanya digombalin kayak gini.

Kami makan dalam diam. Canggung rasanya. Aku tak tau dengan dia. Yang pasti aku merasa begitu. Dan aku sama sekali tak tau caranya menepis rasa ini.

Selesai makan Justin buru-buru meraih piringku untuk dicuci olehnya. Aku tak sempat menolak dan hanya bisa membereskan meja. Tempat cuci piringku masih di ruang ini juga. Tepat di samping kompor. Jadi Justin tak kesulitan menyelesaikan cucian piringnya. Aku menunggui sambil bersandar di meja dapur. Berhadapan dengannya yang sibuk mencuci.

Ini sesuatu yang baru namun begitu natural. Betul-betul seorang oppa yang sholeha.. hahaha...

Selesai mencuci ia malah iseng memercikkan air ke mukaku.
Ih, menyebalkan. Reflek aku mendaratkan satu cubitan ke lengannya. Justin segera menghindar dan berlari ke ruang tamu.. Jadilah aku mengejarnya dan langsung tertangkap dalam pelukannya.

Ehh...
"Justin." Bisikku memintanya melepaskan pelukan. Soalnya ruang tamu ini terang, pasti tampak oleh tetangga di luar sana.

"I love you." Bisiknya.

"Iya, aku tau." Demikian jawabku.

Bibirnya manyun...
Aku tertawa dan mengecup pipinya.

Justin kaget.

Aku suka melihat ekspresinya. Suka sekali.

JustiviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang