4.💚💚

500 62 22
                                    

Apa salah satu mood booster aku? Yaitu ketika buka apk wattpad ada notifikasi komentar2 dan vote2 dari readers. Auto bahagia dan gass nulis lagi.

Jangan jadi silent reader, ya!

Lailiintan
💚

Seluruh isi lemarinya jatuh ke lantai tanpa ada yang tersisa.

Kondisi lemari bajunya sekarang layaknya kandang kambing yang rumputnya berserakan di mana-mana.

Nafas Mutiara tersekat. Tubuhnya gemetar. Kakinya lunglai tak dapat menopang badannya.

"SIAPA YANG NGELAKUIN INI SEMUA?" teriak Mutiara dengan berlinangan air mata emosi.

Seluruh penghuni kamar hanya diam menyaksikan kemarahan Mutiara untuk pertama kalinya. Tak ada yang berani berkutik sama sekali.

"Arghhhh." Mutiara mengerang sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Gak bosan apa gangguin hidup orang terus. Emang salah ya, kalo gue hidup tenang?" decit Mutiara dengan air mata yang berlinangan tiada henti.

"Gue gak pernah dan gak akan pernah bosan buat gangguin hidup, lo," sahut seorang wanita dari pintu kamar sambil berjalan menghampiri Mutiara.

Semua orang yang ada di dalam kamar tak terkecuali Mutiara pun menengok ke arah asal suara. Dan ternyata, orang itu adalah Jauha dengan Ria.

Tangan Jauha memegang satu per satu baju Mutiara lalu melempar ke sembarang arah. Mutiara berusaha memendam amarahnya terlebih dahulu agar tak terluap begitu saja. Setidaknya, dia lebih sehat dari mereka.

Mutiara tetap diam melihat perlakuan Jauha dan Ria yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang santri kepada santri lain.

Setelah semua barangnya tercecer di mana-mana, barulah Mutiara berdiri dan menatap tajam mereka.

"Udah?" ujar Mutiara sambil tersenyum tipis.

Jauha dan Ria saling bertatapan.

"Kenapa? Kalau belum puas, Kalian bisa obrak-abrik lemari bukuku. Tuh, masih rapi. Silahkan!" tangan Mutiara menunjuk ke arah lemari bukunya.

Jauha dan Ria tersenyum miring mendengar perkataan Mutiara barusan.

"Jangan harap lo menyesali apa yang udah lo katakan tadi," ketus Jauha kemudian berjalan menuju lemari buku Mutiara.

Tanpa pikir panjang, Jauha menjatuhkan seluruh isi lemari buku Mutiara dari belakang ke depan. Otomatis, semua isinya pun jatuh ke bawah secara beruntun tanpa ada yang tersisa.

Mutiara mengembuskan nafas panjang, pasrah. Lebih baik dia memberi kebebasan untuk mereka mengobrak-abrik lemarinya. Karena dicegah pun, tidak bakal mempan. Yang ada, malah tambah parah.

"Ria, mumpung ada keset gratis, sono dimanfaatin." Jauha menyeret baju-baju Mutiara kemudian ditaruh depan Ria.

"Wih, Asyik." kaki Ria mengelap di atas baju-baju Mutiara.

Ingin sekali Mutiara menangis dan kabur dari pondok itu. Namun, dia tak ingin orang yang selalu menginjak-injak harga dirinya merasa menang karena Mutiara lari dari masalah. Ia telah bertekad bahwa sebesar apapun masalah yang menghadangnya, ia akan menghadapinya.

Toh, dia sudah terbiasa dengan bermacam-macam penderitaan. Dan sebuah masalah merupakan lauk-pauk Mutiara setiap harinya.
"Udah selesai belum? Kalau belum silahkan dilanjut kembali," sahut Mutiara.

"Udah, kok. Terima kasih atas waktunya dan fasilitas kesetnya, Mutiara Tazkiya," timpal Ria.

Jauha dan Ria berjalan keluar dari kamar sambil tertawa menyeringai.

Mutiara melihat sekelilingnya yang dipenuhi dengan barang-barangnya. Ingin sekali dia menangis, tapi sebisa mungkin ia tahan agar tak jatuh walau satu tetes. Air matanya terlalu berharga untuk hanya sekadar menangisi dua manusia layaknya titisan iblis itu.

Mutiara menjumputi pakaian-pakaiannya yang berserakan terlebih dahulu. Kemudian, ia mengambil buku-buku yang bertebaran di mana-mana.

Sebenarnya tangan Mutiara sangat gemetar saat ini. Namun, ia tetap harus terlihat tidak apa-apa di depan orang. Padahal hatinya sekarang sedang kacau-balau.

"Kalau kalian punya hati, pasti kalian bantu gue. Eh, lupa. Kalian kan kayak pohon pisang, Punya jantung tapi gak punya hati," decak Mutiara.

Seperti dugaan Mutiara, semua orang yang ada di kamarnya, hanya diam sambil berbisik. Mutiara sudah terbiasa dengan hal seperti itu. Kalaupun dia merasa untuk menyerah, pasti akan ia tepis. Ia harus kuat dan harus seperti itu.

"Ya Allah sampai kapan penderitaan ini aku rasakan?" lirih Mutiara dalam hati.

"Lima tahun aku mondok. Lima tahun itulah aku menderita. Lima tahun itulah aku hidup seorang diri. Aku hanya punya Engkau, Ya Allah. Engkaulah salah satu teman dan tempatku memohon. Ya Allah kuatkanlah aku menerima cobaanmu." tak terasa, satu tetes air mata jatuh dari pelupuk mata Mutiara.

Ia pun langsung berlari ke kamar mandi. Ia tak ingin tangisannya ketahuan oleh orang lain. Cukup dirinya dan tuhannya lah yang boleh tahu.

Sesampainya Mutiara di kamar mandi, dia langsung memutar kran dengan full. Ia menangis sejadi-jadinya di sana. Dia meluapkan emosi yang tak pernah ia tampakkan ini. Dia tersiksa. Sungguh tersiksa. Namun, apa dayanya yang hanya bisa diam.

"Ya Allah. Maafkan aku. Terkadang aku merasa mungkin menyerah adalah jalan terbaik untukku keluar dari zona siksaan dunia ini. Aku sangat takut di sini. Aku tidak punya teman ataupun sahabat yang memihakku. Pantaskah aku hidup jika aku selalu salah di mata orang?" decitnya sambil membasuh wajahnya dengan kasar.

Wajahnya beserta kerudungnya telah basah kuyup karena terkena guyuran air. Ia tak perduli. Yang sekarang harus ia lakukan adalah memberesi pakaian-pakaian dan barang yang telah diberantakan oleh dua manusia keji itu.

Dia pun akhirnya keluar dari kamar mandi lalu memberesi semua pakaian dan barangnya sampai selesai.

💚

Mutiara kini tengah bersiap-siap untuk menyimak setoran hafalan Juz 30 bagi santri yang masih pemula ikut program tahfidzul qur'an. Dalam lubuk hati yang besar, ia tidak ingin menerima tawaran Ummi Ruqoyyah. Namun, berbeda halnya di lubuk hatinya yang paling kecil, ia sungguh menerima tawaran Ummi Ruqoyyah dengan senang hati.

"Makasih Gus Nial atas bantuannya untuk menerima tawaran Ummi Ruqoyyah tanpa harus bilang bahwa aku bersedia," batin Mutiara.

Mutiara menghembuskan nafas panjang sebelum berjalan ke ndalem. Dia berkali-kali mengulang hafalannya untuk sekadar mengingat-ingat kembali.

Dia pun melangkahkan kakinya ke ndalem. Alangkah bahagianya Mutiara saat mendapati ndalem tampak sepi tak ada orang satu pun. Degup jantungnya kini pun mulai normal tak secepat tadi.

Terlihat santriwati berjumlah 8 tengah duduk mengantri dengan tertib. Lagi-lagi, senyum terlukis dari bibir Mutiara. Sudah berapa lama ia tidak tersenyum tulus seperti sekarang. Dan kini, senyumnya merekah dengan manisnya.

"Jangan senyum-senyum mulu. Cepetan hafalan santrinya disimak. Mereka udah nunggu dari tadi." suara Gus Nial muncul secara tiba-tiba di ruang tamu tempat setoran hafalan nanti.

----

Udah suka belum sama cerita keduaku? Maaf ya kalo aku lama updatenya. Soalnya sekarang aku udah kerja. Jadi waktu luangnya dikit banget.

Aku harap kalian tetap setia nungguin aku update kayak yang cerita MAHKOTA IMPIAN SANTRI. Insya Allah ceritanya gak kalah bagus juga dengan cerita pertamaku.

Publish : 17 September 2021

Semangat ya buat yang sekarang sekolahnya udah offline. Jangan sering-sering tidur di kelas. Hehe :-)

-----

MutiarakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang