Part 22. Melanggar?

173 27 3
                                    


Motor itu terparkir di sisi utara benteng Vredebrug. Tepatnya di area parkir pasar Beringharjo. Ayun tak banyak tanya. Iyus pun tak bersuara. Langkah keduanya sejalan, sang dara memilih mengagumi suasana sore nan padat di Malioboro.

"Tunggu di situ, cari bangku. Jangan kemana-mana." Satu kalimat perintah yang diucap Iyus sebelum menghilang.

Ayun patuh. Tak punya pilihan lain. Ini adalah tempat asing baginya. Sejak lahir ia tak pernah keluar dari Kota Solo. Ya, tidak pernah. Untuk piknik saja, ia tak punya cukup dana. Sejak TK hingga kuliah, ia hanya tersenyum manis dan melambaikan tangan pada rombongan bis pariwisata yang mengangkut teman-temannya pergi. Ia tak pernah bisa ikut.

Bukan hanya masalah uang. Masalah pendamping selama ia wisata juga jadi problema. Sang kakek jelas tak mungkin mau ikut mengantar cucunya itu karyawisata, bahkan ketika TK sekalipun.

Itulah mengapa, hari ini dia bahagia. Sangat bahagia, dapat benar-benar melihat suasana kota Jogja, dengan Malioboronya, menyambut senja.

Ia terkejut saat pipinya terkena sesuatu yang dingin. Si tersangka terkekeh melihat reaksi Ayun. "Ih, ngagetin," protes sang dara.

Pemuda itu duduk di samping Ayun setelah menyerahkan satu cup es puter. Ia kemudian merogoh kantongnya dan mengulurkan gulali berbentuk hati untuk Ayun.

"Ih, beli dimana?" tanya Ayun dengan mata berbinar. Iyus menunjuk ke bapak-bapak penjual gulali yang tengah sibuk membentuk permen khas nusantara tersebut.

"Harusnya sama arum manis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Harusnya sama arum manis. Tapi ... Belum liat ada yang jual."

Ayun mengernyitkan dahi. "Sama arum manis?"

Iyus mengangguk. "Bab, pas Albirru kencan sama Ayu, mereka beli es puter, gulali, sama arum manis kan? Kamu yang nulis eh kamu yang lupa."

Ayun seketika ingat dengan novelnya yang berjudul Tabayun. Gadis itu terbahak. "Mas, kok bisa inget sih?"

Iyus hanya tersenyum sembari memakan esnya. Ayun mengaduk-aduk es serutnya sebelum menyendok sedikit demi sedikit.

"Dulu ... Bro Elhaq ngelamar Mbak Khawla di sini. Tempat ini, biasanya disebut titik nol. Nol kilometer. Tempat dimana ribuan bahkan jutaan sejarah masa lalu ditorehkan. Di titik ini dulu, ada stadklok, jam kota, sebagai pertanda kembalinya kejayaan Belanda bertahta di Indonesia setelah berhasil mengusir Inggris."

Ayun mendengarkan dengan seksama cerita Iyus. Pemuda itu menatap ke gedung agung, gedung di seberang mereka. Gedung tempat dimana Istana kepresidenan pernah berada.

"Beberapa puluh tahun kemudian, nyatanya, tempat yang semula jadi bukti kejayaan Belanda, justru malah menjadi istana negara Indonesia. Tempat dimana bangsa Indonesia menunjukkan kejayaannya, kemerdekaannya, lepas dari pemerintahan kolonial Belanda." Iyus tersenyum tipis.

"Bukankah lucu, ini tanah milik Indonesia, dijajah bangsa asing, dan mereka mendirikan bangunan sebagai tanda kedigdayaan mereka. Namun, Allah mengijabah doa para pahlawan kita. Mengembalikan hak mereka. Memerdekakan tanah mereka dari penjajah yang berusaha merampas kesejahteraan umat."

Ayun mengangguk-angguk. "Ya, apa yang bukan haknya, meski dipaksa dirampas, pasti nggak akan dapat. Pasti kembali ke orang yang sudah Allah tunjuk sebagai pemilik sah, pemilik tetap, dan pemilik utamanya."

Iyus setuju. "Ya, jadi misal aku dijodohkan dengan orang lain, kalau takdirnya aku bakal bersanding denganmu, pasti kita bakal bersatu, kan?"

Ayun menoleh, menatap Iyus sekilas. Ia memastikan apakah pemuda di sampingnya serius atau bercanda. "Ini ... Bahas soal teori takdir, kan?" tanya Ayun.

"Sebenernya aku udah ada niat buat kamu ke sini dari tadi, ke titik nol, untuk mengawali sesuatu yang mungkin bisa jadi langkah awal kita menuju ke tahap saling kenal. Aku masih punya urusan penting, urusan orang tuaku yang harus aku luruskan, sebelum mengajak mereka ... ke ... keluargamu."

"Mas? Tunggu ... Tunggu ... Mas mabuk apa gimana? Eh tapi ... Mas kan nggak kayak Mas Haikal, Mas kan nggak nyentuh Khamr."

"Haikal?" Iyus mengernyitkan dahi mendengar Ayun menyembut nama ikhwan.

"Anak bosku, Mas. Dia suka ya gitu. Mmm ... Mas ngelindur apa gimana?"

Iyus menggeleng, ia kemudian tersenyum. "Aku serius. Aku pengen kita kenal lebih dekat. Aku tertarik sama kamu, Dek. Aku ... ya ... siapa tahu ada jalan nanti."

Keduanya saling diam. Ayun tidak tahu harus menjawab apa.

"Tapi ... Mas udah punya jodoh. Ning pula. Jangan disia-siakan, Mas. Nasabnya jelas, ilmunya pasti luar biasa, keluarganya pun sudah dekat sama Mas. Sedang aku? Aku cuma anak yatim piatu. Dan ... mamaku mualaf. Omaku pun beda keyakinan dengan kita. Mereka juga katanya kawin lari, karena dulu Eyang yang notabene guru ngaji di kampung, nggak mau punya mantu dari kalangan non muslim. Dan kalau Mas mau gombal, mau pake nahwu, bisa. Nggak perlu repot karena kalian seserver."

Ayun berusaha untuk menjawab sebijak mungkin. Ia sejujurnya takut. Meski tak menampik jika Iyus adalah laki-laki idamannya, Ayun tak berani menyambut umpan yang diucap Iyus.

Pemuda itu tersenyum. "Dek, cara nolakmu justru bikin aku pengen berjuang. Mungkin sangat mudah bagi ROM ngereplace isi, RAM  ngeclear instruksi, harfisk mendelete file,  tapi akan sulit buat aku nge-debug hatiku untuk menghilangkan perasaanku ke kamu dari memori hatiku."

"Mas alay! Ih!" protes Ayun. Suasana yang ia pikir akan canggung, malah berakhir cengengesan. Iyus berusaha agar Ayun tetap nyaman dengannya.

"Dek ... besok kamu pulang?"

Ayun mengangguki pertanyaan basa basi Iyus sembari memakan esnya.

"Besok Jum'at, misal aku ikut ke Solo, boleh?"

"Mau ikut rombongan Mas Zul? Ya pasti boleh. Kan besok eyangmu ikut bareng aku pulang. Dan katanya bapakmu nyusul Kamis malemnya. Gantian aku mau ajak kamu, Mas. Ke benteng. Biar adil. Sekarang kita di Vredeburg, besok kita ke Vastenburg."

Iyus terkekeh. "Tadi aja nolak diajak melangkah serius. Sekarang malah ngajak kencan di benteng. Dasar cewek."

Ayun mengerucutkan bibir. "Yaudah kalau nggak mau. Lagian siapa yang ngajak kencan. Aku itu mau ngajak kamu ke ulang tahun temen kantorku. Dia ngadain acara di deket sana, di hotel sebelahnya itu."

"Kamu nggak malu ngajak aku?" tanya Iyus.

"Kenapa harus malu? Tinggal kamu mau apa enggak, gampang kan? Ijin sama ibu sama bapakmu dulu tapi. Eh, ibu sama bapak memang pisah rumah ya?"

Iyus terdiam. Ayun menyadari jika ia sudah melampaui batas. "Eh maaf Mas, aku ... Maaf. Lupain aja."

"Ada waktunya nanti aku cerita. Anggap aja kejadian tadi spoiler dulu. Besok kejelasannya belakangan, kalau kamu udah nyandang gelar Nyonya Aji Jati Kusumaningrat kayak Ibu dan Mbak Renny."

Ayun terkekeh. "Mas, temenin beli oleh-oleh buat Mbah kakung yuk?"

"Oke, tapi kamu bisa nawar nggak?"

"Aku loh, tukang ke pasar. Tenang aja. Di sebelah mana?"

"Mirota batik aja, sana. Dari pada ribet masuk ke pasar."

Iyus menunjukkan arah ke mana tempat tujuan mereka. Sesekali keduanya jalan beriringan, tetapi jika sesak, Iyus berjalan dibelakang, memastikan Ayun aman.

"Jadi gini rasanya jalan-jalan di Malioboro sama ... Mas Mas," batin Ayun.

*********

Assalamualaikum

Selamat siang semuaaa

❤❤❤❤









KALAM MAYA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang