Ini adalah bagian kedua dari keseluruhan kisah. Kunamakan Second Wave.
***
"Nonton yuk ? " Ajaknya. Keningku berkerut. Ini ajakan tiba-tiba yang lumayan bikin kaget. Kan Justin tahu kalo aku nggak suka nonton di bioskop. Aku nggak suka gelap, nggak suka suara yang terlalu menggelegar, nggak suka dingin yang bikin ngilu, juga nggak suka harga snack dan minuman yang tak masuk akal.
"Di rumah aja. Bukan di bioskop. " Gitu penjelasannya sambil mengeluarkan laptop dari ransel hitamnya. Hmm.. Laptop kelas atas, spek bandel, impianku juga. Kalau tak sadar, mungkin aku sudah mengelap liur.
"Nonton apa ? " Tanyaku.
"Kamu sukanya apa ? " Justin balik tanya.
"Yang happy ending." Jawabku. Disambung tawanya. Renyah.
"Yang princess-princess ala Disney gitu ya ? " Oloknya.
Aku manyun. Justin tambah keras tertawa.
"Nonton horor aja yuk ? Yang Indonesia aja. Biasanya lebih seram dari yang barat. " Tawarnya.
"Ok." Sambutku.
Tak lama, kami mulai menonton film dengan judul Rumah Belanda. Sebenarnya ini masih pagi. Baru juga jam delapan. Kami juga baru selesai sarapan mi rebus rasa kari dan minum kopi. Tadi Justin datang sebelum jam tujuh. Katanya gabut di rumahnya sendiri. Jadi dia memutuskan ke rumahku saja. Kebetulan hari ini tanggal merah.
Biasalah film horor, selalu dihiasi adegan-adegan seram yang mengejutkan dan tentu saja diikuti oleh teriakan histeris ketakutan olehku dan Justin. Ternyata dia penakut juga. Habis teriak, kami lalu saling menertawakan. Saat bagian-bagian tegang, kami saling merapatkan diri, kadang tutup mata tapi masih mengintip dari sela-sela jari. Sungguh kekanakan kami berdua ini.
Selesai menonton, kami malah lesehan dan ngobrol ngalor-ngidul. Justin melingkar-lingkarkan rambutku di jarinya.
"Aku suka rambut keriting. " Katanya. Dia lalu mencium rambutku. Untung saja kemarin sore aku baru keramas. Kalo enggak, pasti bau deh.
"Aku juga suka rambutmu. Tebal. " Kataku sambil meloloskan jemariku di sela-sela rambutnya. Dia mendengus. Aku mengerti, setiap sentuhan dariku adalah semacam setrum yang menyengat bagi dirinya.
"I am sorry. " Kataku.
"Gapapa. Sebenarnya aku rindu juga mendengar desahan kamu. " Katanya.
"Aku bisikin aja, mau ? " Godaku. Aku tersenyum. Justin juga tersenyum.
"Aku buat mendesah, mau ? " Tawarnya.
"Justin.. " Aku menghela napas. Bilang mau, itu salah, bilang nggak mau juga salah.
"Manis banget. " Katanya lalu memelukku dan mencium puncak kepalaku.
"Eh, bukumu kapan terbit ? Kok nggak ada kabarnya ? " Tanya Justin mengalihkan suasana.
"Itulah. Aku tuh ternyata tertipu. Orang yang katanya membawakan naskahku ke penerbit itu nggak bertanggung jawab. Dia tiba-tiba enggak bisa dihubungi. Ditanya tak pernah dijawab. Bahkan ketemu muka aja dia nggak mau bicarakan masalah itu. "
"Parah juga ya. Padahal naskahnya ada sama dia juga kan ? "
"Iya. Bayangkan, sampai hari ini masih belum ada kabar. "
"Ntar kalo ada bukti penipuan, hajar aja lah. "
"Iya. Hajar aja. " Kataku lalu kami tertawa bersama. Hajar yang kayak apa pun malah belum terlintas dalam pikiranku. Kalau ternyata terkait masalah hukum, ya ikut jalur yang benar saja lah.
Tiba-tiba aku ingin memeluknya. Tiba-tiba menyusup rasa takut kehilangan dirinya. Maka kupeluk dia. Aku duduk dalam lingkaran kakinya, menghadap tubuhnya, mengalungkan kedua lenganku pada pundaknya. Di telinganya aku berbisik, " Aku nggak mau kehilangan kamu. "
Justin menepuk punggungku untuk menenangkan kegalauan.
"Suatu saat pun kita akan kehilangan satu sama lain. Tak ada yang bisa menghalangi kematian. " Begitu bisik Justin.
"All we have is today. Saat -saat ini... Kita hanya bisa berdoa dan berencana untuk masa depan kita. " Lanjutnya. Ah, Justin, semuda ini, sedewasa itu pemikiranmu.
"I'm gonna get old. " Kataku.
"Doesn't matter. You have my heart. " Balasnya.
"Mana Justin ? " Godaku.
Justin meraih tangan kananku dan membuka telapaknya.
"Ini. Di sini. " Jawabnya.
Aww.. Justin romantis amat.Aku menatapnya dengan pipi yang kurasakan panas memerah oleh rasa salah tingkah. Justin meredakannya dengan sebuah kecup ringan di hidungku.
"More.. " Bisikku. Dan dia mewujudkan keinginanku.
"Your wish is my command, madam. " Ucapnya sebelum mencium bibirku.
Ya, dan cuma sampai di situ saja. Justin yang memutuskan tidak meneruskan. Kan itu juga permintaanku beberapa waktu yang lalu.
Setelah makan siang, dia pamit. Katanya mau ke rumah tantenya. Mau bantu-bantu bersih rumah katanya.
Kuhabiskan siang dengan tidur sampai Bu Rauda datang tadi dan memberiku sebuah kejutan yang tak menyenangkan.
Aku duduk sendiri di ruang makan ini. Menikmati semangkuk bubur kacang hijau campur ubi yang diantarkan oleh ibu Rauda tadi. Bubur ini khas buatan Vania. Aku tahu cirinya, gula merah dan jahe, ditambah daun pandan. Enaknya bukan main. Vania dulu anak panti juga. Dia sepuluh tahun lebih muda dariku. Sejak datang, waktu itu usianya setahun, ia selalu nempel padaku. Begitulah, sampai remaja pun begitu, juga saat kuajari memasak bubur kacang hijau, dan dia menemukan ciri khasnya sendiri. Lalu dia sekolah perawat, dan menjadikan itu profesinya hingga kini. Dia juga yang beberapa bulan yang lalu meneleponku untuk mengabari Justin kecelakaan dan dirawat di puskesmas 24 jam tempatnya bertugas. Di tengah malam itu, di batas kota itu. Momen tak terlupakan dalam hidupku.
Sesuap lagi bubur ini mengembalikanku ke masa kini. Aku mengulang lagi adegan saat bu Rauda menasehatiku tadi.
"Novia, anak ibu. Maafkan ibu kalau selama ini ada kekurangan dalam membesarkanmu." Ujarnya. Aku menatapnya heran.
"Ibu mendengar kau punya teman laki-laki yang akrab."
"Kok ibu tau ?" Tanyaku heran.
"Tadi waktu Vania datang memasak bubur, pak RT gang sini juga datang menemui ibu. Ia menyampaikan laporan tetangga kalau malam ada laki-laki menginap di rumahmu ini." Demikian tenang ibu bicara. Tapi tidak dengan diriku yang seketika merasa bersalah.
"Pak RT sekedar menyampaikan agar ibu mengingatkan kamu. Ibu juga tidak tahu gimana ceritanya bisa begitu."
Aku tertunduk."Vania ikut ngobrol dan dia bertanya apa ciri-cirinya sama dengan pasien kecelakaan di puskesmasnya beberapa bulan yang lalu. Vania bilang orangnya masih muda, kurus, tinggi, putih, rambutnya lurus dan menutup kening. Benar gitu, Via ?"
Aku mengangguk.
" Pak RT pun mengatakan warga bilang juga begitu. "
" Iya bu. " Sahutku. Aku malu dan merasa bersalah. Pasti ibu juga malu akan perbuatanku ini.
" Maafkan Via bu. Tapi kami nggak ngapa-ngapain."
" Biarpun begitu, kamu tahu kan kalau itu tidak boleh...ibu harap tidak diulang lagi."
Kata-kata itu terngiang-ngiang di telingaku.Aku tahu ini salah. Aku tahu.
Kuhabiskan bubur itu lalu beranjak ke kamar dan duduk di tepi ranjang.
Justinku adalah obat. Dan aku jadi ketergantungan padanya. Bagaimana seandainya dia pergi meninggalkan aku ? Kuatkah aku menjalani semuanya sendiri ?
Toh, aku sudah pernah dikecewakan seseorang sepuluh tahun yang lalu...yang membuatku tetap sendiri hingga kini.Aku melirik pantulan diriku di cermin di seberangku.
Aku mendesah.
Kenapa harus pada Justin obat itu berada ?
Dan dia tak boleh lagi menginap di sini. Semua memang salahku.
Dan aku juga yang harus memperbaikinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Justivia
RomanceKatakanlah aku harus move on dari segala kekusutan ini... Maka akan kukatakan " Andai dapat mengulang waktu, aku tak ingin mengenalmu, Justin. " Kenyataan adalah sebuah lukisan besar yang kadang tak dapat dimengerti alirannya. Kadang sebuah sketsa h...