Sejak sehabis makan malam dan briefing koordinasi penutupan hari, aku duduk saja di kamar, sambil pegang hape dan browsing sana-sini. Hampir semua barang dan pakaian sudah kubereskan dalam ransel. Besok pagi kami semua akan pulang ke Pontianak.
Aku merasa gugup. Dan menurutku itu suatu rasa yang sangat aneh, tidak biasa. Aku tahu sebabnya apa. Aku tak ingin jauh dari Justin. Tapi itu kan sesuatu yang tak mungkin. Dia kerja di sini dan aku kerja di sana. Mana bisa sama-sama lagi walaupun kami berdua ingin. Aku sedih ? Jujur iya, tapi aku tak ingin larut di dalam kesedihan dan menjadi tidak logis.
Dalam segala kegugupan ini, aku memilih untuk duduk diam saja di sini. Kulirik jam di layar hape, tertulis 23.35.
Hampir tengah malam, namun aku sama sekali belum mengantuk.
Sebuah notifikasi chat masuk. Dari bu Rauda, menanyakan kepastian aku pulang besok. Aku segera membalas dengan tulisan insyaallah. Biar sudah setua ini, tetap saja beliau mengkhawatirkan kalau aku pergi jauh dari Pontianak.Aku mencoba memejamkan mata. Tiga teman di kamar ini sudah pulas sejak tadi di ranjang masing-masing.
Notifikasi masuk lagi. Kali ini dari Justin. Mengatakan dia ada di teras. Segera aku keluar kamar menjumpainya.Lampu teras mati. Padahal tadi masih terang menyala. Gelap yang remang-remang. Ada Justin duduk di kursi teras. Dia segera berdiri begitu melihatku datang. Begini dekat, aku bisa melihat senyum dan menghirup aroma parfumnya yang bercampur aroma asli tubuhnya.
"Hai." Sapaku. Rasa hangat membaluri sekujur tubuhku. Rasa ini selalu saja hadir bila kami bersama-sama.
"Hai." Justin seperti salah tingkah. Lalu dia mengangsurkan sebatang coklat padaku.
"Buat kamu." Bisiknya lirih. Sungguh, kalau saja aku bisa membotolkan suara lembut dan lirihnya yang eksklusif hanya untukku ini, maka akan kulakukan.
Kuterima dan berterima kasih dengan mengecup pipi kanannya. Justin tersipu lalu duduk kembali. Aku duduk di sebelahnya dengan kegugupan yang berusaha kututupi dengan membuka bungkus coklat. Dengan jari kupatahkan sepotong kecil dan kumakan. Manis seperti biasanya merk ini. Lalu kupatahkan lagi sepotong kecil dan menyuapkannya ke mulut Justin. Sengaja kumasukkan jariku hingga dikulum olehnya. Sepertinya Justin menangkap sinyal yang kuberikan karena dia segera menyegel bibirku dengan ciumannya. Ciuman sambil makan coklat.
Coklatnya habis, lalu Justin menarik wajahnya, "Kamu nakal." Bisiknya. Aku tersenyum. Aku udah kecanduan kamu, bisikku dalam hati.
"Nggak usah pulang ya besok ? " Rayu Justin.
"Ga bisa dong sayang, kan pergi bareng, pulang juga bareng. Harus kompak." Jawabku.
" Emang kamu nggak pengen lama-lama di sini sama aku ?" Tanya Justin.
" Enggak." Jawabku. Justin membelalak.
"Enggak salah lagi, maksudku." Aku terkekeh pelan. Justin jadi gemas dan memelukku erat. Mengunciku dalam rengkuhan lengannya.
"Boleh enggak kamu buat aku aja ?" Tanya Justin sambil mengecup keningku.
"I love you, sweet angel." Kataku sambil menatap matanya.
" Kita adalah kejadian luar biasa.." Desahnya.
"KLB Justin...emangnya bencana alam.." Sahutku. Justin tertawa tanpa suara.
"Kamu tau sayang, ada 3 hal yang kita nggak pernah tau kapan datangnya." Kataku. Justin menaikkan alisnya.
" Satu, maut. Dua, hujan. Tiga, jodoh. " Lanjutku.
" Hmm.. gitu ya... " Sahut Justin.
Hidungnya sekarang sudah menelusuri rahangku.
"Kalo jodoh pasti ketemu.." Bisiknya dan mengecup leherku. Hampir saja aku hilang keseimbangan.
"Kalau iya maka iya.... Kalau tidak maka tidak..." Aku kesulitan bernapas. Justin membuatku tak bisa berpikir jernih.
"Mhhh..." Justin mengendus leherku dan meninggalkan jejak cium di sana. Pasti merah kecoklatan nanti.
Refleks, tanganku yang masih menggenggam coklat itu malah meremasnya hingga penyok.
"Nah, kamu sudah kutandai...rindukan aku." Kata Justin sembari mengangkat wajahnya. Senyumnya demikian manis.
"Sweet angel.." Desahku.
"Ya, sweetheart ?" Responnya manis.
"Kenapa kamu tak bisa dilupakan ?" Tanyaku.
" Ya, jangan.." Justin mengkopi jawabanku beberapa hari yang lalu atas pertanyaannya.
Dan kami tertawa pelan berbarengan.
Duduk berdua di bangku teras, aku bersandar di lengannya sambil menyuapi mulut kami bedua dengan potongan coklat. Damai sekali. Namun besok semua berakhir."Kamu suka aku karena apa, Justin ?" Tanyaku.
Justin diam beberapa saat.
"Sama kamu tuh beda. Aku selalu kamu tempatkan sama denganmu, bahkan kadang aku merasa, kamu menganggapku lebih dewasa dari kamu." Kata Justin.
" Emangnya orang lain gimana sama kamu ?" Tanyaku.
" Seringnya dianggap masih kecil." Jawabnya.
" Hahaha.." aku tertawa.
" Apa? " Tanya Justin keheranan.
" Ya, kamu kan masih suka bersikap manja..wajar dong mereka menganggap kamu begitu. Eh tapi, selama aku di sini, semua orang hormat sama kamu kok."
" Kan urusan kerja. Mesti profesional dong. Setidaknya berusaha profesional." Jawabnya. Wibawanya udah mulai keluar.
" Tetap berusaha yang terbaik ya. I know you can. Semangat !" Kataku.
Lalu sebuah kecupan dihadiahkan di kepalaku.Jemarinya yang panjang-panjang itu menggenggam erat jemariku.
"I don't wanna lose you now." Ujarnya.
Aku tersenyum. Aku tahu ia gundah, sama denganku. Tak ada yang tahu kapan kami akan bertemu lagi.
"I don't wanna lose you now...I'm looking right at the other half of me...vacancy that sat in my heart is a space now you hold." Aku meneruskan lirik lagu Mirrors itu.
"Bahasa Inggrismu bagus." Pujinya.
Aku tersenyum.
Dia pun tersenyum."Ya lah..kan guru bahasa Inggris.." Lanjutnya.
"Aku janji.." Kalimat Justin terhenti karena kuletakkan telunjukku di bibirnya.
"Promise me nothing, okay. Jangan janjikan aku apa-apa." Kataku.
"Kenapa ?"
"Broken promises hurt the most." Jawabku. Justin menatap tak mengerti.
"Janji yang tak dipenuhi ataupun yang diingkari itu paling menyakitkan." Jelasku.
Satu pelukan lagi menjadi respon dari Justin.
"Kamu untukku ya ? Boleh kan ?" Bisiknya. Dua kali sudah dia mengucapkan permintaan ini.
Oh, Justin. Andai bisa.
Kira-kira seabad kemudian..ah enggak, paling 10 menit kemudian, Justin menyuruhku tidur. Lalu dia menyeret kursi tepat di bawah lampu teras, naik ke kursi dan memutar bohlam supaya erat kembali dan seketika lampunya menyala terang.
Ah, dasar Justin. Rupanya tadi dia sengaja mematikan lampu.
![](https://img.wattpad.com/cover/283867976-288-k443134.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Justivia
RomanceKatakanlah aku harus move on dari segala kekusutan ini... Maka akan kukatakan " Andai dapat mengulang waktu, aku tak ingin mengenalmu, Justin. " Kenyataan adalah sebuah lukisan besar yang kadang tak dapat dimengerti alirannya. Kadang sebuah sketsa h...