Part 39. Brownies

169 30 5
                                    

Gerbang pesantren Nurul Ilmi menjadi tempat janjian Ayun dan Qonita dengan Eka. Dua plastik besar berisik keripik tahu dibawakan oleh Eka, sebagai isian snack malam nanti. Dua snack lain, risol mayo dan bolu kukus, sudah selesai dibuat oleh Ayun, dibantu Qonita dan Almira.

"Ponakanku sehat kan, Yun? Besok ajakin nonton Omnya ini berlaga lagi dong. Biar semangat gitu." Haikal berbicara dari luar gerbang.

"Insyaallah ya."

"Nih, Yun, baju. Gamismu udah kekecilan kan? Perutmu udah gede gitu."

"Makasih, ya Mbak. Malah ngerepotin terus," ucap Ayun pada Eka.

"Halah, cuma dari perca. Kalau yang satu dari Haikal sih. Kemarin dia gabut makanya aku ajakin beli kain sekalian, terus liat gamis bagus, dia auto inget kamu."

Ayun tersenyum. "Mas, makasih ya. Makasih banyak. Selalu perhatian sama kami," ucap Ayun.

Haikal mengacungkan jempol. "Sip sip, tenang. Besok Senin jangan lupa, kontrol kan? Aku anterin lagi nanti, ya?"

Ayun mengangguk. Haikal dan Eka selalu membantunya. Di saat Renny tengah dibuat teler dengan kehamilannya, Ayun diperhatikan oleh dua sahabatnya yang lain.

"Kami balik dulu ya, Yun. Kalau pengen apa-apa telpon aja. Ya. Qoni. Nitip Ayun ya. Jagain loh, jangan sampai jatuh kayak kemarin lagi, ya?"

"Iya Mbak, siap."

Dua orang ikhwan, Ali dan Khalid, tanpa diberi aba-aba sudah membantu Ayun membawa kripik di tangannya.

"Eh, ini enteng kok," cegah Ayun.

"No, no. Nyonya Yusuf nggak boleh capek-capek. Bos kecil harus terjaga. Karena Bang Iyus bos kami, jadi anaknya juga bos buat kami." Khalid menjelaskan.

Ayun terkekeh, ia pasrah saja. 'Mas, masih banyak banget orang yang inget dan sayang sama kamu. Aku di sini, kayak ratu. Semua karenamu. Mereka, yang pernah kenal kamu, selalu mengingat jasamu, kebaikanmu, dan kini aku juga anak kita yang memetik apa yang sudah kamu tanam. Demi apapun, cukup bagiku kamu, Mas. Sampai jumpa di tempat terindah yang sudah Allah persiapkan untuk kita, nanti, Yaa Zaujii ....'

****

Some weeks later .....

'Lembayung senja  memahkotai dunia. Kumandang azan begitu merdu terdengar. Aku tahu siapa pemilik suara itu. Si tampan yang selalu membantuku setiap pagi, mendorong gerobak. Namanya Yusuf Tabriz Albirru. Santri senior di pondok, depan warungku'

'Sosoknya yang jangkung dengan gigi gingsul dan lesung pipi di sebelah kanan. Ia begitu tampan. Dengan sarung hitam polos bertumpal gunungan wayang dan koko putih begitu menawan. Astagfirullah. Harus aku akui, dia cukup rupawan untuk ukuran santriwan yang lugu.'

Paragraf demi paragraf dibaca ulang oleh sang editor untuk terakhir kali sebelum benar-benar dicetak. Sudah masuk masa PO dan sudah turun ISBN-nya, siap cetak dan sebar.

"Sudah selesai?"

"Sudah, Pak. Tapi, sepertinya ini benar-benar kisah nyata. Saya bisa masuk ke dalam ceritanya. Rasanya seperti nyata."

Pria berkumis dengan luka di wajah sebelah kanan terbahak. "Halah, kamu ini bisa aja. Halu ya? Bayangin jadi Yusuf? Tapi memang katanya ini kisah nyata. Makanya, Hasna kemarin keukeuh mau ambil kisah ini buat diterbitkan. Di akun Write Me pun juga mulai heboh kan itu, kabarnya si penulis kehilangan suaminya. Meninggal karena kecelakaan dan sekarang dia sedang hamil."

"Hamil?"

Pria berkumis itu mengangguk. "Saya juga ngeri dengernya, keinget dulu, kalau saja waktu itu saya nggak selamat. Gimana nasib Hasna dan anak kami. Sepuluh tahun kami menunggu keajaiban, sampai akhirnya dia hamil, tapi aku malah kecelakaan dan hampir mati."

KALAM MAYA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang