CHAPTER 19

661 142 8
                                    

🏰🏰🏰

"Sampai kapan mau tidur, dasar pemalas?!"

Saat aku mendengar suara menggelegar itu, saat itu pula aku merasa selimut ditarik dariku.

"...E-Eh? Apa?" aku menyipitkan mata, belum terbiasa dengan cahaya dan terkejut dengan keadaan ini.

Orang yang menarik selimutku, kini memelototiku. "Apanya yang 'apa'! Berapa kali aku membangunkanmu? Kau telat sekolah lagi nanti!"

"...Eh...? I-Ibunda...?"

"'Ibunda?'?... kau kerasukan apa? Apa kau sakit? Apa kau ketiduran lalu jadi gila?"

"...Eh? Apa? Ah... P-pagi, mah." Aku memandangi mamah, yang kini berdiri dengan pose mengintimidasi. Dengan mata bulat seperti rubah yang sering mengganggu ladang.

"Bukannya kau sudah SMA? Apa kau tidak bisa merapikan diri sendiri?" katanya, dan membantuku duduk. Aku melihat diriku di kaca. Wajahku mirip dengan mamahku - seperti seekor kelinci, tapi cukup normal.

Kenapa aku merasa... ada yang salah? Apa ini memang wajahku? Hmm... mungkin, iya, tapi entah kenapa...

"Kenapa masih molor?! Kau nanti telat kalau tidak buru-buru!" suara melengking mamah membuatku melihat jam. Benar katanya - sudah hampir telat.

Aku segera melompat dari kasur dan bersiap ke sekolah. Aku melepas piama, mengenakan seragam, mencuci muka dengan air, dan persiapanku selesai.

"Setidaknya rapikan rambutmu," kata mamah. Tapi ya begitu, rambutku juga keras kepala, dan walau dirapikan seperti apapun, tetap ada yang tidak bisa rapi. Jadi aku membiarkannya.

Tapi, rambutku kini berbeda... panjang dan lembut. Setiap pagi, Beomgyu akan membantu bersiap, merapikan dan menyisir rambutku... Eh? Rambutku sekarang? Apa maksudnya? Apa yang Beomgyu lakukan...? Lah memang Beomgyu ini siapa?

Hmm... lagi, aku merasa ada yang salah. Aneh sekali. Sesuatu seperti... salah. Apa aku melupakan hal yang penting?

Ah! Sudah jam segini? Bahaya kalau aku tidak buru-buru! Jarum jam rasanya semakin cepat tiap kali aku tidak melihatnya.

Aku tidak punya waktu untuk memikirkannya! Aku segera pergi ke ruang tamu secepatnya - dan disana, ada kakak laki-lakiku, yang kini masuk universitas, sedang sarapan dengan elegan.

Kakak laki-lakiku yang satu lagi adalah seorang karyawan. Ia sudah berangkat kerja, seperti ayahku. "Oh, selamat pagi. Kapan kau bisa bangun tanpa perlu ditarik selimutnya?"

Mamahku berdiri di samping kakakku, yang sepertinya terhibur karena hal ini. Ia segera menyodorkan makan siang padaku.

"Makasih!"suara keroncongan pelan terdengar di perutku setelah menerima kotak bekal itu. Walau rasa laparku semakin menguat setelah melihat meja makan, tapi aku tidak punya waktu.

Aku mencari makanan yang lebih mudah dibawa... tapi nihil. Terpaksa aku mencari makanan yang nyaman digigit mulut saat bersepeda dari kulkas. Memang ada sesuatu - dan aku segera memasukkannya ke mulutku.

"Afku Bweranfkwat! Dwadwa!"dengan suara ceria, aku kembali ke pintu masuk rumah, dan melihat mamah lagi sebelum pergi. Entah kenapa, kakak laki-lakiku tertawa seperti orang gila di belakangnya.

"Tunggu... apa itu di mulutmu..." kurasa mamah mengatakan sesuatu, tapi aku tidak punya waktu. Tanpa menggubrisnya, aku keluar rumah, dan menaiki sepeda tersayangku dengan gerakan cekat.

My Next Life As A Villainess || HAREM JAEMIN [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang