40.| Bukit Telogah

6 0 0
                                        

"Aaarrrgh.." Suara itu membuatku terbangun. Iya, itu suaraku sendiri. Aku sudah terbiasa mengigau lalu terbangun oleh suaraku sendiri. Mimpi buruk juga selalu menyertainya. Aku berkeringat. Ingin rasanya menyudahi hal ini. Tapi aku tak bisa.

Sudah sejak remaja kadang hal ini terjadi. Biasanya kalau aku sedang merasa sangat sedih dan galau. Walau tanpa sebab khusus. Kurasa ini ada hubungannya dengan statusku yang tidak pernah mengetahui kedua orang tuaku. Aku hanya bayi yang ditemukan di teras depan puskesmas pada subuh hari di bulan November. Itulah sebab orang-orang memberiku nama Novia. Oleh ibu Raudah yang membawaku ke panti asuhannya, namaku ditambahkan Maharani dengan harapan aku kelak menjadi seperti seorang ratu. Bukan hanya disanjung puja tetapi juga berkewajiban menjaga sang raja dari bahaya apapun. Harapan baik dari orang yang baik. Tapi mimpi buruk itu selalu saja datang.

Aku membuka mata dan mengerjapkannya beberapa kali. Kurasakan hangat genggaman tangan. Ternyata
Justin menggenggam tanganku.

"Kenapa, Via ?" Tanyanya.

"Kebiasaan. Mimpi buruk." Jawabku singkat.

"Jangan diingat." Sarannya.

Aku mengangguk. Kulihat sekilas jam di hape. Baru pukul 01.00.

Aku menarik sleeping bag. Rupanya tadi aku ketiduran tanpa masuk ke dalam sleeping bag. Tadi rasanya cukup hangat dengan balutan jaket. Sekarang tambah dingin. Angin menderu di luar tenda. Aku dan Justin berbagi satu tenda.

Kami memang kabur lagi dari posko. Istilahnya kabur, tapi tetap saja Justin harus menitipkan sederet tugas secara detil pada asistennya, bapak tentara kumisan itu. Ditinggal semalam, tidak apa-apa, gitu kata Justin.

Jadi, kemarin itu saat aku melihat ada helikopter di halaman posko, rupanya Justin meminta tumpangan ke atas bukit ini. Jadi kami bisa memangkas waktu pergi, membawa perlengkapan dan air, juga menumpang pulang besok paginya. Jalur tempuh heli yang membawa logistik itu memang melintasi bukit Telogah ini.

Justin sengaja mengajakku ke bukit ini untuk menunjukkan betapa indah pemandangan di ketinggian, betapa cantik sunrise pada saatnya nanti. Matahari terbenam tadi pun sudah kusaksikan. Betapa mellow. Mungkin ini juga yang turut andil menciptakan mimpi burukku.

"Sini aja." Justin menarik tanganku. Ia mau aku bergelung dalam pelukannya.

Aku ragu.

"Aku janji ga akan bilang sama bu Rauda. Juga pak erte." Gitu katanya. Aku tertawa kecil menanggapinya. Jauh-jauh ke Sanggau, masih juga pak erte dibawa-bawa.

Aku menyusup dalam pelukannya. Tubuhnya hangat. Dan aroma tubuhnya yang khas tercium kuat.

"Justin.." Panggilku.

"Iya.." Sahutnya.

"Kalau nanti aku meninggal, aku jadi pingin dikubur di sini atau tempat yang seperti ini."

" Huss." Gitu sahutnya. "Ga boleh gitu, Sayang. Kita ngomongnya tentang yang sekarang-sekarang aja. Misalnya gimana supaya kamu bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk. Nah, sekarang coba merem. Nanti kalo udah pagi, aku bangunkan." Kata Justin sembari merapatkan diri.

Aku mencoba tertidur dalam buaian hangat tubuhnya dan desau angin di luar sana. Lama kelamaan aku tertidur.

Saat Justin membangunkan aku, hari masih gelap sebenarnya. Tapi jam tangan Justin yang dapat berpendar dalam gelap menunjukkan pukul 04.00. Dia memberiku ciuman selamat pagi di pipiku yang membuatku terjaga 100%. Kemudian dia memberiku sebotol kopi kemasan dan sebungkus oreo isi tiga. Walaupun aku tak doyan kedua jenis makanan dan minuman itu, tetap kuterima. Apa lagi yang bisa kuminta dengan semua keterbatasan ini ? Justin tak bawa kompor dan alat memasak, jadi tak ada mi instan rebus atau kopi panas.

Justin membuka pintu tenda dan mengajakku keluar menyaksikan semburat pink, kuning keemasan itu melukis langit subuh. Aku terpukau saat campuran warna itu semakin menguasai langit di bagian timur. Sungguh spektakuler !

Justin memelukku dari belakang dan bertanya dalam bisikan ke telingaku. " Kamu suka ?"

Aku mengangguk. Aku bingung memilih antara tetap memandang ke depan pada lukisan alam terbaik atau berbalik dan menatap wajah Justin, wajah terbaik dalam hatiku.

Namun kemudian aku memilih untuk berbalik menatap wajahnya. Aku melihat wajah tampan yang dewasa dengan tatapan tajam yang senantiasa meluluhkan hatiku. Bibir tipis dengan senyum tertahan.

"Thank you for giving me the best time of my life !" Kataku. Lalu aku memeluknya erat selama beberapa detik dan kemudian melepaskannya karena kudengar Justin bilang, "Sesak, Via." Kami kemudian tertawa-tawa.

Saat semua mulai terang dan kami menunggu kedatangan helikopter yang akan kami tumpangi, kami duduk-duduk menikmati pemandangan alam yang semakin memukau. Lautan awan itu... Yang menyelimuti di kejauhan, membuat perasaan ini haru, dan otak ini tak puas-puas merekam segala bentuk keindahannya. Hampir-hampir tak ada yang kami bicarakan. Kami berdua sibuk dalam diam. Memandang alam dan berpikir dalam keruwetan pikiran masing-masing.

Hingga saat helikopter itu datang dan mendarat agar kami bisa naik. Justin dan aku segera naik tanpa banyak bicara. Kami duduk diam berdesakan dengan beberapa petugas relawan lain yang memberikan senyum rahasia penuh kode pada Justin. Sementara Justin sendiri tampak pasrah akan nasibnya. Apakah Justin akan dihukum karena membawaku pergi di saat dia harusnya bertugas ?

Pertanyaanku terjawab segera setelah kami semua mendarat di halaman posko. Di situ sudah ada bapak bertopi yang kuingat dia adalah atasan Justin. Di sebelahnya ada asisten Justin, bapak tentara berkumis itu yang tampak mematung seribu bahasa.

Justin langsung menghampiri atasannya dan bapak tentara itu segera menyiapkan barisan dari semua relawan yang baru saja turun, pilot helikopter, dan relawan dan tentara yang bertugas pada shift malam tadi. Aku dibiarkan berdiri di tepi lapangan bersama ransel milik Justin. Hatiku berdebar menebak apa yang akan terjadi.

Dan benar saja. Justin memasuki barisan dan mereka semua segera hadap serong kiri dan push up!

Push up berhenti di angka 50. Mereka lalu kembali berdiri tegap. Setelah atasan Justin itu balik badan dan mulai melangkah, sontak semua orang bertepuk tangan dan menyalami Justin dengan salam brotherhood. Semua bersuit-suit, bertepuk tangan, bersorak sorai, bahkan memeluk Justin. Eh, apa ini ? Justin nampak salah tingkah dibuatnya. Ok

Setelah berhasil keluar dari keramaian itu, Justin meraih ranselnya dan menarik tanganku. Kami berjalan ke arah mess tempatku menginap.

"Apa tadi itu ?" Tanyaku.

" Bos menegurku, menghukum kami karena salahku, tapi teman-temanku malah kasih aku selamat karena punya pacar. Selama ini kan aku single terus."

"O", Aku cuma bisa bilang itu. Tak mampu berkomentar apa-apa.

JustiviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang