Aura pengantin baru yang cerah ceria terpancar di dua pasangan yang baru menikah kemarin.
"Kalian nggak ke rumah Mas Zul dulu?" Ahmad bertanya pada cucu dan menantunya.
"Mangkih, Mbah. Mau jalan-jalan dulu sebentar." Iyus yang baru selesai memindah kan anakan pisang di kebun samping rumah kakek mertuanya, menjawab sembari membereskan cangkul dan alat lain.
Sang istri muncul dengan sepiring mendohan berikut cabe hijaunya serta pisang goreng. Ada dua cangkir teh kini disiapkan Ayun, biasanya hanya satu.
"Unjukane, Mbah, Mas."
Iyus mengode sang istri agar membawakan minumannya mendekat. Ia duduk di lincak sembari membersihkan kaki dan tangannya. Dengan perlahan, Ayun mendekatkan cangkir ke bibir sang suami. Tiga kali cecap dan teguk, seperti sunah rasulullah, begitu tata cara Iyus minum. Diawali dengan basmalah dan diakhiri dengan hamdalah.
"Kamu nggak minum?" tanyanya, kini Iyus yang mengambil cangkir itu. Tangannya sudah bersih, meski masih basah.
Ayun menoleh, mencari tempat duduk. Iyus menahannya, mendudukkan wanita itu dipangkuannya. "Minum," titah sang pria sembari menyodorkan cangkir. Dengan cara yang sama, Ayun minum dari cangkir yang sama dengan sang suami.
Ahmad melihat kedua cucunya dengan senyum penuh bahagia dan kelegaan. Ia akhirnya bisa menyelesaikan amanah yang ditinggalkan oleh putranya dulu.
"Dulu, ayah sama ibumu juga gitu. Nduk. Simbah kadang liat mereka pas lagi jalan ke sawah. Lewat depan rumah kontrakan mereka yang pertama sebelum pindah. Simbah ... Simbah baru ketemu mereka lagi pas dikabari kalau kamu lahir dan ibumu meninggal. Simbah merasa berdosa. Kenapa Simbah, yang hina ini, yang ndak punya apa-apa ini, bisa berpikiran melampaui Allah."
Suara parau sang perokok berat bergetar. "Simbah menentang mereka hanya karena Simbah pikir ibumu ndak bisa ndidik kamu karena mualaf. Simbah selalu berusaha memisahkan mereka. Sampai akhirnya simbah nemu surat ibumu. Ibumu bilang kalau titip kamu ke Simbah biar dididik."
Pria tua itu menyeka air matanya. "Simbah yang jahat sama kamu, Nduk. Gara-gara Simbah, orang tuamu jadi rekoso, nelongso. Ibumu kurang gizi. Tempat tinggalnya kurang layak, akhirnya harus meninggal setelah melahirkanmu. Simbah seperti dicambuk, rasanya. Apa yang dibilang simbah sama Allah dikabulkan. Ibumu meninggal, ayahmu meninggal, dan kamu akhirnya simbah asuh sendiri."
Ayun berdiri dan memeluk kakeknya. "Mbah. Sampun, Mbah. Qadarullah. Jalannya memang begini, Mbah. Ayun ndak pernah menyesal atau sedih kok. Ayah sama ibu sudah tenang di sana."
Iyus ikut mendekat. "Mbah, Qada dan Qadar kan harus kita imani. Menyesali berlebihan tentang masa lalu hanya akan membuat kita kehilangan iman pada Qada dan Qadar. Boleh menyesal tapi sebatas untuk muhasabah diri, bukan untuk terus menghakimi diri dan berujung keputus asaan. Nggih nopo mboten?"
Ahmad mengangguk. "Le, titip putuku. Titip Ayun. Jaga dia. Bimbing dia. Dan cicit-cicitku nanti. Kalau dia salah, jangan disentak apalagi dipukul. Simbah yakin, kamu beradab, kamu berakhlak mulia, kamu berilmu. Pasti kamu paham bagaimana cara menegur istrimu jika dia salah."
Iyus mengangguk. "Nggih, Mbah. Yusuf janji."
Ada rasa hangat menyeruak di hati Ayun. Ia begitu senang, kini memiliki dua laki-laki hebat di hidupnya.
"Wis sana, dolan. Simbah mau tidur. Kesel. Capek. Tiga hari lek-lekan di rumah Renny."
Pasangan muda itu mengangguk. "Eh, sik, kalian nggak mau foto sama Simbah?" tanya sang kakek.
"Foto Mbah?"
"Iya, siapa tahu nanti kalian punya rumah sendiri, kan bisa buat kenang-kenangan to."
Ayun dan Iyus menurutinya, mereka berfoto ria. Senyum pria itu merekah penuh bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALAM MAYA (TAMAT)
Romance"Terkadang manusia merasa dunia maya begitu indah. Dunia rekayasa manusia. Namun, bukankah meski itu rekayasa manusia, Allah tetap memiliki campur tangan di dalamnya?" Nusayba Qurata'ayun *** "Dunia maya menyatukan kita. Akankah dunia nyata juga be...