CHAPTER 8

992 163 24
                                    

🏰🏰🏰


Namaku Jaemin Claes, putra tertua Duke Claes dan pewaris keluarga Claes.


Ketika berusia delapan tahun, kepalaku terbentur batu, dan membuat semua ingatan kehidupan sebelumnya masuk ke dalam pikiranku. Tidak butuh waktu lama untukku menyadari jika aku terlahir kembali di dunia yang sangat kukenal — Dunia Fortune Lover, sebuah otome game yang kumainkan sebelum meninggal.

Sebenarnya, aku, Jaemin Claes, adalah salah satu tokoh antagonis utama di game itu. Jaemin seharusnya adalah omega bangsawan yang sering mengganggu dan membully protagonis.

Takdir Jaemin di Fortune Lover tentu saja yang paling sial: Kalau tidak diasingkan dari kerajaan, ia harus menemui ajalnya di tangan target cinta protagonis. Sebuah Akhir Kehancuran!

Tentu saja, aku tidak mau mati! Walau kemungkinan kematianku cukup tinggi meski aku hanya diusir dari kerajaan. Sungguh Gawat! Aku tidak pantas menerimanya!

Karena mati muda di kehidupan sebelumnya, aku ingin hidup hingga tua disini, setidaknya dengan kucing di pangkuanku sembari bermandikan sinar matahari! Karena pensiun seperti itu yang kumau! Aku tidak ingin berhubungan dengan sosial politik cinta dan norma, apalagi terbunuh karenanya! Aku pasti akan melewati semua Akhir Kehancuran ini, dan hidup dengan damai!

Akhirnya, aku berniat untuk melawan semua akhir sial ini. Pertama, ada masalah tentang seseorang yang mungkin membawa Akhir Kehancuran Jaemin Claes — lebih tepatnya, tunangannya, Jaehyun, pangeran ketiga kerajaan.

Dalam cerita Fortune Lover, Jaemin, yang sudah membully protagonis selama ini, akan diasingkan olehnya atau ditebas dengan pedangnya karena sudah mengancam protagonis.

Aku tentu saja sudah menyiapkan rencana melawan Jaehyun; kalau aku diasingkan dari kerajaan, aku akan menggunakan sihir untuk bekerja. Dari apa yang kuingat, sihir sangat langka di luar kerajaan.

Kalaupun Jaehyun menghunuskan pedang padaku, aku hanya perlu melempar ular mainan super realistisku untuk menakutinya. Jaehyun sangat membenci ular. Dengan memanfaatkan momentum itu, aku akan menghindari serangannya dengan berkelas.

Hingga saat ini, aku sudah berjuang meningkatkan kemampuan sihirku, bersamaan dengan peningkatan mutu dan kemiripan ular mainanku dengan bantuan kepala tukang kebun mansion, Kakek Tom. Aku juga serius berlatih pedang — agar aku bisa menghindari semua serangan Jaehyun.

Ada lagi sosok yang cukup mengkhawatirkan, adik angkat Jaemin, sungchan Claes. Ia juga berpotensi membawa Akhir Kehancuran. Jaemin, tentu saja, membully protagonis dengan parah, dan sungchan menolongnya.

Lebih tepatnya, ia akan mengusir kakaknya, atau mengakhiri hidup kakaknya dengan sihir yang kuat. Jujur saja, di dalam skenario, Jaemin memang menyisakan luka mendalam di diri protagonis.

Tentu saja, aku juga menyiapkan strategi melawan sungchan… untuk memastikan ia tidak akan sendirian, aku selalu menemaninya, mengajaknya bermain setiap hari. Dalam latar cerita Fortune Lover, sungchan selalu hidup dalam pengasingan dan menyendiri hingga ia disembuhkan oleh kebaikan hati protagonis; tentunya, ia jatuh cinta padanya.

Yang perlu kulakukan hanya memastikan sungchan tidak kesepian — sangat sederhana! Dengan begitu dia tidak akan jatuh cinta pada protagonis. Dengan pikiran itu, aku membawanya kemanapun pergi di mansion, dan lama kelamaan hingga keluar juga.

Akhirnya, aku sudah berjuang keras selama tujuh tahun ini. Semua sebelum aku masuk ke Akademi Sihir!

Memang, semuanya terbayar. Di ulang tahunku yang ke lima belas, kemampuan berpedangku dipuji, dan ular mainanku sangat mirip dengan yang asli. Sungchan, juga, tumbuh dengan penuh kasih sayang, dan tidak lagi sendiri ataupun sedih.

Hasil memang tidak mengkhianati usaha! Sayang sekali, ada satu hal yang tidak berjalan mulus — kemampuan sihirku. Walau aslinya aku ingin belajar dan menguatkan sihir agar bisa menghasilkan uang jika diusir dari kerajaan, sayang sekali kenyataan tidak semanis itu. Tidak peduli sekeras apapun usahaku, kemampuan sihirku tidak meningkat — dan selain “Pengangkat Tanah,” satu-satunya mantra yang bisa kurapalkan, aku tidak bisa menggunakan sihir yang lain.

Karena itu, sangat tidak mungkin untuk menghasilkan uang dengan kemampuan sihirku. Aku harus membuat rencana lain karena perkembangan menyedihkan ini. Kini, aku mencoba berladang sebagai seorang petani yang rajin jika saja aku diusir dari kerajaan.

Karena kerja kerasku selama tujuh tahun ini, strategi pencegahan semua Akhir Kehancuranku akhirnya rampung, dan waktunya masuk ke akademi akan segera tiba.

Perlahan tapi pasti, napas putih musim dingin berjalan menuju akhir. Taman di mansion Claes, kini diselimuti kehangatan musim semi, juga ladang yang cukup luas — berkat kerja kerasku selama tujuh tahun ini tentunya.

Waktuku masuk ke asrama Akademi Sihir akan segera tiba, jadi aku harus berpisah dengan ladang ini untuk waktu yang cukup lama. Aku merasa ada kesepian kecil yang merangkak di hati saat melihat ladang yang kukenal itu.

“Kita akan masuk ke Akademi Sihir. Sebentar lagi, fufufu. Aku sangat menantikannya,” kata Haechan Hunt, dengan senyuman manis yang memenuhi wajah cantiknya. Dalam latar Fortune Lover, Haechan adalah tokoh saingan seperti Jaemin.

“Y-ya… kurasa…” bagiku, menginjakkan kaki di akademi tempatku mungkin hancur bukanlah lelucon — tapi tentu saja, aku tidak mengatakannya pada Haechan yang tersenyum lembut. Lalu…

“Aku juga sangat… tidak sabar…” kata winwin Ascart, tersenyum dari lubuk hati terdalamnya. Ia juga, seorang tokoh saingan di latar asli Fortune Lover.

“Y-ya… tentu saja.” Di kelilingi oleh senyum tulus, aku diselimuti oleh keheningan.

Sejak awal, kedua tokoh ini harusnya tidak punya kontak dengan Jaemin Claes di Fortune Lover. Kalau ada, mereka pasti tidak suka satu sama lain. Tapi, Haechan dan winwin kini teman baikku, dan mereka juga berkunjung ke mansionku setiap hari selama tujuh tahun ini.

“Dan kenapa kalian sesenang itu?” sebuah suara familiar, dan senyum mencurigakan yang juga familiar — suara yang tidak lain adalah milik Jaehyun Stuart, pangeran ketiga kerajaan, dan tunanganku.

Sebenarnya, Jaehyun sangat tidak tertarik dengan Jaemin dan hampir tidak pernah berhubungan dengannya. Tapi entah kenapa, ia juga sering berkunjung ke mansionku, dan kini menjadi temanku juga.

“Ah, Pangeran Jaehyun. Kami membahas tentang persiapan masuk akademi.”

“Ah, begitu. Tapi tentu saja. Aku juga tidak sabar,” respon Jaehyun, dan tersenyum tulus.

Hmm. Sepertinya Jaehyun juga tidak sabar masuk akademi… tapi, untukku, semua masalah akademi ini tidak bisa dinikmati.

Ada beberapa kali momen aku mengingat hal di Fortune Lover, dan tentu saja membuatku merasa depresi — karena, aku harus menginjakkan kaki di tempat Akhir Kehancuran menungguku! Dan lagi, akademi itu untuk sihir, jadi aku harus belajar rajin disana. Aku tidak bisa melihat kehidupan akademi yang menyenangkan. Kenapa mereka sangat tidak sabar?

“Em… kenapa kalian sangat tidak sabar masuk akademi…?” tanyaku, tidak mengerti kebahagiaan yang mereka rasakan.

“Tentu saja, agar aku bisa menghabiskan banyak waktu dengan Nona Jaemin…!” kata Haechan. Ia sangat girang, dan pipinya sedikit memerah.

“Ya…! Benar sekali! Kita bisa menghabiskan waktu… dengan Nona Jaemin, kalau kita disana!” kata winwin, dengan ekspresi mirip dengan Haechan.

Benar juga kata mereka. Karena pikiranku dipenuhi Fortune Lover selama ini, aku lupa hari-hari penuh kehangatan yang bisa kuhabiskan dengan teman-temanku di akademi.

Setelah menyadarinya, semua kesedihanku perlahan hilang.

“Aku yakin kita satu asrama juga, Jaemin. Datanglah ke kamarku kalau kau mau. Aku akan menyiapkan banyak makanan ringan dan manisan spesial untukmu Jaemin,” kata Jaehyun dengan senyum mempesonanya.

Tapi, ya… Ah… makanan ringan dan manisan spesial! Disiapkan oleh Pangeran Jaehyun! Sungguh menggoda. Memang sangat menggoda.

“Ya. Dengan senang ha—”

“Tapi kau tidak boleh, Kak! Tempat tinggal di asrama dibedakan menurut jenis! Walaupun kita semua pria namun kita berbeda! Kau tidak boleh melakukannya…!” kata sungchan, tiba-tiba menggangguku dan Jaehyun dengan wajah memerah.

Walau di latar asli Fortune Lover sungchan membenci Jaemin, ia tumbuh menempel padaku — mungkin karena aku selalu menariknya kemana-mana. Sekarang, sungchan benar-benar menjadi adik yang selalu mengawasi kakaknya.

“Ah, sungchan. Benar juga — memang asramanya dibedakan menurut jenis, dan mengunjungi orang lain saja butuh izin.”

“Itu pun kalau diizinkan! Saudara pasti pengecualian, tapi kakak, masuk ke kamar orang asing? Alpha, pula? Pasti sangat tidak etis.”

“Apa maksudmu orang asing? Kalau dipikir lagi, aku tunangan Jaemin — aku bukan orang asing, kan? Bagaimana denganmu, sungchan Claes? Bukankah kau Cuma adik angkat?”

“Sekarang kau tidak lebih dari tunangan, Pangeran Jaehyun. Kalau pertunangan ini dibatalkan, kakak dan kau hanyalah orang asing.”

“Ah, tapi apakah semudah itu membatalkan pertunangan ini?”

Dan mereka mulai lagi — sungchan dan Jaehyun memulai diskusi, dengan wajah penuh senyuman. Walau mereka tidak pernah bertemu di game, aku terkejut ternyata mereka sangat akur. Sebenarnya, mereka sering mengabaikanku dalam perbincangan itu… oh, mereka terlihat senang!

Karena adik angkatku dan Jaehyun akur, sangat menyedihkan jika mereka sama-sama menyukai protagonis di akademi… Ah, sungguh menyedihkan. Sangat menyedihkan jika satu

Omega direbutkan oleh dua alpha! Kuharap mereka bertemu dengan omega lain yang luar biasa — semoga saja bukan protagonis, tentunya.

“…Benar juga… pasti ada banyak bahaya dalam pengaturan kamar asrama… kita harus memikirkan cara mencegahnya…”

“Hmm? Apa itu, Haechan?” tanyaku, menyadarinya bergumam. Walau perhatianku ada di diskusi panas Jaehyun dan sungchan, Haechan terlihat muram. Ia sepertinya memikirkan hal yang penting.

“Ah, tidak apa, Nona Jaemin… hanya memikirkan sesuatu… Tapi tentu saja! Tuan Jeno, bukankah kau tahu susunan umum asrama akademi?”

Yang dipanggil oleh Haechan adalah kakak winwin, Jeno Ascart. Dalam cerita asli, kami harusnya tidak pernah bertemu. Ia juga target cinta potensial yang tidak pernah mengatakan apapun pada Jaemin Claes.

Tapi, Jeno, menjadi salah satu temanku juga. Karena ia satu tahun lebih tua dari kami semua, ia sudah masuk di akademi selama satu tahun, dan kini mengunjungi mansion Claes karena libur musim semi.

Pertanyaan mendadak Haechan tidak menggoyahkannya — Jeno menjawab dengan kalem dan tegas, sambil mempertahankan ekspresi kosongnya. “Kurang lebih.”

“Tuan Jeno, aku belum bisa membayangkannya — boleh aku bertanya lebih rinci? Kita harus melakukan pencegahan agar musuh tidak mengganggu…!”kata haechan.

“…Aku mengerti.”

“Nona Haechan, kakak, biarkan aku membantu juga!”

Haechan, Jeno, dan winwin memanggil pelayan untuk membawakan mereka pena dan kertas, sebelum meletakkannya di meja. Mereka duduk dan membahas hal yang sangat serius.

“Hmm…? Apa yang Haechan dan yang lain lakukan disana…?” aku berbalik ke orang di sebelah kiriku — ia berdiri di tempat, sama sepertiku.

“Kau bertanya padaku? Aku juga tidak tahu,” kata Mark Stuart, menggeleng. Dia kembaran Jaehyun, dan pangeran keempat kerajaan.

Sebenarnya, aku tidak ada urusan dengan Mark, tapi karena ini dan itu, ia juga menjadi temanku.

Untuk merespon Mark… aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan juga. “Ya, kan…?” kataku dan melihat Mark dengan hangat.

Mark selalu polos dan kekanak-kanakan, dan ia sangat tidak peka pada perubahan di sekelilingnya. Nyatanya, ia juga seperti ini di latar asli Fortune Lover, tidak pernah menyadari perasaannya sendiri pada protagonis. Mark si Pangeran Kekanak-kanakan. Kalau aku tidak mengerti, mana mungkin Mark mengerti.

“Tatapan apa itu?” kata Mark, terlihat terkejut. Apa ia sadar aku mengejeknya diam-diam?

“Ah, tidak apa, Pangeran Mark. Tapi… kau sudah lima belas tahun sekarang… Bukankah lebih baik kau bersikap dewasa sedikit…?” kalau Mark tetap kekakan-kanakan dan tidak peka, dia tidak akan pernah bisa mencuri hati Haechan. Karena itu aku memberinya saran.

“…Mengacalah dulu. Kukembalikan saran itu padamu.” Responsnya sangat kejam. Inilah kenapa orang berpikir kau kenakan-kanakan, Mark!

Tapi, aku, menjawabnya dengan elegan. “Ah, sungguh kasihan, Pangeran Mark. Apa maksudmu? Aku juga seorang omega bangsawan, kau tahu?”

Ia mulai menggumamkan hal seperti  “Eh? Tapi tidak peduli berapa kali dipikirkan kau juga…” tapi karena aku dewasa, aku melupakannya dengan elegan. Walau begitu, diskusi panas Jaehyun dan sungchan terus berlanjut, dan Haechan serta Ascart bersaudara tetap tenggelam dalam pertemuan mereka.

Walau aku masih merasa tidak yakin untuk memulai kehidupan di Akademi Akhir Kehancuranku, kenyataan jika aku bisa menghabiskan waktu dengan semua temanku sangat melegakan — dan kebahagiaan kecil mulai muncul di hatiku.

Kalau bisa, aku ingin melewati neraka otome game di depan mataku, dan menghabiskan hari-hari damai dengan teman-teman tersayangku.


🏰🏰🏰

Namaku adalah Huang renjun. Tahun ini, aku berusia tiga belas tahun. Aku baru saja masuk ke SMP lokal beberapa hari lalu… dan berakhir duduk di kursi paling belakang kelas. Sejak saat itu, aku menghabiskan waktu sendiri, tidak benar-benar berbaur dengan lingkungan baru.

Aku di kelilingi anak dari SD lain, dan mereka sudah membuat kelompok sendiri. Aku hanya ingin punya teman yang bisa diajak menghabiskan waktu… tapi aku sepertinya tidak ahli dalam hal seperti itu. Aku… tidak tahu bagaimana cara bicara dengan mereka. Aku tidak tahu bagaimana cara berteman dengan mereka. Aku tidak paham hal seperti itu.

Sama seperti saat di SD — aku selalu bermasalah dalam hal itu, dan sebelum menyadarinya, aku sendirian, dikucilkan dari siapapun dan apapun. Anak lain melihatku dengan aneh dan sering mengabaikanku. Terkadang mereka membully, bahkan menyembunyikan barangku… setelah hal ini terus berlanjut, aku sadar kalau aku takut pada orang, sebelum akhirnya diam, dan tidak pernah bicara dengan siapapun di sekelilingku.

Dan akhirnya… walau SMP menjadi tempat baru dan awal baru, aku tidak bisa bicara pada siapapun… atau bahkan menyapa. Dan begitulah, aku tidak ingin melihat teman sekelasku yang menikmati kehidupan SMP mereka. Aku hanya membaca buku yang kubawa dari rumah.

Buku ini adalah favoritku — komik dan light novel. Buku yang sangat aku sukai. Kalau aku membayangkan diriku masuk di cerita ini, aku bisa melupakan rasa kesepianku… tentang aku yang tidak bisa bicara dengan siapapun. Aku membayangkan diriku sebagai protagonis di cerita yang kubaca. Walau aku yang kesepian, pemalu, dan tidak bahagia, bisa menjadi seorang py populer yang dicintai semua orang di cerita.

Inilah alasanku membuka buku ini hari ini, dan duduk di kursiku, seperti biasa. Semua demi kabur dari kejamnya kenyataan…

Dan akhirnya hari berlalu, dan beberapa minggu terlewati setelah aku masuk SMP. Setelah Mata pelajaran terakhir, aku berjalan ke perpustakaan, bermaksud untuk meminjam buku dan membawanya pulang. Inilah keseharianku selama beberapa minggu ini.

Setelah mengenakan sepatu luar ruangan, aku segera merapikan barangku di loker dan berjalan ke lapangan sekolah. Aku melirik klub atletik, yang anggotanya sedang latihan.

Aku… tidak bergabung di klub mana pun. Jujur saja, aku mungkin mendapat satu atau dua teman kalau bergabung… tapi aku tidak punya keberanian untuk muncul sendiri di ruang klub yang asing.

Ah enaknya… pasti menyenangkan, saat memikirkannya, sembari melihat beberapa orang yang mengobrol dan tertawa saat latihan. Saat itulah… semua itu terjadi.

“Aaaaaaaahhhh!!!”

Aku mendengar suara aneh dari atasku. Sangat aneh… begitu aneh, hingga aku mendongak dan melihat apa itu. Tapi, yang kudengar hanya suara benda jatuh — dan aku merasa tekanan di seluruh tubuhku.

Segera saja, aku merasa kesadaranku lenyap.

“Uuuuugghhhh! Maaf, maafkan aku…!”

Seseorang… menangis. Aku bisa mendengar seseorang menangis. Perlahan, aku membuka mataku… hanya untuk melihat anak laki-laki di hadapanku dengan air mata dan ingus  yang memenuhi wajahnya. Sepertinya… inilah suara anak yang menangis itu.

“AH! Dia bangun! Bu guru! Dia bangun!!” anak yang kulihat itu berteriak sebelum berlari, membiarkan korden putih berkibar.

Aku… tidak mengerti. Apa… aku ketiduran? Perlahan, aku melihat sekeliling. Langit-langit putih, korden putih yang masih berkibar… dan aku yang terbaring di tengahnya, di atas kasur yang sama putihnya.

Walau aku tidak tahu dimana aku berada, langi-langit ini sangat familiar — sama persis seperti di kelasku. Kalau aku bisa menebak, kurasa aku masih di bangunan sekolah…

Eh…? Tapi kupikir aku tadi pergi ke gerbang sekolah lewat lapangan… saat masih bingung, aku melihat wanita dengan pakaian serba putih masuk ke lapang pandangku.

“Bagaimana perasaanmu? Apa kepalamu pusing? Apa ada yang sakit?” wanita berjas putih itu bertanya.

Aku perlahan melihat diriku lagi. Aku tidak merasa sakit, dan kepalaku… baik-baik saja. “Kurasa… aku baik-baik saja…”

Setelah mendengar jawabanku, wanita itu tersenyum. Senyum yang menenangkan. “Syukurlah. Tapi, sebaiknya kau memeriksakan diri di rumah sakit kalau ada keluhan lain… aku sudah menghubungi keluargamu beberapa saat lalu.”

“…Eh? Rumah sakit? Periksa…?” aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Aku melihat wanita itu dalam kebingungan. Wanita itu sepertinya juga khawatir.

“Ya… kurasa kau sangat terkejut. Ini ruang UKS — kau dibawa kesini setelah tidak sadarkan diri.”

“Aku… tidak sadarkan diri?”

Ini ruang UKS? Baru kali ini aku kesini… itulah kenapa aku tidak tahu ini dimana. Lalu… wanita serba putih itu mungkin dokter sekolah.

Walau begitu… kenapa aku disini? Aku tidak sakit, dan baik-baik saja hari ini… lalu kenapa aku pingsan…? Pertanyaan itu mulai memenuhi pikiranku.

Bagai menyadarinya, suster sekolah itu tersenyum padaku, walau agak dipaksakan. “Amnesia ringanmu dipengaruhi oleh luka fisik. Penyebabmu dibawa kesini adalah dia.”

Setelah mengatakannya, suster itu menunjuk laki-laki tadi, yang kini berdiri di sampingnya. Air mata dan ingus masih memenuhi wajahnya, seperti tadi.

“Maaf…” kata anak itu, menunduk ke arahku. “Aku tidak tahan, kau tahu, pesona pohon di lapangan sekolah… awalnya lancar saja saat aku memanjatnya, lalu aku terlalu percaya diri dan kakiku terpeleset… dan itulah kenapa aku jatuh di atasmu. Aku… minta maaf…”

Kalau diingat lagi ada bunyi aneh… suara, mungkin? Dari atas sebelum aku tidak sadar… jadi begitu. Anak itu menindihiku.

Walau begitu… aku masih terima jika anak SD masih memanjat pohon… tapi anak SMP memanjat pohon? Dan bahkan di lapangan sekolah…? Aku tidak mengerti apa yang ia katakan — terutama di bagian “pesona pohon.”

Aku melihat anak itu baik-baik — ia masih menundukkan kepala sembari terus meminta maaf. Ia mengenakan seragam sekolah kami. Tapi, celananya, kotor dan berkerut-kerut. Sepertinya ia mengotori celananya saat jatuh dari pohon… tapi bukankah itu artinya dia memanjat memakai Seragam sekolah? Di pohon di lapangan sekolah…? Sepertinya anak di depanku ini… aneh.

“Em… tidak apa, sungguh…” aku tidak bisa membiarkan laki-laki ini terus menunduk dan meminta maaf padaku… rasanya agak berlebihan.

“…Tapi!!” anak itu kebingungan.

Mungkin aku harus mengulanginya lagi. “Sungguh… tidak apa. Tolong jangan khawatir.”

Anak ini adalah anak yang mendarat di atasku, dia jatuh tanpa peringatan. Jujur saja, mungkin lebih masuk akal jika aku harusnya marah… tapi, dia minta maaf di depan mataku. Sangat bersalah sepertinya.

Entah kenapa, aku tidak bisa membencinya — ia punya aura aneh, dengan wajah memerah dan alis lumayan tebal.

“kau tidak sengaja melakukannya… tolong, sudah tidak apa. Lebih penting lagi… apa kau baik-baik saja? Setelah jatuh…?”

Mendengarnya, anak itu tersenyum lebar. “Aku baik-baik saja! Terima kasih, huang. Kau sangat baik.” anak, yang sedari tadi menangis, kini tersenyum.

Tapi… “…kenapa kau tahu namaku?” Ya. Kenapa anak ini tahu namaku? Apa dia melihat namaku dari nametag di barangku, mungkin?

“apa maksudmu? Tentu saja aku tahu. Bukankah kau teman sekelasku?”

“?!” aku melihat ekspresi terkejut anak itu.  Kalau diingat lagi… aku memang pernah melihatnya entah dimana.

Oh, ya… kami teman sekelas. Aku selalu membaca buku sendiri selama beberapa minggu ini setelah masuk SMP — aku tidak hafal wajah teman sekelasku, apalagi namanya.

“Aku… tidak tahu. Wajah atau nama anak di kelas… maaf.” Aku merasa bersalah. Laki-laki itu menyadari, dan bahkan tahu namaku. Tapi, aku… tidak tahu dia sama sekali. Bagaimana kalau dia marah padaku? Apa aku jahat?

Bagai merasakan ketidaknyamananku, anak itu tersenyum lembut. “benarkah? Kalau begitu, aku harus memperkenalkan diri lagi! Kelas 1 ruang 3. Namaku ——.”

Anak itu memperkenalkan diri, dan mengulurkan tangannya. Sebelum menyadarinya, aku menyalami tangannya. Anak itu tersenyum sumringah.

“Semoga kita jadi teman baik!” kata anak itu dan mempererat genggamannya. Tangannya sangat… hangat.

Mulai hari itu, hidupku yang kesepian bagai membanting setir.

Seperti katanya — kami menjadi teman baik sejak saat itu. Keesokan harinya, laki-laki aneh pemanjat pohon ini mendekatiku, dan sebelum menyadarinya, ia menjadi teman pertamaku.

Lalu…

“injun! Tolong aku!” katanya, dengan suara menyedihkan, dan memelukku dari belakang.

“…Ada apa?” jawabku sekalem yang kubisa.

“Ada tugas bahasa Inggris hari ini… dan aku harusnya mengerjakannya, tapi aku lupa… Aku lupa semuanya! Lalu aku dimarahi… ‘kalau kau lupa mengerjakan PR lagi, kau harus mengepel seluruh koridor!’ kata guru begitu!”

Aku melihat wajah temanku, yang hampir menangis, dan menghela putus asa. “Kau… selalu lupa.” Walau begitu, aku merogoh tas dan mengeluarkan catatan kelas bahasa Inggrisku. Segera setelah menyerahkannya, senyum familiar kembali ke wajahnya. “kembalikan sebelum kelas dimulai…”

“Ohhh! Nona injun! Terima kasih sangat sangat banyak!” dan dengan begitu, ia pergi, kembali ke mejanya dan menyalin semua catatan itu secepat yang ia bisa.

“sepertinya kau sudah terbiasa dengan kera liar itu, Huang,” kata seorang teman sekelasku setelah melihat kami.

“…Kera liar?”

“Ya, kera liar. Julukannya saat SD. Aku dari SD yang sama dengannya.” Kata gadis itu, tersenyum sedikit pasrah. “Dia akan memanjat pohon di lapangan sekolah saat istirahat — dia sering memanjat, bahkan pohon yang di dekat bukit juga! Bahkan, karena suara berisiknya saat memanjat, rumor tentang kera raksasa yang tinggal di bukit menyebar saat itu…”

“Itu… luar biasa.”

Masuk akal sekali — jika kelakuan temanku itu adalah bawaan dari SD, maka, memanjat pohon dengan seragam saat SMP bukan masalah lagi baginya.

“Dia juga sering lupa mengerjakan PR dan catatan! Para guru selalu marah padanya, tapi besoknya dia pasti lupa… sekaligus lupa PR-nya lagi!”

“Hebat… sekali….”

Itulah kata teman sekelasku. Walau temanku itu kebal dengan ceramah guru, dia selalu baikan esok harinya. Dia sangat riang — selalu melupakan masalahnya tidak peduli bagaimana marahnya orang padanya. Kemampuannya melupakan sesuatu memang luar biasa…

Tapi, bahkan temanku sendiri tidak keberatan jika kelakuannya itu merepotkan banyak orang. “Kurasa orang di sekelilingnya pasti kerepotan…” kataku. Tapi, temanku yang mengajakku bicara tadi, kini menunjukkan ekspresi serius di wajahnya.

“Memang benar. Tapi… bersama dengannya terasa menyenangkan, kan?” katanya, sebelum tertawa. Lalu aku juga tertawa.

Sejak saat itu, aku menikmati kisah keanehan temanku itu dan kelakuan menakjubkannya.

Dan begitulah, sebelum menyadarinya, aku membuat banyak teman lain — teman dari kera liar itu sendiri, dan bahkan anak kelas lain. Kera liar, yang berayun di bukit selama ini, sepertinya teracuni oleh kegemaran dan hobiku. Ia tertarik dengan komik dan anime/drama juga.

Mungkin karena hal ini kera liar itu berhenti pergi ke bukit. Karenanya, orang tuanya juga berterima kasih padaku — walau percakapan itu terasa agak aneh. “Terima kasih sudah mengubah kera menjadi manusia lagi,” kata mereka, terdengar lega.

Sekarang, dengan teman baru yang punya kegemaran sama, aku lebih tenggelam lagi dalam hobiku. Akhirnya, kami berdua menjadi otaku/nolep setia, dan kera liar itu menjadi teman terdekatku.

Waktu berlalu, dan pertemanan otaku kami berbunga. Tidak terasa kelas tiga SMP sudah dimulai, dan kami mulai berencana untuk masuk ke SMA terdekat yang sama.

“injun… aku tidak… tidak sanggup. Kuserahkan semua… padamu…” dengan begitu, sahabatku menutup buku, sebelum meletakkan kepalanya dramatis di atas catatan yang sudah ku fotocopy.

“A-Apa maksudmu…? Belum sepuluh menit kita mulai! Kalau begini terus, kau bisa dikeluarkan dari sekolah!”

“…Nghh… t-tapi… membaca semua buku ini membuatku ngantuk… aku tidak kuat. Pasti ada kutukan di buku ini…”

Setelah mengatakannya, sahabatku menghela napas dalam. Dan dengan begitu, les tambahan tes masuk SMA berakhir, hanya dalam sepuluh menit. Walau ia mumpuni secara fisik dan olahraga, kemampuan akademiknya tidak bisa diharapkan lagi. Bukan berarti dia tidak bisa belajar — hanya tidak tertarik, dan dia juga tipe orang yang tidak peduli dengan hal yang membosankan.

Walau aku sudah menstabilo semua soal yang mungkin keluar, tes masuk SMA tidak semudah itu. Bagaimana ini…? Kalau begini, kita tidak bisa masuk SMA yang sama. Dia mungkin tinggal kelas dan harus les sendiri selama satu tahun. Apa tidak ada yang bisa kulakukan untuk menyemangati anak bodoh ini…?

“Baiklah! Kalau ujiannya selesai, kau boleh memainkan semua otome game yang kukumpulkan selama ini! Semuanya!”

“O…Otome game? Apa itu?”

“Otome game” adalah bentuk hiburan favoritku yang baru. Aku bahkan membeli banyak game itu dengan tabungan uang tahun baruku. Sebenarnya, aku berencana merekomendasikan game ini padanya dengan harapan kami bisa berdiskusi saat waktu luang.

Tapi… karena sifat ceroboh sahabatku ini, orang tuanya mengatakan jika ia akan semakin malas dan masa bodoh jika diberi uang lebih. Jadi dia hanya diberi uang jajan sedikit, dan bahkan uang tahun barunya ditransfer paksa ke rekening banknya.

Dia tidak bisa membeli barang mahal sendiri, jadi tentu saja, dia tidak punya otome game atau konsol. Di sisi lain, aku tidak punya cukup uang untuk membeli dua konsol, dan tidak bisa menghadiahkannya pada temanku. Jadi aku merasa sedih ketika ia melihatku dengan iri.

“…Tapi… Injun. Kau tahu aku tidak punya konsol game…” katanya dengan lesu.

Tapi aku tersenyum untuk menyemangati temanku. “Aku.. akan meminjamkan punyaku! Jadi kalau kau lulus tes, pinjam saja punyaku! Lalu mainlah!”

“…Oh… nona injun…!!” katanya, dengan mata yang bergemerlap ia berdiri, dan melihatku “Terima kasih injun! Aku pasti akan lulus tes masuk SMA! Demi otome game!!” katanya dengan tegas.

Dan begitulah, dia dan aku lulus tes — walau motivasinya perlu dipertanyakan. Kami sama-sama berjuang, dan masuk SMA yang sama.

Ada juga hadiah tidak terduga — orang tua temanku membelikannya konsol, dan untuk beberapa saat, kami berbahagia dalam dunia otome game.

Setelah masuk SMA, jumlah teman otaku-ku bertambah drastis. Demi membeli game favorit, dia dan aku mulai bekerja sampingan. Walau beberapa hal tidak berubah — aku tetap membantunya menutupi PR yang dia lupakan, dan hari damai itu terus berlalu.

Kesepian yang kurasakan saat SD, pengasingan dan ketidakmampuanku untuk bicara, tiba-tiba menjadi mimpi buruk semata. Walau ia seorang pembuat onar, aku menghabiskan hari-hari damai dengannya — aku tidak bisa menolaknya walau kelakuannya di luar nalar manusia.

Saat itu, aku percaya hari-hari seperti ini berlangsung selamanya, seperti biasa.

Kebetulan hari itu aku tidak membawa ponsel. Saat kelas 2 SMA, temanku dan aku beda kelas — karena itu aku tidak tahu kalau dia tidak masuk.

Oh ya… dia tidak main kesini hari ini… hanya itu yang kupikirkan saat itu.

Lalu, aku menerima berita sepulang sekolah. Jika aku tidak akan pernah bisa melihatnya lagi.

Hari-hari damai yang seperti berlangsung selamanya itu tiba-tiba berakhir — disini dan saat ini.

Pemakaman. Aku disana, tapi tidak meneteskan air mata.

Aku tidak percaya aku tidak akan pernah bisa melihat temanku lagi seumur hidup. Aku tidak akan pernah melihatnya… lagi.

Dia kera liar! Dia pasti kembali entah bagaimana, dia pasti berhasil melewati semua ini seperti biasa, kan? Mungkin dia Cuma…

Setelah pemakaman berlalu, hari berjalan seperti tidak ada yang terjadi. Tapi, tidak peduli berapa lama aku menanti, sahabatku tidak pernah muncul lagi.

Beberapa hari kemudian, aku sadar ada pesan tidak terbaca di ponselku — aku melupakan semuanya. Aku sibuk di dunia nyata, dan tidak punya waktu melihat ponsel.

Kapan kuterima pesan ini? Aku membukanya — dan disana, di layar, nama sahabatku terlihat. Aku melihat lini masa. Tepat di hari kecelakaan itu — tepatnya di pagi buta.

“injun! Aku tidak bisa menyelesaikan rute pangeran sadis berhati busuk itu!!” kalimat itu ditemani emoji yang biasa ia gunakan — wajah bermasalah. Mungkin, ia membicarakan tentang skenario salah satu otome game yang kami mainkan.

Pesan terakhirnya… ini. Hingga saat terakhir pun… dia sungguh… seperti dirinya.

Aku menertawakan diri sendiri. Sungguh lucu… dan aku tertawa. Aku tertawa, dan tertawa, dan tertawa… hingga air mata membasahi pipiku.

Sebelum menyadarinya, air mata jatuh bercucuran lagi dan lagi… tidak bisa berhenti. Rasanya mataku seperti meleleh karena kesedihan — air mata terus bercucuran.

Walau dia sudah meninggalkan dunia ini, aku tidak lagi sendiri… karena dia sudah membukakan pintu dunia baru untukku.

Aku memeluk erat ponselku. Di layarnya, adalah pesan terakhir yang ia kirim. Anak itu… anak bodoh itu. Dia tidak akan pernah kembali lagi.

Di hari yang akan kujalani mulai kini… adalah hari tanpanya. Aku akan hidup. Aku akan terus hidup… di dunia yang ia hadiahkan padaku ini.

Jadi… jika hidup ini… seperti cerita yang kubaca. Ya, seperti cerita yang kubaca… jika suatu hari, hidupku berakhir, dan aku direinkarnasi…

Kumohon… aku ingin bersama dengannya lagi… dan menjadi temannya. Hanya sekali lagi.

Dan hidup dalam hari-hari damai itu, bersama dengannya… sekali lagi.

🏰🏰🏰

“…Nona winwin? Nona winwin…”

Seseorang memanggilku. Perlahan, aku membuka mata — dia adalah salah satu pelayanku, melihatku dengan ekspresi khawatir. Dialah sumber suara… yang memanggilku.

“…Ya? Ada apa?” tanyaku, masih merasa linglung.

“…Ya, Anda sepertinya mengigau… apa Anda baik-baik saja, nona?”

“…mengigau?” beberapa saat kemudian aku sadar — pipiku basah.

Ah… aku menangis? Tapi… entah kenapa aku tahu sebabnya. “…Aku… memimpikan hal yang sedih. Karena itu… aku mengigau.”

“Mimpi, Nona winwin?”

“Ya… dan mimpi itu, sangat sangat menyedihkan… tapi aku lupa semuanya… setelah bangun.”

Ya. Walau aku tidak ingat rincinya, kesedihan dalam hatiku tidak salah. Sungguh… mimpi yang sangat menyakitkan.

“Rasanya seperti… aku mengingat sesuatu. Mengingat masa lalu…”

“…Masa lalu…” ekspresi pelayan itu agak membeku mendengar gumamanku.

Hingga beberapa tahun lalu, aku dilihat sebagai orang aneh… bahkan mungkin tidak normal. Aku digunjing dan didiskriminasi, sebagai responnya, aku mengunci diri di kamar. Pelayan itu mungkin memikirkan hal itu.

“…Em. Tapi mimpinya… bukan tentang aku mengunci diri. Tapi jauh lebih lama. Mimpi dari waktu yang sangat dan sangat lama…”

Ekspresi pelayan itu kini bertanya-tanya. Tapi memang begitu sewajarnya… karena aku hanya anak kecil. Bagaimana bisa aku punya ingatan kehidupan yang lama…?

Jujur saja, aku bahkan tidak ingat… yang kutahu hanyalah mimpi itu sedih. Mimpi yang sedih dan menyakitkan. Aku juga tidak bisa mengingatnya…

Tapi, aku merasa tahu tentang mimpi itu… semua terjadi di waktu lampau yang sangat lampau… walau aku tidak ingat rincinya, aku merasa sedih dan sakit di dada.

Bagai menyadari kesedihanku, pelayan mencoba menghiburku, berbicara dengan nada yang lebih ceria.

“Nona winwin, hari ini kunjungan Anda ke mansion Claes!”

Setelah mendengar kalimat itu, kesedihan di dadaku sedikit meregang — walau hanya sedikit.

Itu benar. Aku akan mengunjungi Jaemin hari ini. Aku sudah memilihkan buku yang bagus juga untuknya. Apa dia suka? Aku merasa sisa kesedihanku itu perlahan sirna saat memikirkan Jaemin.

Aku segera berdandan dan sarapan, menyiapkan semua yang dibutuhkan. Aku segera pergi ke Mansion Claes seperti biasa, dengan kakakku Jeno yang menemani.

Setelah sampai di mansion Claes, aku melihat Jaemin di taman — seperti biasa. Dia bersama adik angkatnya, sungchan.

“sungchan! Jamur ini pasti bisa dimakan!”

“Tidak, kak. Kita tidak tahu tentang jamur aneh yang tumbuh di pohon. Jamur ini pasti tidak bisa dimakan…”

“Tidak, tidak! Apa maksudmu? Sudah pasti bisa dimakan. Baunya saja sama seperti jamur shiiratake! Ini pasti satu jenis dengan jamur shiiratake. Aku tahu itu!!”

“A-Apa sebenarnya ‘shiiratake’ ini… kak? Bagaimanapun, buang saja jamur aneh itu. Kau tidak boleh memakannya! Perutmu pasti sakit!”

“Ah, tidak tidak. Kita tidak akan tahu sampai mencobanya sendiri! Ah… winwin!”

Sepertinya Jaemin dan sungchan tengah berdebat panas. Ada senyum lebar di wajah Jaemin saat melihatku.

Aku bisa merasa kulit terakhir kesedihan itu lepas dari hatiku. Aku sangat bersyukur datang ke pesta minum teh kerajaan beberapa tahun lalu… dan aku bertemu Jaemin Claes hari itu.

“Nona Jaemin… A-aku membawakan rekomendasi baru… bukunya sangat menarik…”

“SUNGGUH?! Terima kasih banyak, winwin!” Jaemin melompat girang saat aku menyodorkan buku yang kubawa.

Hari-hari yang kuhabiskan dengan Jaemin penuh dengan warna kebahagiaan. Aku sangat bersyukur bisa berteman dengannya.

Sebelum menyadarinya… tidak ada lagi bekas jejak kesedihan yang kurasakan beberapa saat lalu. Semua hilang… begitu saja.

TBC


My Next Life As A Villainess || HAREM JAEMIN [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang