Pagi merekah dan kami semua sudah mulai disibukkan dengan jadwal kegiatan hari ini. Yup, hari ini hari kedua kami di Sanggau. Hari ini kami menjadwalkan untuk melakukan kegiatan belajar dan hiburan untuk anak-anak korban banjir.
Mereka akan diantar dan dijemput dengan truk tentara yang besar-besar. Jam besar di sekre menunjukkan pukul 7 dan mereka baru akan tiba pukul 9. Jadi aku membantu teman-teman yang lain menyusun buku, alat tulis, dan konsumsi di meja panjang yang sudah disediakan oleh petugas.
Yaaa, benar... Anak buah Justin yang mengerjakannya atas perintah Justin. Aku senyum-senyum saja sendiri, berusaha agar senyumku tidak ketahuan oleh yang lain. Aneh juga rasanya berada di tempat yang sama dengan Justin setelah dua tahun terpisahkan. Jujur, untuk berkonsentrasi saja sulit. Aku harus berkali-kali menarik napas, menenangkan diri, dan mencoba fokus.
Justin sendiri, belum terlihat sejak pagi tadi. Aku pun tak berani mencarinya.
Ya, subuh tadi aku bangun dan segera pulang ke mess. Saat kutinggalkan dia masih tertidur.
Kepingin tahu juga sih aku, tapi aku masih bisa menahan diri.Meme datang dengan setumpuk kertas origami.
"Bu Via, nanti giliran ibu setelah saya ya." Begitu katanya.
"Ok sip." Kataku.
Sebenarnya sudah cukup lama aku tidak mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak. Sepertinya nanti aku akan lebih banyak mengajak bernyanyi dan bermain saja daripada menulis. Dan memang itulah yang aku lakukan saat tiba giliranku. Ramai juga anak-anak yang datang. Usia sekolah dasar semuanya. Sangat menyenangkan dapat mengajari mereka sesuatu yang bermanfaat walaupun cuma sekedar belajar warna dan satu lagu dalam bahasa Inggris. Respon mereka sungguh membuat hati ini luluh. Mereka sungguh-sungguh butuh hiburan dan kegiatan.
Selesai giliranku, mereka istirahat dulu. Relawan yang lain sibuk membagi-bagikan makanan dan minuman.
Aku meraih satu gelas air dan duduk di pojokan sambil menatap mereka. Betapa riuh suara mereka, betapa cemerlang sinar mata mereka. Semoga saja bencana ini segera berakhir agar kehidupan mereka kembali normal."Bu, saya mau curhat.." kata seseorang yang segera ambil posisi duduk di sebelahku.
Ah, Justin. Bisa-bisanya bercanda dengan kalimat itu. Itu kan yang dia katakan pada hari kedua tugasnya di sekolahku dulu. Hari dimana kami bicara begitu dalam dan begitu lama."Mau curhat apa ? Skripsimu belum diinput ya ?" Godaku.
Justin tersenyum dan menunduk.
"Gimana caranya melupakan seseorang yang pernah singgah di hati, tapi nggak mau pergi biar udah bertahun-tahun..?" Tanya Justin.
"Hmm..." Aku berdehem. Apa maksudnya nih ?
"Nggak Via..aku nggak bisa lupain kamu.." Gumam Justin.
" Ya, jangan." Sahutku pendek. Ringkas. Singkat.
Kami bertatapan. Sama, rasa itu tetap sama, debar itu masih sama. Untukku sih, ntahlah untuknya. Namun aku yakin sorot mata itu jujur. Justin tak akan menutupi apapun bila kami sudah bertatapan seperti ini.
"Kita nih, kayak waktu dulu di sekolah. Kamu mau pergi, terus kamu datang ke aku dan minta maaf karena enggak bisa kasi presentasi." Kataku sambil membuang pandangan ke samping.
Justin tersenyum, dia menunduk dan memainkan kerikil dengan ujung sepatunya. "Aku ingat itu. Pertama kalinya bertatapan sama ibu guru galak. Tatapannya menusuk sampe rasanya bersalah banget."
Aku ingin meraih tangannya, tapi sungguh tak berani, terutama karena kami sedang berada di tengah-tengah keramaian seperti ini. Berbicara berdua dengan jarak sedekat ini dan intensitas kayak begini aja udah mengundang tatapan dari beberapa orang yang ada di sekitar kami. Kurasa kami berdua merasakannya. Seharusnya Justin mengajakku ke tempat yang lebih privat kalau dia ingin bicara lebih dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Justivia
RomanceKatakanlah aku harus move on dari segala kekusutan ini... Maka akan kukatakan " Andai dapat mengulang waktu, aku tak ingin mengenalmu, Justin. " Kenyataan adalah sebuah lukisan besar yang kadang tak dapat dimengerti alirannya. Kadang sebuah sketsa h...