Pepohonan cemara, berdiri dengan jarak dua meter perbatangnya. Gugusan bintang dari lampu-lampu hias melilitnya, netra jernih milik pria yang kini berjalan menyusuri lorong berkeramik putih itu terus menangkap pemandangan yang sudah lama tak ia jumpai.
“Nggak mau! Nggak mau! Aku mau ke sana, itu pacarku udah nunggu! Mbak e nggak tahu apa, itu loh Iwan udah necis di sana!”
“Rukmi, ayo mandi dulu, nanti Iwannya kabur kalau kamu belum mandi gini. Ayo selesaikan dulu, ya. Wan, Iwan tunggu dulu ya, Ayank Rukminya mau mandi dulu.”
Pemuda itu menoleh. Ingatannya seketika kembali, saat pertama kali menginjak tempat ini. “Iki Yusuf, anakmu. Rum. Iki loh Yusuf pengen ketemu.”
Iyus, masih ingat bagaimana kakeknya mencoba memberitahu sang ibu jika dirinya ingin bertemu. “Anakku? Anakku gimana to, Bah. Abah ki loh. Wong Rumi belum jadi ijab sama Mas Taufik loh. Kok punya anak. Ya sebentar dulu. Abah selak pengen punya cucu ya? Sabar Bah, sabar.”
Kala itu, Iyus baru berusia lima tahun. Ia, yang mulai sekolah TK menanyakan perihal ibunya pada sang kakek. Kenapa ia tidak tinggal bersama sang ibu seperti teman-temannya. Iyus, menginginkan kehidupan seperti rekan-rekannya yang selalu diantar jemput sang ibu, juga ayahnya.
“Maaf, Mas. Cari siapa?” Sapaan dari seorang wanita, membuat Iyus tersadar.
“Saya, putra Bu Arumi Nur Faizah. Saya mau ketemu sama ibu. Apa boleh?”
“Bu Rumi? Oh, Bu Rumi sudah tidak di sini, Mas. Bu Rumi sekarang sudah pindah di gedung sana. Di tempat pelatihan. Bu Rumi sudah bukan pasien lagi, Bu Rumi bagian dari kami.”
Iyus menoleh ke arah yang ditunjuk. “Boleh saya ketemu ibu?”
“Mari saya antarkan.”
Iyus mengucap terima kasih. Ia kemudian mengekor wanita berseragam putih tersebut. Sembari berjalan ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Beberapa orang tengah sibuk membuat kerajinan tangan dari barang bekas. Beberapa yang lain tengah terlihat sibuk menyulam, ada juga yang sibuk dengan kertas-kertas mereka.
Mata Iyus terus menangkap gambaran orang-orang yang sibuk di sana, hingga ia mendapati sosok cantik dengan jilbab krem tengah tersenyum pada sekelompok pemudi di depannya. Seolah ia tengah menjelaskan sesuatu.
“Bu Rumi, ada tamu,” ucap pengantar Iyus tadi.
Wanita yang terlihat ramah itu kemudian berpamitan pada pemudi di ruangan yang ia ajar tadi, kemudian keluar. Sorotnya yang penuh bahagia seketika berubah.
“Ibu, Assalamualaikum.” Iyus memberanikan diri menyapa.
Wanita itu menatapnya dengan ekspresi ketakutan. Ia kemudian melangkah mundur dan berpegangan pada handle pintu. “Mbak, usir dia. Usir dia.”
Hati Iyus seketika terasa sangat sakit. Bak diremas paksa, napasnya sulit sekali ia hela.
“Ngapain kamu ke sini? Bukannya kamu sudah mati! Pergi kamu! Pergi!” jeritnya. Wanita yang tadi mengantar Iyus segera menenangkan Arumi.
“Bu, ini anak ibu. Ini anak Bu Rumi, loh.”
“Bukan! Bukaaan! Dia laki-laki bejat yang membuat saya batal dinikahi Gus Taufik!” jerit Arumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAM MAYA (TAMAT)
Romance"Terkadang manusia merasa dunia maya begitu indah. Dunia rekayasa manusia. Namun, bukankah meski itu rekayasa manusia, Allah tetap memiliki campur tangan di dalamnya?" Nusayba Qurata'ayun *** "Dunia maya menyatukan kita. Akankah dunia nyata juga be...