Part 38. Kalam Maya

193 28 2
                                    

Solo 2022

Waktu menunjukkan pukul dua pagi. Wanita berbadan dua yang baru selesai menunaikan salat malamnya dikejutkan dengan notifikasi ponsel yang bergetar tak henti.

Ia pun meraih ponsel di atas meja. Beberapa chat di kolom pesan langsung masuk.

'Assalamualaikum. Ukhti, saya rekan dari Hasna yang kemarin sudah menghubungi Ukhti perihal penerbitan novel Kalam Maya. Hasna sudah mulai cuti minggu ini, jadi untuk kelanjutan editing naskah dan urusan lainnya sama saya, ya?'

Ayun segera membalasnya. Ia sebenarnya tak ingin repot mengurus penerbitan novel terbarunya tetapi entah kenapa penerbit itu terus saja menghubunginya. Mungkinkah ini jalannya, jalan dimana ia bisa mewujudkan keinginan sang suami yang dulu pernah meminta ia mengabadikan kisah mereka.

"Sayang, aku pengen kamu nulis tentang kita. Aku pengen muda mudi di sana tau kalau kuasa Allah itu nyata. Tak perlu mereka galau dan risau perkara jodoh. Kita bertemu juga tanpa rekayasa. Kita dekat tanpa dinyana. Kita kembali bersua tanpa rencana. Dan kita dipersatukan dalam ikatan suci cinta nan halal tanpa diduga. Semua ini, apalagi kalau bukan kuasa Allah?" Begitulah ucapan Iyus dulu, ketika meminta sang istri menulis kisah mereka.

Ia ingin, tulisan itu bisa sedikit mengetuk hati para remaja pecinta karya sastra, untuk kembali mengikuti ajaran islam tanpa terlihat menggurui. Iyus sering mengucap keprihatinannya akan tingkah laku para muda mudi yang acap kali kelewat batas, kehilangan jati diri sebagai seorang muslim sejati, hanya demi cinta yang bahkan tak ada unsur halal di dalamnya.

Sebuah pesan kembali masuk. 'Ukhti, boleh minta nomor ponselnya? Agar lebih mudah untuk menghubungi misal ada yang perlu direvisi.'

Ayun mengetikkan nomor ponselnya di sana. Ponsel yang ia gunakan adalah ponsel milik sang suami. Ponsel itu dan al qur'an kesayangan suaminya, masih utuh terjaga, meski sang pemilik telah tiada.

Tendangan si kecil membuat Ayun merintih karena terkejut. Ia mengelus perutnya. Mulai semakin berat rasanya.

"Kenapa Nak? Sudah bangun? Doain Abi yuk? Sayangnya Ummi."

Ayun kembali meletakkan ponselnya. Ia mengambil mushafnya dan memulai tadarus malam ini ditemani si kecil yang semakin lincah di perut.

Ayat demi ayat Ayun lantunkan. Air mata kembali tumpah. Entah kenapa semakin besar kandungannya, ia justru semakin merasa sering terharu. Terlebih ketika ia ingat pada sang suami.

"Nak, kamu harus kuat ya. Ummi dan Abi sayang sama kamu. Eyang juga, Bude Ren, sama kakek Zul juga sayang kamu. Onty Eka, Om Ikal. Semua sayang kamu. Kamu harus tumbuh jadi anak soleh, seperti pesan Abi. Ya?"

Suara handle pintu terbuka terdengar. Qonita, rekan sepondok Ayun muncul.

"Loh, bumil sudah bangun? Tau gitu tadi tak ajakin salat di masjid."

"Aku sengaja mau salat di rumah. Takut kepleset lagi. Kemarin aja, nih belum sembuh."

"Ah iya, sini Mbak, tak pijit. Dedek ganteng, assalamualaikum. Anak soleh udah bangun kan?" sapa Qonita pada perut Ayun.

Perut Ayun bergerak-gerak. Keduanya terkikik.

"Mbak, aku ngefans banget sama Mbak. Udah cantik, pinter, mandiri, kuat, hebat deh."

Ayun tersenyum. "Kamu juga, kamu hebat. Kamu kuat. Soleha. Santri kesayangan Ummah."

Qonita terkikik sembari memijat kaki Ayun yang bengkak.

"Aku itu sama anak-anak kalam maya pernah gibahin Mbak sama Bang Iyus. Soalnya kami itu heran, kok Bang Iyus yang sedingin itu bisa suka sama perempuan. Bahkan Mas Alek sama Khalid itu sampai kayak mikir ini bener nggak gitu. Bang Iyus kan nggak pernah jatuh cinta."

Ayun terkekeh. "Terus, terus, gimana? Emang Mas Yus itu gimana sih? Aku pun ngerasa ngejomplang gitu kenal sama dia yang sebelum nikah sama pas udah nikah. Dia kayak angker gitu kan dulu, eh pas udah nikah manjanya, hmmmm... Di rumah aja nih, minta gandengan terus. Sampai aku tuh kayak ... Ya allah ini orang kenapa ... Kayak, aku tuh ... Aku kayak barang berharga yang ... Yang ... yang dijaga biar nggak ilang, biar nggak lecet, dan nggak mau dia lepas gitu." Ayun tanpa terasa bercerita sambil bercucuran air mata meski ia tersenyum.

Entah, semenjak kepergian Iyus, ia sampai tak bisa membedakan apakah dia tengah sedih atau bahagia. Karena setiap kali mengingat sang suami, Ayun pasti merasa sedih, tetapi ia juga berusaha untuk tetap bahagia, agar sang buah hati tak ikut berkalang duka.

"Bang Iyus itu pasti cinta mati sama Mbak Ayun. Mbak itu cinta pertama dan terakhir Bang Iyus."

Ayun tersenyum. Ia begitu bahagia ada orang yang berkata begitu.

"Mbak, aku pernah punya kenangan sama Bang Iyus. Pas itu bapakku baru aja meninggal. Aku sama ibu sempat bingung gimana cari uang buat hidup karena selama ini kan bapak yang cari uang. Akhirnya aku punya ide bikin jajanan, tapi nggak bisa jualin. Terus aku nangis, Mbak. Eh, Bang Iyus itu pas mau kuliah kan, dia liat aku. Dia tanpa malu bawa tempat gorenganku, dia bawa ke kampus dijualin, Mbak. Padahal dia cowok gitu, dia nggak malu dagang bakwan bantuin aku Mbak."

Qonita tak kuasa menahan tangis, saat menceritakan tentang Iyus. Ketukan pintu terdengar. Sosok Ummah Hana muncul bersama Almira.

"Eh, kenapa ini? Kok pada mewek-mewek."

"Ummah, ini baru nyeritain Mas Yus," jawab Ayun.

Ummah Hana ikut duduk di kasur, ia menyuruh Ayun tetap di tempatnya.

"Ummah kok mruput, ada apa?"

"Mau pesen snack, Ummah lupa nanti malam ada rutinan manaqib, Ummah Amr nggak bisa nyiapin snack karena ada acara keluarga. Kalian bisa siapin snack tiga macem nggak?"

Qonita mengangguk. "Bisa Ummah. Bisa kok. 70 orang seperti biasanya?"

"Iya. Nanti Al biar bantuin di sini."

Almira mengacungkan jempol. "Iya aku bantuin Mbak. Ih aku gemes sama perutnya Mbak Ayun, bisa gerak-gerak gitu."

Tiga perempuan lain tertawa. "Anak solehnya Abi Yusuf ya ini. Pasti ganteng banget nanti, tinggi kayak Abinya, putih kayak Umminya, soleh, soleh," ucap Ummah Hana sembari mengelus perut Ayun.

Ayun mengamini.

"Yusuf itu santri kesayangan Abah. Dari awal masuk ke sini, dia itu paling nurut sama Abah. Kemana-mana ngintil Ubay sama Uta. Dia yang momong Uka sama May, ya sama Almira ini. Mereka bertiga itu anaknya Yusuf. Anaknya Bang Iyus. Meski dingin, mukanya serem kalau sama akhwat, tapi dia itu paling cengeng. Nggak tegaan. Pas dia jadi keamanan, malah ndak pernah ada yang kena sanksi, karena dia nggak tegaan. Akhirnya Uka gregetan dan diganti sama Uka."

Ayun kembali mendengar cerita tentang suaminya. "Suamimu itu hebat, suamimu luar biasa. Dia santri terbaik yang pernah kami punya. Dan, abah sudah bilang sama Ummah. Si kecil ini nanti mau diminta, diasuh di sini. Kamu nggak usah khawatir soal pendidikannya, kamu juga bisa tinggal di sini. Bebas. Di sini Yusuf tumbuh, dan di sini juga Yusuf Junior akan dibesarkan."

Ayun mengangguk dan berterima kasih.

"Oh iya, Yun. Novelmu mau terbit lagi? Ummah pesen ya."

"Ayun kasih gratis nanti, Ummah. Tenang."

"Aku mau aku mau!" Almira ikut-ikutan.

"Iya, rencananya untuk PO ini mulai akhir bulan depan, Ummah. Ini masih revisi bab akhir. Soalnya editornya udah cuti juga yang kemarin cuti melahirkan.  Ini ganti baru katanya."

"Terbit dimana sih?" tanya Qonita.

"Di penerbit Al Iqro', kayaknya baru pertama ini nerbitin novel. Biasanya sih islamic book. Mereka baru pindah dari Bandung ke Cilacap."

"Cilacap?"

Ayun mengangguk. Cilacap, tempat dimana ia menitipkan cinta sejatinya tertidur panjang di sana.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Assalamualaikum

Hai semuaa

Bilang apa sama Ayun?

KALAM MAYA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang