Part 9

169 24 2
                                    

Bau rokok linting menyengat. Lalat yang awalnya berniat lewat untuk hinggap pun memutar arah, agar tak kena kepulan asap pekat. Pria dengan kulit yang sudah mulai mengerut duduk di teras belakang rumah. Sebuah kursi dari bilah-bilah bambu dengan panjang satu setengah meter menjadi alasnya.

Sayup-sayup tembang lir ilir mengalun. Tembang gubahan Sunan Kalijaga, yang masih lestari hingga kini. Menceritakan tentang petuah untuk terus berjuang dalam hidup, beribadah, selagi masih ada masa hidup yang Allah berikan untuk kita.

"Mbah."

Sapaan itu membuat pria tadi menoleh. Ayun membawa secangkir teh dengan sepiring pisang goreng di tangannya.

"Piye, kamu beneran nolak tawaran buat kerja di tempat Pakdemu?"

"Mbah, kalau Ayun pergi, Simbah gimana?"

"Simbah ya di sini. Dari lahir simbah kan ya di sini."

"Bukan itu maksudnya Ayun, Mbah. Siapa nanti yang bantuin Simbah ngurus sawah? Masakin simbah?"

Pria dengan gigi bawah tanggal dua itu terkekeh. "Jalan hidupmu itu masih panjang, Nduk. Panjaaaaang sekali. Kamu harus ambil langkah mantap buat menapaki medan perangmu. Jangan terus-terusan menoleh ke belakang. Nanti ketembak sama musuh."

Ayun mencoba memahami perkataan sang kakek. Berat baginya untuk pergi dari rumah. Bagaimana bisa ia membiarkan kakeknya hidup sendiri, padahal selama ini, kakeknya lah yang merawatnya.

"Mbah, Ayun nanti cari kerjaan di deket sini aja. Insyaallaah, kalau memang rejekinya, pasti ada jalan, kan?"

Tangan dengan kulit berkerut dari pria tersebut begitu cekatan menyebar menir, ayam-ayamnya menyambut dengan gembira. Beberapa burung dara milik tetangga pun ikut menikmati.

"Simbah bukannya maksa kamu. Simbah cuma pengen kamu bisa mandiri. Setidaknya kalau kamu kerja di kantor, gajimu pasti. Tapi, tujuan utama Simbah bukan itu. Simbah pengen kamu belajar tentang hidup di sana. Kantor, tempat kerja, itu seperti replika dunia, Nduk."

Satu sesap rokok linting kembali memuaskan hasrat sang kakek, dihembusnya kepulan putih berbau khas itu perlahan.

"Di sana, kamu bisa tahu karakter manusia. Manusia dengan keunikannya. Yang tampan dan mapan, belum tentu tahu aturan. Yang cantik dan menarik, belum tentu hatinya baik. Yang rendah jabatannya, belum tentu rendah kemampuannya. Yang tinggi jabatannya, belum tentu tinggi kecerdasaannya."

Ayun mendengarkan dengan seksama. Tangannya kini dengan cekatan mengupas singkong yang tadi dibawa sang kakek dari kebun.

"Dunia kerja, juga akan mengajarkanmu bagaimana caranya bertahan di lingkungan yang tak sepaham. Karena, aksi sikut, senggol, bahkan injak, akan ada di sana."

"Mbah, kok Simbah malah nakut-nakutin Ayun?"

Pria itu tertawa. "Simbah pengen kamu ngicipi itu bukan tanpa alasan. Simbah tahu kamu lebih seneng jadi wirausaha. Tapi kamu masih kurang krenteg ing ati, kurang dapat greget. Simbah mau kamu coba bekerja kantoran dulu. Misal kamu bisa melewati apa yang Sinbah ceritakan tadi, lanjutkan saja berarti itu jalanmu. Kalau tidak, kalau kamu ndak kuat, kamu bisa berhenti. Dan memulai usaha sendiri. Tapi setidaknya mentalmu sudah diuji."

Pria itu kembali menjeda kalimatnya. "Kalau kamu bangun usaha setelah keluar dari kantor karena tidak tahan dengan tekanan kerja di tempat orang. Kamu bisa jadikan itu pemicu semangat wirausahamu. Setiap kali usahamu gagal, ingat kalau lebih baik kerja sendiri daripada ikut orang lain. Jadi, kamu bisa bertahan debgan semangat itu. Paham?"

Ayun kembali mencerna ucapan kakeknya perlahan.

"Jadi, Simbah mau aku coba dulu kerja kantor? Kalau enak lanjut terus. Kalau nggak enak, nggak kuat, aku boleh keluar dari tempat kerja bangun usaha sendiri agar tidak mengalami hal buruk seperti yang aku alami di kantor, begitu?"

KALAM MAYA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang