Dinginnya udara dini hari tak membuat pemuda bersarung hitam polos yang tengah terduduk di dekat gerbang pesantren itu membatalkan niatnya. Suara alarm terdengar, pertanda waktunya para santri untuk siap-siap jamaah Subuh. Dari kejauhan sosok berjilbab putih terlihat berjalan dengan gerobak di belakangnya. Pemuda itu berdiri dan berjalan keluar gerbang, menghampiri sosok mungil itu.
“Assalamu alaikum, Say.”
Si pemilik nama mendongak dan mengulas senyum. “Wa alaikum salam, Mas Yusuf.”
“Sini biar aku aja.”
“Mm, bener nggak apa-apa Mas?” Suara gadis itu parau.
“Eh, kamu sakit?”
Ayun menggeleng. “Nggak,” jawab Ayun lirih.
“Bener? Coba liat sini, matamu bengkak? Suaramu kayak gitu, kenapa?”
Iyus mengamati wajah gadis itu di bawah sorot lampu penerangan jalan. Mata Ayun yang semalaman tak berhenti menangis, memang kini bengkak dan memerah. Namun, merahnya tak semerah pipinya sekarang. Untuk pertama kalinya, ada laki-laki yang menatap wajahnya sedekat dan selekat itu.
“Dek, kamu kenapa?” Kalimat itu terlontar dengan nada lembut berbalut cemas.
Suara murotal Qur’an, menandakan sepuluh menit lagi azan subuh berkumandang. Ayun menundukkan pandang.
“Udah mau subuh Mas,” ucapnya.
Pemuda itu masih penasaran tetapi dia akhirnya mengikuti Ayun berjalan sembari menarik gerobak berisi bahan makanan yang akan dijuak Ayun di warung.
“Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita sama aku.”
Ayun yang ikut mendorong gerobak dari samping tersenyum tipis.
“Makasih Mas. Aku cuma mikir hal nggak penting.”
“Dek, kalau nggak penting mana mungkin, orang setegar dan sekuat kamu bisa sampai kayak gini? Ada apa sih? Cerita dong.”
Ayun menggeleng dan tersenyum.
“Mmm ... Mas, kalau ilmu agama itu boleh disebar luaskan nggak sih? Menurut Mas, gimana?”
Iyus menoleh menatap gadis itu sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan lengan di depannya.
“Ya boleh lah. Segala macam ilmu itu boleh disebar luaskan, tapi ilmu yang baik ya. Justru akan jadi ladang jariyah. Apalagi ilmu agama.”
“Misal, aku yang bukan santri, apa boleh ikut menyebarkan ilmu seperti itu? Misal aku ungkap dalam puisiku? Dalam coretanku?”
Iyus terkekeh. “Ya bolehlah, Dek. Kenapa enggak?”
“Bener?” tanya Ayun.
Iyus kembali menoleh, bibir Ayun terlihat mengerucut, manik kemerahan dalam mata yang bengkak bergerak-gerak. Hanya sekilas bisa Iyus tangkap gambaran ekspresinya karena remang cahaya jalanan tak mampu mencetak tangkapan matanya.
“Iya dong, bener. Kenapa sih? Mm ... nanti cerita ya, kamu hari ini ada waktu?”
“Hm?” Ayun seolah memastikan apa telinganya salah dengar atau tidak.
“Hari ini kamu ada waktu nggak?” Ulang Iyus.
“Oh, ya kalau buburnya udah habis, Mas. Hari ini Mbak Ren nganter terapi, jadi warung siang nggak buka.”
“Oke, nanti kita bicara.”
Iyus mempercepat langkahnya karena suara Ali sudah terdengar mengumandangkan azan di masjid pesantren.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAM MAYA (TAMAT)
Romance"Terkadang manusia merasa dunia maya begitu indah. Dunia rekayasa manusia. Namun, bukankah meski itu rekayasa manusia, Allah tetap memiliki campur tangan di dalamnya?" Nusayba Qurata'ayun *** "Dunia maya menyatukan kita. Akankah dunia nyata juga be...