Aku curi-curi pandang pada dirinya yang tengah asyik main game online. Rupawan. Satu kata saja tertera dalam benakku tak perduli sesungguhnya aku membenci segala jenis game online.
Goresan krayon jinggaku belum juga selesai. Aku belum puas melukis senja dari screen capture yang terpampang di hapeku. Kubaurkan jingga dengan kuning, emas, biru, abu...perlahan-lahan dengan tisu yang kulipat-lipat jadi kecil. Aku tak bicara karena biasanya emang aku tak bicara kalau lagi menggambar. Dia pun diam. Tak ingin menggangguku.
Kucuri lagi pandangan padanya. Kali ini kepergok.
"Apa ?" Tanya Justin lembut. Senyumnya mengembang."Sshh.." Aku meletakkan telunjuk di bibirku. Menyuruhnya diam. Eh, dia malah berjalan mendekat dan parkir di hadapanku.
"Kayak kenal ini di mana." Katanya sambil mengamati lukisanku.
"Di mana hayo ?" Tanyaku.
"Gedung Konferensi." Jawabnya.
"Pinter mas e... Anake sopo..hahaha.." Aku merasa geli.
" Eh, kan itu ..." Justin baru nyadar.
" Iya, screen capture dari story kamu." Jawabku polos. Justin segera mencekek aku dengan gemes.
"Nakale...anake sopo iki ..." Gitu katanya. Kami tertawa berbarengan.
Kulepaskan gelungan tangannya dari leherku. Dia cuma gemes, bukan nyakitin. Aku cuma malu.
"Emm, Justin." Panggilku.
"Apa bu ?" Tanyanya, kentara ingin menggoda.
"Gak enak ini ngomongnya .." Kalimat pendahuluanku terasa horor.
"Ga enak, kasi kucing." Balasnya.
Aku mengemasi peralatan gambarku satu-satu.
"Aku cuma mau ingatkan kamu, kalau..." Aku diam sejenak. Dia menunggu. Hapenya tak tersentuh sejak tadi di atas meja.
" Kalau kamu ingat percakapan kita dulu di puskesmas, kalau kamu ingin kembali ke jalan yang kamu yakini, aku tak akan menghalangi."
" Jalan yang kamu yakini..." Justin mengulangi.
Aku lalu duduk di sebelahnya.
" Definisi terbaik untuk kita sekarang adalah, kita sedang berdansa di bawah hujan. Kita tahu resiko sakitnya, tapi tetap kita lakukan." Kataku. Hatiku perih, mataku ingin menangis.
"Aku akan payungi kamu." Sahutnya.
"Justin." Desahku. Hening sesaat.
" Kamu mau aku pergi aja ?"
Tanya Justin. Kami paham kata pergi itu dalam tanda kutip."No, Justin...aku harus apa ? Separuh diriku posesif sama kamu, separuhnya lagi ..."
"Kamu takut....ketakutanmu terlalu besar sampai kamu tak bisa melihat jelas, kalo kamu juga berhak dicintai, berhak disayangi, berhak untuk bahagia yang seratus persen milikmu, bukan berbagi." Justin sepertinya berbakat menjadi penceramah.
Aku menatapnya, mulutku terkunci.
"Rasakanlah pakai hati. Ada jawabnya di situ. Jangan melulu pakai otak. Cinta ga pernah logis." Kata Justin. Tangannya mengelus kepalaku.
Di tengah kesuraman itu aku merasakan kehangatan dan perlindungan. Sejauh ini aku tak membutuhkan perlindungan itu, tapi kali ini perlindungan datang begitu saja tanpa kupinta.
"Mmm.. baby, mau nggak kalo aku bayarin ke salon ?" Tiba-tiba Justin bilang begitu.
"Apa? Kamu ga suka ya sama rambutku yang keriting ini ? Sukanya sama yang lurus, gitu ya ?" Aku mendadak sensi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Justivia
RomanceKatakanlah aku harus move on dari segala kekusutan ini... Maka akan kukatakan " Andai dapat mengulang waktu, aku tak ingin mengenalmu, Justin. " Kenyataan adalah sebuah lukisan besar yang kadang tak dapat dimengerti alirannya. Kadang sebuah sketsa h...