15.💚

396 26 14
                                    

Terima kasih untuk semuanya, My God.

Jangan lupa vote dan komen

💚

Waktu hangus dengan tak disadarinya. Dia seakan berjalan cepat padahal sebenarnya ia hanya mengikuti alurnya. Dan tak terasa pula, semester terakhir kelas Xl pun tiba.

Hidup dengan penuh lika-liku penderitaan, telah mendarah daging pada diri Mutiara. Langkahnya yang terus-menerus terasa berat, tubuhnya yang hampir diambang kerobohan, dan hati yang telah hancur-lebur tak dapat disatukan kembali menjadikan dirinya harus selalu kuat untuk memperjuangkan dirinya.

Ia lelah terus-menerus menyalahkan dirinya atas kesalahan yang tidak berasal darinya. Ia muak akan hal-hal buruk yang selalu menimpa padanya, padahal semua itu bukan disebabkannya. Dan mulai detik ini, menit ini, jam ini, Mutiara menutup telinganya dan matanya rapat-rapat terhadap apapun yang terjadi di sekitarnya.

"Mulai sekarang, aku tidak ingin tahu-menahu apa yang sedang terjadi di sekitarku. Aku bodo amat kalian menghujat apapun tentang diriku. Silahkan benci aku. Silahkan remehkan aku, silahkan dendam atau dengki padaku. Dengan kalian suka padaku pun, itu tak berpengaruh pada diriku. Hatiku telah beku. Lidahku telah kelu. Terserah kalian mau berhipotesis apa tentang diriku. Aku sama sekali tak akan pernah menghiraukannya. Terima kasih telah mengajarkan aku pelajaran yang sangat berharga. Yaitu semua manusia tidak dapat dipercaya." Mutiara menghembuskan nafas panjangnya sambil merasakan angin sepoi-sepoi di lantai empat sekolahnya.

Mutiara merasakan seperti ada seseorang yang mendekat ke arahnya. Dia pun berbalik badan, tapi ia tak menemukan siapapun di sana.

Mutiara pun kembali ke posisi semula. Dia sangat senang menikmati angin sendirian. Rasanya, semua beban hidup diangkut dan dibawa terbang bersamaan dengan angin tersebut. Dengan sendirian lah, ia bisa menghargai dan bangga dengan dirinya. Ternyata dia bisa kuat hingga sampai di titik ini.

"HAI." Seorang laki-laki tiba-tiba ada di samping Mutiara.

Mutiara otomatis menolehkan wajahnya ke arah suara.

"Haqi. Ngapain lo ke sini? Sejak kapan lo tahu tempat ini? Lo kan anak baru di sini," tanya Mutiara secara beruntun.

"Satu-satu dong kalau tanya. Gue bingung jawab yang mana dulu," kekeh Haqi dengan tersenyum manis.

Melihat senyuman Haqi, Mutiara langsung memalingkan muka. Takut jika nanti dari senyuman itu akan menyebabkan sebuah luka.

"Gue ngikutin lo terus kalo lo ke sini. Makanya gue tahu tempat ini," jelas Haqi.

Mutiara mengerutkan dahinya. "Sejak kapan lo jadi penguntit?"

"Sejak gue ketemu sama lo." Jawaban Haqi tersebut sukses membuat Mutiara tersedak.

"Lo kenapa, Muti?" tanya Haqi khawatir.

"Gak kenapa-kenapa. Plis ambil jarak sama gue. Jangan ngikutin gue terus. Gue gak suka. Jauhin gue dari sekarang, oke!" ketus Mutiara lalu meninggalkan Haqi sendirian.

"TAPI GUE MAU TEMENAN SAMA LO, MUTI!" teriak Haqi.

"GUE GAK PERCAYA YANG NAMANYA TEMEN. SEMUA MANUSIA SAMA AJA. JAUHIN GUE!"

MutiarakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang