Chapter 24.

24 4 2
                                    

Sudah pencet tanda bintang di pojok kiri belum sayang-sayangku? ٩(◕‿◕。)۶

◂◂ ► Ⅱ ▸▸

"Lu–kenapa manggil dia Reval?"

Valery disana sudah dibanjiri keringat karena pertanyaan tersebut. Entahlah, ia tak tahu kenapa tadi dia memanggil seperti itu. Dia berkutik dalam kediaman. Resta yang sedikit berada dibelakangnya juga sama terdiam. Kepala Valery terasa kosong, ia tak tahu apa alasannya, dan dengan dalih alasan apa yang harus ia gunakan. Masih terbanyangi pertanyaan Nabila tadi.

"Ah, itu lu salah denger aja kali, dia manggil gue Resta, kok," pada akhirnya Resta berucap menengahi. "Gue yang dipanggil aja merasa, kok, kalau Valey manggil nama gue. Buktinya pas Valey manggil, gue sahutin."

Tak ada respon dari keduanya. Suasana seketika menjadi senyap. Resta pun kembali menjadi pencerah pembicara lagi, "Eh, yaudah, kuy. Langsung ke ruangan belajar aja. Nanti semakin lama ngerjainnya lagi."

"Eh, iya, yah. Yaudah, yuk," sahut Zahva kemudian mereka semua bergegas pergi ke ruang belajar di rumah Resta.

Iya, sih, benar. Mungkin Nabila hanya terdiktasi dengan khayalan dalam otaknya saja karena tak fokus. Tapi, sungguh, kok, Nabila mendengarkannya dengan jelas dan itu bukan hanya sekali saja, tapi dua kali.

Hah, entahlah. Sepertinya memang kupingnya saja yang salah dengar atau mungkin memang Resta berusaha berdalih untuk melindungi Valery?

•❅•

Semuanya sudah pulang. Resta juga baru pulang sehabis dari mengantar Valery pulang ke rumahnya. Tadi, saat di depan pagar putih rumah Valery, seperti biasa Resta menerima tatapan binar yang diberikan olehnya. Tapi, entah mengapa binar tersebut berbeda dari yang biasanya, lebih cerah, terpatri rasa sayang disana, namun Resta merasa itu bukan untuknya.

Memang fokus pupilnya bertuju pada bola mata hitam Resta, tapi Resta merasa Valery tak menganggap kalau dirinya ini adalah benar Resta. Tatapan sayang tersebut terasa tak bisa diterima Resta karena Valery seperti menganggapnya adalah orang lain.

Resta menutup pintu dengan muka lesuhnya. Saat menatap ke arah depan Resta dibuat terkaget karena Aji dan Saddam yang masih duduk di sofa ruang tamu sana, menatapnya nyalang.

"Sejak kapan lu ada di rumah gue?" Resta menunjuk Saddam.

"Gue yang manggil," sahut Aji dari sofa sebelahnya. "Ada apa lu sama dia?"

Resta terdiam, lalu berjalan mengacuhkan mereka, "Gak tahu."

"Res, gue tahu itu tadi bukan kesalahan," ucapan Aji tersebut berhasil menghentikan pergerakan Resta yang baru ingin mengambil air, "Gue denger jelas nama siapa yang dia panggil tadi."

"Sejak kapan, Res? Baru-baru ini?" ikut Saddam menanyakan.

Resta meletakkan kembali gelas kaca tersebut, "Udah dari 2 hari yang lalu." Resta terdiam sejenak sebelum mengeluarkan kembali suaranya, "Gue juga gak kenal siapa nama cowok yang dia sebut itu." Resta tampak diam sejenak, tampak berpikir dalam diamnya, "Dan gue baru sadar setiap dia begitu, belakangan ini kesan tatapannya berbeda. Seolah natap gue bukan diri 'gue' ini."

"Lu gak pernah nanya? Gak pernah marah?" tanya Saddam.

"Gimana mau nanya. Keadaannya selalu gak tepat," jawab Resta.

ValeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang