11.💚

436 34 5
                                    

"Kebiasaan yang mengakar menjadi kecanduan. Kenyamanan yang entah sejak kapan dia bertempat tinggal. Dan setiap pertemuan yang menurutku adalah sebuah keanugrahan."

-Ahmad Danial.

💚

Sudah menjadi kebiasaan Gus Nial untuk selalu memperhatikan Mutiara saat sedang menyimak santri menghafalkan juz amma. Bahkan, harinya akan terasa sepi dan sunyi jika sehari saja tak melihat dan mendengar Mutiara melafalkan ayat suci Al-Qur'an.

Jatuh cinta. Entah sejak kapan Gus Nial merasakan hal itu. Cinta yang tak bermulai, dan rasa yang selalu terurai.

Setelah seluruh santrinya selesai menyetorkan hafalan juz ammanya pada Mutiara, Gus Nial pun segera menghampiri Mutiara.

"Ehem." Gus Nial kini telah berdiri di sebelah kanan Mutiara.

"Astaghfirullah Gus. Ada apa?" Mutiara terkejut melihat Gus Nial datang secara tiba-tiba.

"Setoran. Sekarang!" perintah Gus Nial.

Mutiara mengerutkan dahinya. Dalam lubuk hati, dia tidak ingin setoran ke Gus nya ini. Dia pun mencari alasan sedemikian rupa untuk menolak perintah Gus kedua Ponpes Darul Musyawarah ini.

"Belum lancar, Gus," ucap Mutiara.

"Saya ingatkan kalau ada yang salah," papar Gus Nial.

"Saya belum nambah, Gus," celetuk Mutiara.

"Setoran yang udah hafal aja."

"Saya hari ini ada piket kamar, Gus." Mutiara menelah ludah setelah mengatakan alasan ketiganya ini.

"Kok gue malah ngomong piket-piket," batin Mutiara.

"Gak usah banyak alasan. Setoran sekarang!" tandas Gus Nial tegas.

Mutiara menghela nafas kasar. Dia sudah tahu akan sifat keras kepalanya Gus bernama lengkap Ahmad Danial ini. Sejuta alasan yang dipaparkan pun, tidak akan bisa mengubah keputusan dan perintah manusia di samping mutiara ini. Ia pun pasrah dan menuruti apa yang dikatakan Gus Nial tersebut.

Mutiara menyerahkan Al-Qur'an kesayangannya pada Gus Nial. Dia pun duduk berhadapan dengan anak Kiai Wahid dan Bu Nyai Ruqoyyah ini.

Mutiara menghembuskan nafas panjang terlebih dahulu.

"بسم الله الرحمن الرحيم. كهيعص. ذكر رحمت ربك عبده زكريا. اءذ نادي ربه نداء خفيا. صدق الله العظيم."

Mutiara membasuhkan kedua telapak tangannya ke wajah.

"Sudah, Gus. Boleh saya ambil Al-Qur'an saya," tutur Mutiara.

Gus Nial menyipitkan matanya. "Kok cuma tiga ayat?"

"Kan tadi saya udah bilang, saya belum lancar, saya belum nambah, plus saya ada piket kamar, Gus."

Gus Nial menggelengkan kepalanya. "Mutiara-Mutiara."

Gus Nial pun akhirnya meyerahkan Al-Qur'an Mutiara pada pemiliknya. "Silahkan piket. Nanti kena ta'zir, saya tertawain." Gus Nial mengakhiri perkataannya dengan senyum tipis.

MutiarakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang