Part 12. Kejutan dari Allah

167 20 1
                                    

            Sengatan matahari tak hanya menimbulkan efek perih, tetapi juga membuat pori-pori kulit menangis. Ah, tidak, orang lebih menggunakan istilah berkeringat dari pada ‘kulit menangis’. Namun, cuaca hari itu tak membuat Ayun gentar. Ia terlalu malu untuk mengeluh pada Tuhannya betapa tetiknya siang ini. Tuhannya telah memberi karunia tak terduga bagi dirinya, si fresh graduate yang bekerja serabutan membantu di warung bubur sang sepupu. Si fresh graduate yang biaya kuliahnya separuh lebih ia bayar dengan hasil memulung serta menjual tenaga di sawah atau kebun tetangga saat musim panen tiba.

            “Mbak Ayun!”

            Panggilan dari sosok bersarung dengan baju koko yang tengah berdiri di dekat outlet kebab di depan jejeran ruko depan gang rumah Ayun membuat langkah kakinya berbelok arah.

            “Mas Alek? Apa kabar?”

           “Alhamdulillah, baik. Mbak Renny kenapa masih libur aja warung buburnya? Lama nih nggak makan bubur.”

            “Oh, Mbak Renny-nya lagi siap-siap nikah. Insyaallah minggu depan nikah.”

            Obrolan itu berlanjut sampai seorang wanita dengan meteran kain tergantung di leher keluar dari ruko butik sekaligus tempatnya menjahit. “Yun, gimana, kata Renny kamu ngelamar kerja?”

            Ayun menoleh ke arah Eka yang berada di ambang pintu. “Iya, Mbak. Alhamdulillah, besok mulai kerja.”

            “Loh langsung diterima, to? Alhamdulillah, selamat ya.”

            “Nggih, Mbak. Makasih. Eh nanti titip jaitin rokku ya, Mbak. Yang satu bawahnya lepas jaitannya, kapan itu pas tak pakai nyinom di tempat Bu RT aku melangkahnya kelebaran terus sobek bawahnya,” ucap Ayun tanpa malu pada Ali yang tadi mengajaknya bicara.

            “La sesuk seragammu opo?”

            “Hitam putih Mbak dua bulan, bebas kalau hari Jum’at. Anak magang, Mbak”

            “Oalah, kalau cuma hitam putih, sini, masuk. Mbak kasih, Mbak punya banyak. Sinio, mlebu rene, coba mana yang pas buat kamu.”

            Ayun jelas tak menyiakan kesempatan emas tersebut. Ia berpamitan pada Ali dan masuk ke ruko Eka. Tempat berukuran lima kali delapan meter itu, disewa Eka dari sang pemilik bangunan. Enam juta selama dua tahun. Harga spesial karena ia mengencani putra dari pemilik ruko tersebut. Ya, apakah ini termasuk tindak KKN? Entahlah, yang jelas Eka mendapatkan potongan harga yang cukup banyak, mengingat ruko lain disewakan dengan harga delapan juta pertahun.

            Beberapa kain terlihat berserak di lantai, Ayun melompati area itu. Area cutting pola, area paling berbahaya di sana karena banyak pentul, gunting, cekris, cutter, dan hal-hal lain yang bisa saja terinjak.

            “Ini bikin seragam bola apa gimana?”

            “Anton yang order, buat jersey tim futsal adiknya, si Jonathan.”

            “Wah, orderan ayank ternyata.” Ucapan Ayun membuat Eka terkekeh. Gadis ayu yang sudah lima tahun ini menjalin cinta dengan pemuda bernama Anthony itu terlihat serius mencari barang yang akan ia berikan pada sepupu sehabatnya tersebut. Ia mengambil empat buah rok hitam dengan model berbeda dan menarik beberapa kemeja putih di tumpukan etalase yang terbuat dari kaca dan stainless di dekat pintu masuk.

            “Nih, bajunya pasti pas, itu ukuranmu, M. Sama kayak bajumu biasanya. Kalau roknya coba dulu.”

            “Mbak, ini apa? Piye ceritane? Aku itu baru mulai daftar kerja, belum kerja. Aku nggak punya duit buat bayar.”

KALAM MAYA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang