Subuh masih setengah jam lagi, tetapi gadis berkerudung maroon sudah menarik gerobak berisi sayuran dan beberapa panci berisi daging serta beras ke warung yang jaraknya sekitar setengah kilo dari rumahnya. Hawa dingin tak membuat gadis itu gentar, menyambut hari. Beberapa kendaraan, utamanya milik para penggiat pasar tradisional, berlalu lalang. Ada tukang sayur yang datang dari daerah pegunungan di Boyolali, ada tukang ikan yang datang dari daerah pesisir, ada juga beberapa petani buah yang siap menyetorkan hasil tanam mereka ke pedagang pasar, langganan.
Itulah kenapa, meski masih gelap gulita, Ayun tidak takut. Lagi pula, di dalam hatinya, dia selalu yakin jika Allah tengah mengawasinya, menemaninya, dan senantiasa melindunginya. Meski banyak sekali orang yang sering menasihati Ayun untuk tidak pergi sendiri di waktu-waktu subuh. Namun, inilah kesehariannya. Sementara Renny pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan bahan dapur tambahan, Ayun akan membawa bahan-bahan masakannya ke warung.
Suara orang bertadarus terdengar sayup-sayup dari masjid pesantren. Ayun menoleh dan sesekali mengikuti lantunan ayatnya jika dia tahu. Untuk sampai ke warung, dia harus melewati jalan panjang dari pesantren Nurul Ilmi 1, pimpinan Ustadz Kafaby Ibrahim.
Kawasan ini cukup ramai, karena terletak di antara pesantren Nurul Ilmi 1, universitas yayasan islami, dan kompleks pendidikan yayasan Dirgantara, yang memiliki beberapa tingkatan sekolah dari SD hingga SMA.Itulah kenapa Renny dan Ayun memilih untuk menyewa salah satu ruko di tempat ini, untuk usaha makanannya.
Jemari Ayun yang sedikit kebas karena terbalut dinginnya dini hari, menyebabkan tarikannya pada gerobak melemah. Tepat saat melewati gerbang pesantren yang masih terbuka bagian pintu kecil dekat pos keamanan, Ayun merasakan gerobaknya tiba-tiba menjadi ringan. Dia menoleh ke belakang.
“Mbak, saya bantuin.”
“Eh, Mas Alek. Bikin kaget aja,” kata Ayun sembari tersenyum lega.
“Ayo Mbak, saya bantuin dorong.”
Ayun tersenyum dan menerima bantuan itu karena jalanan di depan pesantren memiliki beberapa polisi tidur, untuk memperlambat laju kendaraan yang lewat. Menurut cerita, pernah hampir terjadi kecelakaan di sana.
“Ali!”
Teriakan itu membuat si pemuda menoleh setelah berjalan sekitar lima meter dari tempat awalnya membantu Ayun tadi.
“Mau kemana? Jatahmu azan!”
“Bentar, Bang.”
“Mas, udah, ditinggal aja. Makasih ya,” kata Ayun.
“Maaf ya Mbak. Saya azan dulu.”
Ayun mengangguk sembari melanjutkan perjalanannya lagi. Di polisi tidur terakhir, suara langkah terdengar mendekat.
“Say, sini aku aja yang bawa.”
Ayun mematung, dia mendongak, matanya mengerjap memastikan. Suara yang sama dengan suara yang meneriaki Ali tadi.
“Mas Yusuf? Eh, ini udah mau subuh loh, kenapa malah keluar komplek?”
Iyus mengode Ayun agar minggir dan mengambil alih pegangan gerobak, kemudian menariknya sampai ke warung milik Renny yang berjarak seratus lima puluh meter dari pesantren. Ayun mengikuti dari belakang.
“Alhamdulillah, dapet inspirasi lagi buat nerusin ceritaku di WriteMe,” batin Ayun sembari tersenyum.
Otaknya seketika bekerja, menggambarkan serentetan cerita yang nanti bisa direalisasikannya dalam bentuk tulisan di kisah terbarunya berjudul Tabayun. Kumandang azan subuh nan merdu diserukan Ali dari masjid pesantren. Yusuf mempercepat langkahnya dan segera memarkirkan gerobak di depan ruko.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAM MAYA (TAMAT)
Romance"Terkadang manusia merasa dunia maya begitu indah. Dunia rekayasa manusia. Namun, bukankah meski itu rekayasa manusia, Allah tetap memiliki campur tangan di dalamnya?" Nusayba Qurata'ayun *** "Dunia maya menyatukan kita. Akankah dunia nyata juga be...