Part 28. Jalan Keluar

155 27 4
                                    

Ayun, gadis berjilbab itu masih merasa kesal dengan Haikal. Menurutnya, si tengil itu benar-benar keterlaluan.

Haikal berusaha mengajak Ayun bicara dan gagal. Gadis itu bahkan bisa menganggapnya bak hantu yang tak terlihat. “Ay! Hei, jangan ngambek. Itu video udah ditake down. Tenang. Seriusan. Kamu nggak usah takut. Lagian, kakakku nggak akan ngebiarin aku disakitin siapapun. Tenang. Aku kan anak manja kesayangan semua orang, kecuali kamu.”

           Ayun tetap saja diam. Ia benar-benar kesal dengan Haikal yang terkesan menyepelekan segala hal. Bahkan ketika sore hari, saat jam pulang kerja tiba, masih saja Haikal cosplay menjadi hantu bayang-bayang Ayun.

            “Ay!” Ia diam saja. Haikal mengejarnya ke arah lift. Merasa diikuti, Ayun membelok ke arah tangga. Ia urung menggunakan lift, lebih memilih menggunakan tangga. Ia berpikir Haikal tak akan mengikutinya. Namun, Ayun salah. Pemuda itu tetap mengejarnya.

            Ayun berlari turun. Suara erangan Haikal terdengar. Ayun tak menggubris pada awalnya, tetapi salahkan dirinya yang tak bisa cuek dengan orang di sekitaranya. Ayun berhenti berjalan dan mendongak, melihat ke arah putara tangga pertama, di lantai 6. Telrihat Haikal masih di sana, mungkin ia duduk karena hanya terlihat kepalanya saja.

            Benar tebakan Ayun, Haikal kini terduduk bersandar pagar tangga emergency. Ringisan di wajahnya menggambarkan kesakitan.

            “Ayo berdiri, udah dibilangin dari tadi, ke klinik. Apa sih susahnya? Kamu itu emang dimanjain sama keluargamu. Kamu emang bisa mengandalkan mereka. Tapi, kamu juga harus bisa mandiri. Karena nggak selamanya kakakmu ada buatmu. Bundamu ada buat kamu. Ayahmu ada buat kamu. Gimana kalau tiba-tiba mereka harus pergi? Gimana kalau kamu tiba-tiba harus hidup sendiri? Apa iya kamu mau mewek di pojokan kayak stiker botak yang ada di WA?”

            Haikal mendongak. Ia mengubah ekspresinya, ringisan tengil khasnya terlihat. “Kamu khawatir ya?”

            Ayun menatap pemuda yang kini berdiri itu. Sorot mata yang baru kali ini benar-benar ia temukan dari sosok Haikal. Selama ini ia tak pernah tahu seperti apa rupa dan sinar mata sang pemuda karena Ayun sebisa mungkin menghindari tatapan sang pemuda.

            “Lewat lift aja yuk? Capek loh dari lantai tujuh ke first floor jalan.”

            Ayun melihat ke bawah, darah segar kembali mengalir dari luka sayat sekaligus luka bakar itu. Kulitnya terkelupas, pasti perih dan ada lebam di sekitarnya. “Pak Abim ada rapat di luar, gimana kalau kita naik taksi? Aku orderin, aku anter Mas ke klinik pratama di ujung jalan dulu. Motornya ditinggal aja, gimana?”

            Haikal mengamati wajah Ayun. “Ay, kamu serius?”

            “Keburu sore, Mas. Aku harus cepet pulang juga soalnya malem ini ada acara di rumah Mbak Renny. Mas tahu kan besok mereka nikah.”

            Ponsel Ayun berdering setelahnya, ada nama seseorang yang membuatnya seketika menggurat senyum. “Assalamualaikum, Dek Say. Kamu masih kerja?”

            “Wa alaikumussalaam. Iya, Mas. Mas udah berangkat? Sama Ibu sama bapak?”

            “Iya, baru mau berangkat tapi. Insyaallah nanti sebelum isya sampai. Kamu pulang jam berapa? Ada yang mau aku omongin, Dek.”

            “Mmm ... aku nganter temenku pulang dulu ya, Mas. Dia sakit kakinya, pincang nih berdarah gitu entah tadi naik motor katanya nyungsep di parkiran. Nanti kalau udah sampai kabarin ya.”

KALAM MAYA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang