Part 1. Secuil kisah masa lalu

952 56 85
                                    


Sukoharjo, 2016

Padang hijau yang tersisa enam petak saja itu terlihat tersenyum pada semesta. Sepasang manik legam dengan binar terang mengamati dari dekat ayunan padi yang seolah terombang-ambing dalam ketidakpastian di depannya. Ayunan batang hijau yang mulai berisi, membuat biji-biji gabah berpegang erat, seolah takut untuk terlepas dari rumahnya. Tertiup ke kiri dibagian ujung  dan belum selesai memposisikan diri, angin sudah menyeretkan ke kanan. Tak bisa dibayangkan betapa lelah dan sakitnya padi-padi itu. Berusaha untuk tetap tegak berdiri dan melindungi bakal-bakal gabah yang dikandungnya.

Jemari lentik itu terulur, membiarkan padi-padi tadi bergerak-gerak menyapa tangannya. Manik itu mengerjap-ngerjap saat menemukan hewan kecil seperti kumbang menempel di tangannya. Begitu kecil, begitu rapuh, namun, kenapa makluk seperti itu hidup?

Apakah benar semua makhluk yang ada di dunia ini memiliki alasan mengapa diciptakan? Lalu, bagaimana mereka yang bermula dari bayi suci, yang tidak tahu apa-apa bisa tumbuh menjadi sosok-sosok ambisius atau sosok-sosok pengumbar nafsu? Meski sebagian dari mereka, tumbuh menjadi sosok yang bermartabat dan sosok yang baik hati. 

“Nusayba Qurota’ayun!”

Merasa dipanggil, dara itu menoleh. Sosok bertopi caping yang berdiri di dekat sepeda ontel tuanya melambaikan tangan, menandakan jika dara itu harus segera mendekat.

“Sebentar!”

Langkah kaki kecil beriring senandung shalawat nariyah, yang tanpa sadar dihapalnya karena selalu ia dengar setiap hari selepas azan, keluar dari bibirnya.

“Nah, gitu dong. Sekali-sekali shalawatan. Jangan nyanyi lagu yang kamu aja nggak paham itu bahasanya apa.”

“Lah, memang Mbak Ren bisa bahasa arab?” tanya Ayun, panggilan akrab sang dara.

Wanita yang mengajak bicara Ayun itu meringis.

“Nggak juga sih, tapi kalau itu shalawat, udah pasti kan bagus artinya. Kalau lagu bahasa lain, belum tentu bagus artinya. Takutnya kamu malah salah nyanyinya kan, kalau diulang-ulang bisa bahaya. Misal ternyata itu lagunya ngajak nyembah berhala, atau kalau nggak lagunya itu mantra santet. Bisa bahaya kan?”

Ayun terkekeh, dia segera naik ke atas sepeda dengan keranjang di depan berisi termos nasi itu.

“Mbak, mampir es dulu yuk,” ajak Ayun.

“Aku puasa, sekarang hari Kamis,”

Ayun akhirnya mengurungkan niat untuk mampir ke warung Mbak Sri membeli es kucir seribuan favoritnya karena menghormati Renny.

“Mbak, pakai jilbab panas nggak?”

“Enggak, justru adem. Kenapa?”

“Nggak apa-apa. Pengen tahu aja.”

Ayun terus mengayuh sepedanya menuju rumah khas jawa, yang sudah turun temurun, ditinggali keluarganya.

“Mbak, ibuku dulu pakai jilbab?”

“Iya, seinget Mbak. Terakhir kali ketemu dulu, ibumu pakai jilbab.”

Ayun mengangguk-angguk.

“Kalau bapak, apa bapakku muslim?”

Renny tak segera menjawab.

“Yun, Mbak nggak tahu kalau soal itu. Dulu setelah menikah, orang tuamu kan nggak tinggal di sini. Waktu itu Mbak juga masih kecil, jadi nggak bener-bener tahu apa sebenarnya yang terjadi sama orang tuamu.”

Ayun tersenyum tipis. “Iya, Mbak. Maaf, aku kadang cuma penasaran. Oma mengajariku beribadah dengan cara yang berbeda dari Eyang. Aku bingung, sebenarnya aku harus ikut yang mana.”

KALAM MAYA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang