Tanggal merah berjajar di hari Selasa dan Rabu, serasa sebuah pemberian Tuhan yang tak terkira nikmatnya bagi budak korporat. Bagaimana tidak, hanya di hari Senin, Kamis, dan Jum'at saja artinya mereka bekerja minggu ini.
Kebahagiaan itu juga dinikmati Ayun dengan ikut serta dalam rombongan calon pengantin yang akan pergi ke Jogja. Rencananya, hari ini Zulham mengajak Renny ke rumah ayahnya, sekalian menjemput sang ayah diajak ke Solo, untuk persiapan pernikahan mereka di hari Jum'at.
"Kenapa sih, Dek. Tumben diem aja?" tanya Zulham ketika mobil yang dikendarainya memasuki wilayah perbatasan Klaten, Prambanan, menuju Kalasan, Sleman, Jogja.
"Nggak apa-apa, ngantuk."
Zulham tersenyum. "Ngantuk apa takut ketemu Romo?"
Renny tak menjawab gamblang, ia hanya bergumam seperti mencicit. "Dua duanya." Jawaban itu sontak membuat Zulham tertawa.
"Kan udah pernah telponan, kenapa takut? Romoku nggak galak. Tenang."
Renny sebenarnya bukan takut ke arah itu, ia lebih ke insecure. Bagaimana tidak, dirinya hanya janda miskin sementara Zulham adalah dokter spesialis. Keluarganya pun ternyata masih darah biru karena pria yang akan ditemuinya nanti masih memiliki kekerabatan dekat dengan beliau sang pemangku wilayah keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Renny terlambat mengetahui semua itu. Ia bahkan tak tahu ada sebutan Raden tersemat di depan nama Zulham. Secara nasab, ia sudah terbanting jauh, karena ia hanya gadis dari kalangan serba biasa.
Mobil terus melaju melewati candi Kalasan, sampai ke bandara Adi Soetjipto, masuk ke flyover janti dan Zulham mengambil arah ke kiri, bukan ke arah kota. Di perempatan lampu merah RS AU Hardjo Lukito, ia membelokkan mobil ke kanan. Hingga berhenti di gang dekat JEC, Jogja Expo Center. Memasuki komplek perumahan elit di sana.
Sebuah rumah dengan nuansa minimalis tetapi tak minimalis itu menjadi tujuan mereka siang itu. Ada mobil lain yang mengikuti mereka, mobil yang ditumpangi Anthony, Eka, kedua orang tua Renny.
Sementara di mobil Zulham tadi ada Bu Latmi, Renny, dan Ayun yang ikut. Sang kakek tak mau ikut, terlalu jauh katanya untuk tubuh rentanya diajak jalan-jalan. Lebih memilih menjaga rumah.
Sambutan hangat nampak di sana. Ayun membantu Bu Latmi turun. Renny dan yang lain sudah mengekor masuk bersama Zulham. Pria gagah berambut putih berdiri di teras, menyambut tamunya.
"Masyaallah, ayune. Oalah, pantes ya, Zul pengen cepet-cepet," puji pria bergelar Gusti Bendara Pangeran Harya Samudra Aji Jati Kusumaningrat, atau yang akrab disapa Romo Sam tersebut.
Renny bingung harus berbuat seperti apa. Ia menjawab sebaik mungkin dengan bahasa jawa tersopan yang ia kuasai.
"Monggo, Pak, Bu, Mbak, Mas, pinarak mlebet. Pangapunten gubuknya seadanya, yang nempatin soalnya laki semua jadi ya, nggak ada cantik-cantiknya. Semoga kedatangan Dek Renny ke sini jadi membawa suasa baru biar nggak surem terus ini gubuk Aji Jati," celetuk Nugrah, kakak Zulham.
Ayun tertegun melihat sosok tampan yang meski sudah berumur tetap menunjukkan pesona tak biasa itu.
"Dik? Kok malah ngelamun?" tanya pria berusia empat puluh satu tahun tersebut saat mendapati Ayun termangu menatapnya.
"Ah, eng- anu, enggak. Om mirip sama temen saya. Mirip banget, kaget saya tadi," jujur Ayun.
Pria itu tersenyum. Benar-benar mirip, wajahnya, senyumnya, hanya matanya yang berbeda.
"Oh ya? Memang siapa temennya?"
"Temen saya, nanti kami janjian mau ketemu di sini juga, Om. Namanya, Mas Yusuf. Dulu santri di Solo, deket rumah saya. Terus dia pulang ke sini. Tinggal sama ibunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAM MAYA (TAMAT)
Любовные романы"Terkadang manusia merasa dunia maya begitu indah. Dunia rekayasa manusia. Namun, bukankah meski itu rekayasa manusia, Allah tetap memiliki campur tangan di dalamnya?" Nusayba Qurata'ayun *** "Dunia maya menyatukan kita. Akankah dunia nyata juga be...