Pagi ini aku iseng pakai headset sambil mengendarai motor. Pingin kayak orang-orang yang berkendara sambil nyetel lagu. Satu playlist cukup buat mengantarku dari rumah ke sekolah. Sampai di parkiran, lagunya sampai di "KuasaMu". Lagunya BCL. Aku ikutan nyanyi dong, walau pelan-pelan. Kan malu kalo teriak-teriak kayak kalo lagi di rumah. Dikira gila nanti gawat."Besarnya kuasaMu..." Gitu senandungku sambil mendorong pintu kelas yang dirapatkan. Pak Jul, si petugas kebersihan sekolah, pasti tadi sudah membuka kuncinya dan mengeluarkan keset di depan pintu ini. Lalu kuucap salam. Kebiasaanku gitu, memasuki ruangan aku terbiasa mengucap salam.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh." Aku melangkah dan sesaat terkejut saat mata ini menatap seseorang yang tengah duduk di kursiku. Orang itu tersenyum dan menyapa, "Pagi bu."
Itu Justin. Iya aku tau, hapal banget pula dengan sosoknya. Tanpa masker, senyumnya indah menyambutku. Aku menebak-nebak apa maksud kedatangannya sambil kulangkahkan kaki mendekatinya. Oh, Tuhan. Andai aku lebih tak tau malu lagi, pasti aku sudah menghambur ke dalam pelukannya. Pssttt... Kutabok pemikiran absurd itu segera.
Aku duduk di seberangnya. Kuletakkan tas dan kantong bekalku begitu saja di atas meja. Hape kuraih untuk mematikan lagu dan kucopot headset itu. Aku tau Justin memperhatikan aku dengan seksama. Dan sudah jadi tipenya kalau dia itu sunyi. Pendiam kalau tiba pada situasi kayak begini. Aku yang harus inisiatif memulai percakapan.
"Ada apa ni pagi-pagi ke sini ?" Tanyaku menyapanya. Seperti biasa dan tepat seperti tebakanku, Justin tersenyum malu.
"Mau ke kampus sih, bu. Tapi mampir sini dulu. Mau kasih sesuatu ke ibu." Ujarnya. Ah, apa lagi ini... Kado-kadoan kayaknya udah gak jaman deh. Justin mengeluarkan satu kantong plastik hitam dari ransel hitamnya. Biar kutebak, isi kantong itu apa mesti hitam juga ? Wkwkwwk.... Tapi kayaknya ringan. Justin berhenti sesaat dan menatapku lalu tertawa tanpa suara. Ia pasti menertawakan tampangku yang penasaran ini.
Jemarinya yang langsing, putih, dan panjang-panjang itu membuka ikatan kantong dan meraih sesuatu. Ternyata setangkai mawar jingga yang segar. Masih ada daunnya dan masih basah. Ia menyorongkan itu padaku.
Aku pastinya terpana dong. Dikasi mawar gitu lho. Sama Justin pula. Mimpi apa semalam...
" Mawar ini buat ibu. Yang paling baik dan paling cantik." Kudengar Justin bicara namun titik fokusku adalah pada kelopak mawar itu. Sungguh tak biasa. Aku tau ada banyak ragam warna mawar. Tapi melihatnya langsung yang berwarna jingga ini, sungguh sangat memukau. Aku meraih tangkainya lalu menyentuh kelopaknya. Halus seperti biasa. Kuendus sedikit, barangkali ada wanginya, ternyata tidak ada wangi apapun. Memang tak semua mawar ada wanginya. Aku maklum itu. Tapi, eh, Justin meraih tangan kananku. Menggenggamnya.
"Saya hanya bisa memberi ini bu. Mawar ini pun saya minta dari kebun tetangga sebelah rumah saya. Saya harap mawar ini bisa mengurangi rasa kecewa ibu pada saya. Saya tau saya banyak salah sama ibu."
Demikian kata-kata itu keluar dari mulutnya, tersendat-sendat namun penuh tekanan. Kurasakan nada dan warna suara itu terekam dalam memoriku. Menggelitik saraf-sarafku hingga aku tak tahan lagi."Aku ga tau mau omong apa lagi. Aku juga ga ngerti kenapa kita bisa jadi rumit begini. Aku emang mengharapkan kamu nurut apa yang kuminta kayak bikin presentasi, kayak mindahin lemari, tapi kamu ga lakukan. Kurasa kamu emang enggak mau disuruh-suruh. Ya aku sadar diri dong aku siapa. Dan semestinya aku enggak boleh kecewa, apapun itu. Kita kan bukan siapa-siapa. Cuma kebetulan aja ketemu di tempat yang sama." Begitu saja kukeluarkan segala unek-unekku yang mengganjal.
Jemari Justin yang kurasa dingin semakin erat menggenggam tangan kananku. Tatapannya padaku, kurasakan bukan lagi tatapan biasa. Ini bukan antara mahasiswa bimbingan dan guru pamongnya, tapi antara seorang laki-laki dan perempuan yang sudah sama-sama dewasa.
"Eh, kita ini mau adu panco atau apa ?" Kataku menggodanya mengingat posisi tangan kami seperti mau adu panco. Sengaja kucairkan suasana.
Justin tertawa. Dilepaskannya tanganku. Aku jadi bebas mengelus kelopak mawar itu, daun-daun kecilnya yang bergerigi di tepi-tepinya, batang mungilnya, dan duri-duri kecilnya.
"Mawar ini cantik sekali." Pujiku.
"Ibu suka ? " Tanya Justin.
"Banget." Jawabku. Aku tersenyum padanya. Aku tau senyumku bisa bikin dia tersipu-sipu. Dan itu benar.
"Udah seminggu ini, pohon mawar tetangga saya itu bermekaran bunga-bunganya. Banyak, sampai ada yang berguguran tapi yang masih kuncup juga banyak. Kebun mawarnya itu terlihat dari jendela kamar saya. Jadi tadi pagi saya minta setangkai sama ibu yang punya. Dikasi tapi pakai ditanya-tanya buat siapa. Apa buat pacarnya ya ? Gitu katanya." Justin curhat.
"Trus kamu bilang buat siapa ?" Aku menantang. Kecewa-kecewa deh sekalian kalo jawabnya bukan buat pacar.
" Saya iyain aja apa kata ibu itu. Hahaha.... " Justin tertawa. Aku menahan senyum malu. Pipiku kurasa memanas.
"Warna mawar favorit ibu apa ? " Tanya Justin.
Aku menerawang langit-langit kelas. Aku tak bisa menjawab. Entah kenapa aku tak pernah memutuskan suka pada warna mawar yang mana. Akhirnya kujawab, " Ga tau, Justin. Semua bagus."
Justin tersenyum lagi.
"Kalau nanti saya bawakan mawar lagi, seikat gitu, ibu mau ?""Jangan minta sama tetanggamu, Justin. Habis nanti bunganya." Jawabku menggoda.
" Nanti saya beli bu, di toko bunga."
"Mahal, Justin. Mending uangnya buat keperluan yang lain."
Justin tersenyum lagi.
"Merah atau pink ?" Tanyanya. Rupanya masih lanjut. Aku menatapnya. Dia risih. Kujatuhkan pandangan pada mawar di tanganku."Merah. Merah tua." Akhirnya kujawab juga. Entah kenapa yang terpilih warna itu. Mungkin itu pilihan warna yang ultimate, yang paling bold, paling mencolok. Ekspresi hatiku sih.
Justin membuka mulutnya, dan matanya berbinar.
"Sama kayak tebakan saya, ibu sukanya warna yang mencolok kalau soal bunga. Tapi untuk penampilan, ibu milih yang kalem aja.""Hmm... Tebak-tebak buah manggis." Ujarku melantur. Aku biasa melantur kalau tidak ingin mengkonfirmasi sesuatu yang kebenarannya terlalu telak tentang diriku. Aku takkan mengakuinya.
Justin tertawa kecil.
"You are special." Katanya.
"I know I am." Balasku.
Yah, kenapa jantung ini berdebar begitu kencang... Kenapa bulu-buluku meremang... Dan kenapa leher ini rasa tercekik sehingga sulit bernapas dan berbicara ? Sesungguhnya aku sangat merasa malu berada pada situasi seperti ini. Aku malu pada Justin telah menampakkan betapa besar rasa suka yang aku punya terhadap dirinya. Aku tidak malu pada dunia. Aku hanya malu padanya.Tapi aku juga senang luar biasa. Sampai lupa ada tembok pemisah yang begitu tebal antara kami. Saat ini aku tak mau ingat dan tak mau tau eksistensi tembok itu. Saat ini yang aku sadari, ada Justin tepat di depanku. Bukan cuma hadir dalam mimpi dan khayalanku.
"Saya pamit dulu ya, bu. Mau ke kampus. Ada perlu." Katanya. Ia beranjak berdiri. Aku juga. Berniat mengantarkannya sampai pintu.
Tapi kami malah mematung berhadapan satu sama lain.
Entah dimana logika kuletakkan. Sopan santun pun telah kucampakkan ke lantai. Dengan mawar masih kugenggam di tangan kananku, aku menghambur memeluknya. Kukalungkan lengan di lehernya. Terpukau, terkejut, terbata-bata Justin memelukku juga. Sesaat, benar-benar hanya sesaat, setelah sehirup aroma tubuhnya sampai di hidungku, kulepaskan dirinya.Aku tak meminta maaf. Hanya melempar pandangan jauh ke luar pintu. Huft, untunglah masih sepi.
Justin menggaruk-garuk kepalanya. Senyumnya kikuk. Salah tingkah.
"Saya pergi dulu." Katanya. Lalu dia melangkah pergi. Sampai di pintu, dia berhenti sejenak untuk memberiku senyuman yang dihiasi indahnya binar mata.
Aku melambaikan tangan dan berkata, "Bye" tanpa suara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Justivia
RomanceKatakanlah aku harus move on dari segala kekusutan ini... Maka akan kukatakan " Andai dapat mengulang waktu, aku tak ingin mengenalmu, Justin. " Kenyataan adalah sebuah lukisan besar yang kadang tak dapat dimengerti alirannya. Kadang sebuah sketsa h...