Part 17. Peristiwa

160 22 2
                                    

Mobil milik pesantren asuhan kyai Sulaiman, hari ini terparkir di rumah sakit jiwa Cempaka Putih, pagi-pagi sekali. Rumi sudah mendapat ijin untuk keluar dari asrama. Pulang ke rumah yang sejak tiga tahun lalu sudah ditawarkan padanya.

Rumah dari salah satu teman baik Rumi yang sangat senang menyambut kesembuhannya. Kemarin, ia menghubungi si pemilik rumah dan mengijinkan Rumi menggunakan salah satu rumah kontrakannya.

"Rum, kuncinya nanti diurus sama orwng yang aku pasrahin di sana. Udah diberesin kok rumahnya, udah siap. Kamu tinggal pakai aja rumahnya. Nggak usah kamu ribet mikir sewa-sewa. Aku seneng kamu udah sehat. Lain kali aku mampir ke sana. Tapi maaf, karena yang satu sedang diperbaiki, kamu tinggal yang di Jakal ya? Anakku Zia dan menantuku Hafidz kadang ke Jogja. Misal mereka ada jadwal pergi dalam waktu dekat ini, aku mau ikut. Mau main ke situ, ya?"

Begitulah ucapan Sarah, sahabat Rumi. Keduanya berkenalan di panti rehabilitasi saat Sarah dulu memeriksakan putrinya, yang tengah mengalami depresi pasca mengalami fitnah sebagai pelaku prostitusi online dan dikucilkan oleh lingkungannya.

Namun, menurut kabar yang Rumi dengar, kini semua sudah membaik. Terlebih sejak Sarah hijrah, sepeninggal suaminya. Sang putri dipinang oleh putra kyai dan kini menjadi salah satu pengasuh pondok pesantren ternama.

"Bu, apa ibu udah hubungi Bu Sarah? Bener kita nggak usah bayar?" tanya Iyus memastikan.

"Iya, Mbak Sarah baik banget sama ibu. Ibu sudah telpon dan ya jawabannya tetep sama. Dia nggak mau dibayar. Dia niat nolong kita. Tapi, tetep aja kita nanti coba nyisihin uang ya buat biaya sewa. Ya sedikit-sedikit tetep ibu pengen bayar biar nggak kepotangan."

Iyus mengangguk. Hari itu ia begitu bahagia. Karena impiannya akan segera terwujud. Allah menunjukkan kuasanya atas apa yang terjadi dihidupnya akhir-akhir ini.

Baru saja ia bersiap mengambil barang ibunya di asrama. Beberapa petugas terlihat menjerit-menjerit. Ada seorang pasien yang naik ke menara air.

"Mbaaak Farhana! Turun! Mbaaaak!"

Rumi dan Iyus segera mendekati kerumunan itu.

"Astagfirullah, itu orangnya mau lompat," pekik Rumi.

"Telepon keluarganya! Telepon keluarganya! Cari keluarga Farhana Sulaiman! Pasien baru yang datang minggu lalu. Cepat!"

Telinga Iyus seperti menangkap nama yang tak asing. "Farhana Sulaiman?"

"Ya Allah, padahal anak kyai loh dia. Tapi ya wajar sih, dia menggelapkan uang pesantren, terus katanya ngeracun ibu tirinya. Di penjara sejak lima tahun lalu. Ibu kandungnya meninggal. Dia depresi karena di dalam sel dikucilkan. Tapi katanya sih dia bukan pelaku utamanya, selingkuhan ibunya yang jadi dalang semuanya."

Iyus membelalakkan mata. Benar dugaannya. Wanita di atas sana berarti adalah kakak dari sahabat baiknya Elhaq yang memang sejak lima tahun lalu dijatuhi hukuman atas tindak kriminal yang ia lakukan.

"Bu, ibu tunggu sini. Ibu tunggu sini," ucap Iyus. Ia memberanikan diri untuk memanjat gedung di sebelah tower. Naik tanpa diketahui si pelaku percobaan bunuh diri.

"Astagfirullah Le! Hati-hati!" teriak Rumi.

Beberapa petugas keamanan rumah sakit yang lain ikut naik ke menara tower lewat tangga. Mereka berusaha menggagalkan usaha tersebut. Wanita berjilbab dengan gamis coklat itu berusaha naik lebih tinggi dan menggapai tepian pagar dari tower setinggi dua belas meter tersebut.

Iyus berhasil naik hingga lantai lima, merayap dari tembok berlubang-lubang yang memang menjadi konsep bangunan tahan gempa itu.

"Mbak. Istigfar. Jangan nekat. Mbak, yuk ikut kita yuk."

KALAM MAYA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang