34. | Bersua

6 0 0
                                    


Pagi sekitar jam 7 kami tiba di posko penanggulangan bencana banjir kabupaten Sanggau. Aku sampai di sini gara-gara diminta ikut serta jadi relawan sama Meme. Meme aktivis Pramuka dari universitas. Dia kebagian bertugas mengisi kegiatan trauma healing untuk anak-anak pengungsi atau yang menjadi korban bencana. Kami juga akan menyalurkan bantuan dari para donatur. Meme mengajakku untuk memegang porsi bahasa Inggris saat mengajar anak-anak nanti. Aku sih senang bisa ikut, pas libur sekolah pula. Awalnya memang aku merasa keberatan ikut, namun kupikir, bolehlah ini jadi hiburan. Dua minggu di Sanggau, tak apalah.

Setelah bus berhenti dan parkir dengan tertib, kami semua bergiliran turun dari bus besar berpendingin udara ini. Aku mengikuti kakak-kakak pramuka yang mulai rapi berbaris di halaman depan kantor darurat ini. Kami disambut oleh beberapa bapak-bapak bertopi dan berkumis yang sepertinya pejabat setempat.

Setelah upacara sederhana, ketua rombongan kami segera menyampaikan tujuan dan laporan mendetil tentang jumlah relawan dan logistik bantuan yang dibawa. Suasana hening. Semua menyimak dengan serius. Aku yang selalu saja merasa bosan dengan formalitas upacara, berusaha mencari hal-hal lain yang menarik untuk kuamati.

Aku berbaris di pinggir, keempat dari depan, kedua dari belakang. Meme di depanku. Dia juga diam saja, serius mengikuti upacara. Kupandangi suasana sekitar. Daerah ini tergolong area perbukitan, masih rimbun pepohonan di kejauhan, angin terasa sepoi berhembus, dan dingin walau matahari mulai beranjak naik. Aku menggosok-gosok lenganku, berusaha menepis rasa dingin yang agak menusuk buatku. Aku terbiasa tinggal di kota Pontianak, kota yang terkenal akan garang terik mataharinya. Maka cuaca dingin bukanlah teman baik untukku.

Lalu pandanganku beralih ke kompleks kantor dan mess serta dapur umum yang masih tampak dari jangkauan pandangan mataku. Semua tampak bagai bangunan era 90an yang formal dengan cat kuning dan lis coklat tua. Ada beberapa pohon dan tanaman hias. Selebihnya lapangan luas yang kurasa untuk mengakomodir upacara, penumpukan sementara logistik, dan lalu lintas kendaraan besar seperti truk dan bus pengangkut logistik.

Dari gedung di depan sana, kulihat ada seorang pemuda yang berlari kecil menuju bapak yang sedang berbicara. Ia memakai topi warna biru tua. Ada logo tertentu di topi itu tapi bukan logo komersil. Setelah berbisik sebentar pada bapak yang tadi bicara, pemuda itu berdiri tegak di sampingnya. Lalu bapak itu memperkenalkan yang baru datang tadi.

"Nah, kakak-kakak Pramuka, perkenalkan ini koordinator lapangan kita, namanya Justin. Dia staf saya, sangat bisa diandalkan dalam segala kondisi. Kalau ada apa-apa, langsung ke Justin saja." Demikian bapak itu cuap-cuap.

Aku melongo.
Ya Tuhan..Justin..setelah dua tahun ini ? Dia yang telah lama pergi itu ? Aku mengerjapkan mataku. Tak kupercaya pandanganku. Kini Justin tampak begitu sehat, tegap, dewasa, ramah, dan percaya diri. Tampan luar biasa. Aku merinding. Kutepis-tepis lenganku.

"Bu Via, itu Justin kan ?" Bisik Meme padaku.

"Kayaknya iya sih..gak cungkring kayak dulu." Kataku. Kami berdua terkikik pelan. Padahal aku gemetaran luar biasa.

Barisan kemudian dibubarkan. Kami semua mengambil ransel masing-masing yang telah dihamparkan di dekat bus. Ketua tim kami tetap berdiri di samping Justin, keduanya tampak sibuk berbicara. Aku merasa mati kutu karena jalan menuju mess kami tetap harus melintasi mereka berdua yang sedang bicara itu. Aku berusaha bersembunyi di balik Meme, tapi tak berguna karena sang ketua memanggil.

"Meme.. sini." Panggilnya.

Aku berencana berbalik tapi Meme menggandeng aku. Terpaksa aku mengikuti. Kemudian, ya, bisa ditebak, kami beradu pandang. Tatapanku dan tatapan Justin terkunci. Begitu saja hingga aku berhadapan dengannya.

"Justin, ini Meme dan bu Via yang nanti bertugas di trauma healing untuk anak2 korban bencana."

"Udah kenal bang, kan aku sama Justin sekampus. Aku lulus duluan." Kata Meme. Dia toss sama Justin.

" Bu Via juga kenal Justin, kan dia guru pembimbing Justin waktu kami KKN di sekolah bu Via."

Sang ketua tertawa terbahak-bahak. "Dunia ini sempit ternyata.. " Begitu katanya.

Justin tersenyum saja.

" Apa kabar, Via ?" Tanyanya. Senyumnya sumringah. Aku pun ikut tersenyum. My sweet angel, manis, manis sekali demikian batinku.

"Baik." Jawabku.

"Bu Via, yuk kita bereskan barang dulu di mess. Kita nginap di situ." Ajak Meme.

Justin tampak tersenyum kecewa mendengar ajakan Meme untukku.

"I'll see you later." Bisik Justin.

"Me, briefing jam 09.00 di sekre." Kata Justin pada Meme.

"Siap."

Dan aku menyeret langkah menuju mess. Justin tiba-tiba meraih ranselku dan menggendongnya.

"Kubawakan." Katanya.

Lalu kami melangkah dalam diam dan rasa canggung luar biasa.

Di teras mess, Justin menurunkan ranselku. Kami tersenyum lagi.

"Makasih." Bisikku.

Ia mengangguk lalu pergi. Aku menyeret ransel ke dalam, mencari di kamar mana si Meme berlabuh.

"Sini bu !" Panggilnya dari kamar pertama dekat pintu masuk. Dia tengah membongkar pakaian dari ranselnya untuk disusun di rak samping ranjangnya. Total ada empat ranjang. Aku memilih yang dekat pintu saja.
Ranjang yang lain masih kosong karena kata Meme dua yang lainnya akan datang sore nanti.

Tepat jam 09.00 pagi, kami sudah duduk di ruang pertemuan yang luas. Di sini nanti kami akan memberikan aneka materi pelajaran, permainan, hiburan untuk anak-anak.

Justin sudah berdiri di depan, ada whiteboard di belakangnya. Dia tampak percaya diri memimpin rapat briefing pagi ini. Secara singkat dia menjelaskan wilayah yang terkena banjir, wilayah relokasi, fasilitas yang disediakan pemerintah pusat dan daerah, job description untuk para relawan, termasuk aku.
Sumpah, aku sama sekali tak menyangka, Justin yang dulu menolak kuajari presentasi dan selalu bilang gak pede itu, ternyata begitu keren cuap-cuap di depan sana. Kadang tatapan kami bertemu. Dan dia harus berhenti bicara sejenak sebelum mengalihkan pandangan dan meneruskan bicara.
Dan akhirnya, selesai juga briefing.

Justin menugaskan sekretarisnya yang berseragam tentara dan berkumis itu untuk mendampingi relawan mengunjungi beberapa tempat relokasi. Beberapa relawan lainnya ditugaskan membongkar logistik berupa peralatan belajar anak-anak untuk dikemas ulang agar praktis dibagikan saat mulai belajar besok.
Meme sudah meninggalkan aku untuk berangkat ke relokasi. Aku beranjak ingin mengikuti tim yang membongkar logistik, tapi Justin sudah mendekat, menarik kursi, dan duduk di hadapanku.

"Mana tanganmu ?" Tanya Justin. Aku tak paham, tapi kuberikan juga kedua tanganku. Dia memeriksa jari-jariku sesaat. Lalu ia juga menunjukkan sepuluh jarinya.

"Ga ada cincin." Katanya ceria.

"Owh.." Aku nyaris tersedak padahal aku tak sedang minum apa-apa. Rupanya ia memeriksa apa aku pakai cincin kawin apa enggak. Sepuluh jariku polos semua tanpa cincin. Dan aku memang tak suka perhiasan. Dan Justin pun tak memakai cincin. Artinya, dia masih melajang.

Aku ingin sekali menyentuhnya tapi ragu dan malu dengan ramainya orang di sekitar kami. Kurasa dia pun begitu.

"Kamu banyak perubahan, Justin." Ujarku.

"Hmm." Ia berdehem.

Matanya melirik nakal dan senyumnya malu-malu. Ini yang tak berubah dari dulu.

"Kamu yang mengubah aku." Bisiknya. Justin hampir selalu bersuara lirih hampir berbisik kalau bicara padaku. Berbeda dengan tadi, suaranya jelas dan lantang, penuh percaya diri.

"Aku pakai ilmu kamuflase" katanya. Giliranku yang tersenyum malu. Rasanya sudah bertahun-tahun lamanya sejak kami berdua membicarakan masalah kamuflase itu.

Hape Justin berbunyi, dan memang sering kali kuperhatikan dia menerima panggilan telepon. Kurasa sesuailah dengan tugasnya sebagai korlap.

Tiba-tiba satu kecupan singgah di pelipisku. Sangat cepat, kemudian dia berbisik, "Aku pergi dulu."
Dan dia berlalu. Aku menggigit bibir menahan rasa senang yang meluap-luap. My Justin, masih sayang padaku. Ah, rasa ini, remaja sekali.



JustiviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang