2

3K 284 3
                                    

Semuanya berjalan dengan lancar. Kuliah lancar, pekerjaan lancar, sidang skripsi lancar, hubungannya pun lancar. Ara dan Chika pun sudah wisuda Minggu kemarin. Tidak ingin berleha-leha Ara dan Chika sedang sibuk mempersiapkan agar lolos beasiswa kuliah S2 nya. Ini adalah wishlist mereka berdua. Setelah lulus S1 mereka akan melanjutkan S2 di universitas yang sama dengan jalur beasiswa jika bisa.

Mereka melewati semua hari-hari lelah tiada henti dengan saling menguatkan, bergandengan tangan dan melepas lelah dengan pelukan. Berjuang bersama, merangkul dan saling menenangkan.

Mereka semakin terlihat dekat, selalu saling menempel satu sama lain seolah tidak ingin pisah sedetik pun. Saling menginap, Ara menginap di rumah Chika atau Chika yang menginap di kosan pengap milik Ara. Cinta diantara mereka pun semakin tumbuh kian membesar, tentunya tanpa suatu ikatan pasti.

Mereka menikmati itu, walaupun tidak terikat status tetapi mereka mencap hak milik pada diri mereka sendiri. Rencananya malam ini Ara akan menginap di rumah Chika. Ara memarkirkan motor butut nya di halaman rumah Chika. Terlihat ayah Chika sedang membaca koran di teras rumah.

"Selamat sore om Pradipta." salam Ara dengan sopan pada ayah Chika. Lelaki tinggi bertubuh tegap. Dengan kecamata gold khas bapak-bapak pada umumnya. Membaca koran dengan dintemani kopi panas di sore hari, indahnya hidup.

"Sore, mau bertemu Chika?." Tanya nya pada Ara.

"Euhh, iya om." jawab Ara sedikit gugup. Walaupun sering bertemu dan sering menginap entah mengapa pembawaan ayah Chika yang sedikit tegas membuat Ara selalu gugup dan takut jika berhadapan dengan ayah Chika.

"Chika masih di luar." jawab ayah Chika. Membuat Ara semakin kikuk harus bagaimana dia selanjutnya.

"Duduk Ra, temani saya ngobrol." Dengan sungkan Ara duduk di bangku kosong sebelah ayah Chika. Hanya berselang meja kecil saja disana.

Hening, mereka sibuk dengan fikiran masing-masing. Ara sibuk memikirkan apa yang harus dia mulai untuk mengobrol dengan ayah wanita yang ia cintai ini. Ara tidak pandai memulai pembicaraan. Alhasil mereka hanya terdiam beberapa menit sampai ayah Chika memutus keheningan.

"Deara, sudah sejauh mana hubungan kamu sama anak saya?"

Deg ....

Ara kaget, tentu saja. Ambigu sekali. Hubungan apa yang ayah Chika maksud. Apakah hubungan pertemanan nya? Kalau iya untuk apa di tanyakan toh hanya sebuah pertemanan. Jika hubungan lebih dari teman. Ara tidak memiliki status apapun dengan Chika. Ara diam memikirkan jawaban apa yang pas untuk pertanyaaan ayah Chika.

"Saya tahu kalian saling mencintai." ucap ayah Chika semakin membuat jantung Ara berdegup dua kali lipat cepatnya. Apakah sangat terlihat jelas tanpa harus di beritahukan seperti kata bang Ari dulu. Mengapa orang-orang pintar sekali membaca hati orang lain.

"Maafkan saya om Pradipta....." jawab Ara pelan sambil menundukkan kepalanya. "Saya tulus mencintai Chika om pradipta." Tangan Ara saling mengerat satu sama lain. Mencoba mencari kekuatan dengan genggamanan yang kuat dan bergetar.

Terdengar jelas hembusan nafas kasar dari ayah Chika.

"Deara." panggil ayah Chika tenang tanpa emosi sedikitpun walaupun terdengar jelas suara kekecewaan disana.

"Chika anak saya satu-satunya. Banyak sekali harapan yang saya gantungkan pada Chika. Tentang keturunannya nanti, tentang masa depan yang cerah, kebutuhannya yang tercukupi." ayah Chika menjeda kalimatnya.

Tangan Ara bergetar, hatinya amat sangat sakit seperti terhantam batu yang sangat besar. Sesak sekali menerima kenyataan yang terucap dari mulut ayah wanita yang sangat ia cintai. Ayah mana yang tidak menginginkan cucu, jelas Ara tidak bisa memberikan itu jika ara bersama chika. Tentang masa depan yang cerah, Ara saja tidak tahu entah bagaimana masa depan nya nanti, ia terlalu mempasrahkan diri terhadap takdir atas hidupnya. dan mengenai kebutuhan yang tercukupi, jelas sekali itu point penting menghancurkan harga diri Ara. Untuk sehari-hari saja Ara harus banting tulang kerja sampai malam untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, bagaimana ia bisa menghidupi anak orang lain. Terlalu jauh pemikiran Ara. Tapi itu point yang Ara tangkap dari ucapan Pradipta.

DEARA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang