Part 19.

143 23 1
                                    

            Suasana tegang tercipta, kaku, dan sedikit tak nyaman. Iyus sempat bimbang. Andai ia bertemu laki-laki itu tidak di saat ia tengah bersama Ayun, dia pasti akan kabur. Tak sudi ia menemui orang yang sudah menghancurkan hidup ibunya itu. Ia pun merutuki mulutnya yang justru menyebut pria itu dengan sebutan “Bapak”, tadi.

            “Yus, kamu bawa Arumi kemana? Bapak kemarin ke sana, tapi katanya kamu ajak Ar-ibu pulang.”

            Iyus mengembus napas. “Bukan urusan Bapak lagi. Saya sudah besar, Pak. Ibu murni tanggung jawab saya. Bapak tidak perlu tahu ibu sama saya tinggal di mana.”

            Pria itu menatap putranya. “Nak, bapak tahu, kamu pasti sulit menerima bapak. Tapi, selama ini, bapak selalu memantau perkembanganmu. Bapak juga selalu nemenin ibu. Meski bapak nggak berani muncul di depan ibu.”

            Iyus berdecih, ada senyum jahat terukir di wajah tampan yang menurun dari pria bernama Raden Mas Anugrah Langit Albirru Aji Jati Kusumaningrat atau yang akrab disapa Nugi atau Nugrah itu. “Nggak berani muncul?”

            Nugrah tak tersinggung dengan ejekan sang putra. Ia sadar sepenuhnya semua salahnya. Tak perlu ia membela diri. sang putra memanggilnya bapak saja, hatinya sudah begitu bahagia. “Maaf, kamu harus terlahir dari laki-laki pengecut seperti bapak. Maaf. Bapak nggak minta kamu bisa nerima kehadiran bapak, bapak cuman pengen kamu tahu, meski selama ini kita nggak tinggal sama-sama tapi bapak selalu nemenin ibumu, dan mantau perkembanganmu. Bapak ... bangga sama kamu, Yus. Kamu ... kamu ... cerminan ibumu, meski fisikmu kayak bapak. Anak soleh.”

            Nugrah mengusap sudut matanya. Pria yang secara administrasi kependudukan tercatat sebagai suami dari Arumi Tabrisha Daniar itu berusaha untuk menahan harunya. Iyus tak mau terbuai, ia tengah dalam mode Iyus si es batu. Tak ia pakai rasa hatinya. Hanya logika yang ia jadikan tameng pelindung agar tak luluh di depan sang pria.

            “Nak, kamu mau ke rumah Eyang, nggak? Ommu mau nikah. Ayun ... di sana juga. kamu belum pernah ketemu Eyang lagi kan setelah mondok? Eyang pasti seneng ketemu kamu. Mau ya? Ikut bapak ya? Kamu bisa lanjut ngobrol sama Ayun di sana.”

            Iyus mendengkus ketika Nugrah menyebut nama Ayun. Pilihan sulit. Jika ia menolak, itu artinya dia tidak bisa melanjutkan ngobrol dengan Ayun, karena Ayun tadi berpamitan untuk kembali ke rumah orangtua Zulham yang ternyata juga kakek bilogis Iyus. Sementara jika ia menerimanya, bukankah artinya dia sudah mengikis jarak yang ia buat untuk tidak dekat dengan pria yang ia panggil bapak itu?

            “Mau ya? Yus?” pinta Nugrah lembut.

            Iyus akhirnya mengangguk. “Oke, saya ikut. Tapi, ini karena Ayun dan sebagai penghromatan saya ke Eyang. Bukan demi bapak.” Nugrah tersenyum senang. “Makasih, Nak. Makasih.”

            Keduanya berjalan beriringan sampai tempat parkir. Nugrah berjalan kaki, sedang Iyus mengambil motornya. Sampai di palang pintu keluar parkiran, Nugrah memberi arahan pada sang putra. “Kamu puter sampai sana, belok di situ, rumah nomor empat dari selatan.”

            “Bapak mau jalan?” tanya Iyus dengan tatapan tajam. Nugrah menatap putranya.

            “Matamu cantik, kayak mata Arumi,” pujinya.

           Iyus mendecak lidah. “Ayo Pak naik.”

            “Beneran kamu mau boncengin bapak?” Air muka sang pria empat puluh satu tahun itu bersinar. Iyus mengangguk. Pria itu segera naik ke motor sang putra.

KALAM MAYA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang