Ara sudah berada di Jakarta lagi sekarang. Tentunya tidak sendiri, dia bersama Renata. Ara sangat rindu rumah besarnya ini. Rumah penuh kenangan bersama keluarganya, rumah yang menjadi saksi betapa bahagianya ia menjadi bagian dari keluarga khaulah. Tapi rumah ini juga yang menjadi saksi betapa hancurnya ia di tinggalkan oleh keluarganya.
Ara Duduk di sofa panjang ruang tamu. memandang foto besar keluarganya yang di pajang di dinding. papa mama nya yang sedang tersenyum bahagia duduk di sofa berukuran sedang, Ara duduk di tangan sofa sebelah kanan merangkul pundak sang papa, dan adiknya di sebelah kiri melakukan hal yang sama pada mama nya. Melihat betapa bahagianya hidupnya dulu bersama papah, mama dan adiknya. Mata Ara berkaca, dia sangat rindu keluarganya.
Ara sangat berterima kasih pada bian yang masih mau mengurus rumahnya dengan baik padahal Ara sudah sangat mengecewakannya. Masih terngiang dimana waktu itu untuk pertama kalinya bian sangat marah dan sangat murka pada Ara. Apalagi ketika mendengar dari mulut Ara sendiri kalau Ara mencintai Chika istrinya. Bagi siapapun yang merasakannya pasti akan sangat kecewa.
"Rumah Lo gede juga Ra." Ucap Renata membuyarkan lamunan Ara dan duduk di sebelah Ara.
"Rumah peninggalan orang tua gua ini". Renata mengangguk matanya mengitari ruang tamu yang besar ini. Elegan. Hanya itu Yang tersirat dalam otaknya.
"Lo gak capek? Gak istirahat?." Ucap Renata memainkan kerah kemeja Ara.
Ara menggeleng. "Tanggung sore, bentar lagi magrib."
"Besok bang Ari mau kesini. Boleh kan Ra?."
"Widihh,, gercep bat dah Lo. Ya boleh lah. Gua juga kangen sama dia."
"Yeyyyy,,, thanks Ra." Ucap Renata kemudian mencium bibir Ara. Ara tidak kaget, Karena Renata cukup sering mencium nya tiba-tiba.
Ciuman singkat mereka terlepas. Tapi pandangan mereka tidak. Ara kembali menautkan bibir mereka. Renata melumatnya kemudian Ara membalasnya untuk mengimbangi Renata. Cukup panas, sampai-sampai tanpa sadar Renata Sudak berpindah duduk di pangkuan Ara.
"Ekhemmm, di ruang tamu banget nih?." Sontak Ara dan Renata menghentikan aktivitas panas mereka.
"Eh ada Chika." Cengir Renata kemudian berpindah duduk di samping Ara. Ara melihat tatapan Chika yang tajam. Tangannya menyilang di depan dada.
"Kenapa Chik?." Tanya Ara kemudian. Bodo amat dengan Tatapan tajam Chika. Suruh siapa main masuk-masuk aja ke rumah orang.
"Nanti makan malam bareng di rumah, di suruh papah." Ucapnya ketus kemudian pergi begitu saja meninggalkan mereka.
"Lah, cemburu tuh anak?." Tanya Renata bingung melihat sikap Chika yang tiba-tiba dingin. Ara hanya mengangkat bahunya acuh.
***
Sebelum masuk ke rumah pratama, Ara menghela nafasnya berkali-kali. Ara gugup, dia takut bertemu dengan Pratama. Tapi Renata dari tadi terus menerus mengelus bahu Ara agar Ara tenang dan rileks.
Ara melangkah pelan memasuki rumah Pratama, berharap semua kemungkinan-kemungkinan buruk yang ada di pikirannya tidak terjadi.
"Pah..." Ucap Ara pelan setelah berdiri di samping Pratama di meja makan.
Kegugupan Ara bertambah ketika melihat tatapan tajam Pratama padanya. Ara tertunduk di hadapan Pratama. Dia sangat takut saat ini. Kesalahan nya cukup fatal. Wajar saja jika Pratama masih sangat marah padanya saat ini.
Ara masih menundukan wajahnya. Keadaan menjadi Hening. Bian dan Chika yang sudah duduk sejak tadi pun hanya bisa menyaksikan tanpa ingin ikut berbicara. Mereka pun panik, takut jika Pratama benar-benar akan memarahi Ara. Renata, dia hanya bisa diam di samping Ara karena bingung harus bagaimana.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEARA (END)
Teen FictionSenang bisa mengenalmu, mencintaimu dan dicintai olehmu. Perasaan itu sangat hebat. Terimakasih banyak. "Cara bodoh mana yang memperjuangkan dengan cara pergi?." "Aku bisa apa Chika."