Chapter 15.

39 6 7
                                    

Hai, gimana kabar kalian Sabtu ini?

Happy Reading!

◂◂ ► Ⅱ ▸▸

Resta memberhentikan motornya dibawah sebuah pohon mangga, tepat di depan sebuah rumah yang cukup lebar dengan tanah halaman yang luas. Valery sudah turun dengan terburu-buru dari motornya dan langsung melempar helm itu begitu saja ke dekapan Resta, padahal dirinya belum menstandarkan motornya. Ia melihat Valery yang berlari menghampiri seorang wanita yang tengah tersenyum di depan rumah tak berpagar ini.

Valery langsung jatuh di dekapan Azizah, dengan mata yang masih berkaca-kaca ia bertanya kepada wanita itu dengan suara yang sumbang karena di sepanjang perjalanan ia tak bisa menghentikan air matanya yang menetes. "Ibram mana, bunda?"

Azizah yang mendekap Valery menatapnya tak mengerti. Ia datang dengan keadaan yang kacau, juga sebelumnya sangat terburu-buru menghampirnya seperti seakan-akan kehilangan seseorang, "Apa yang kamu maksud? Ibram di dalam."

"Halo, kakak!" suara nyaring berkesan riang tersebut datang dari seorang anak kecil berumur 8 tahun yang menyembulkan kepalanya dari daun pintu.

Valery langsung berlari ke sosok anak kecil tersebut. Berjongkok dihadapannya dan meraba-raba segala tubuhnya, "Ibram. Kamu gak apa-apa, kan?"

Anak itu malah tersenyum riang nan teduh.

"Kakak," panggil seorang anak berumur 14 tahun yang satunya lagi, baru muncul dari dalam.

"Kenan," Valery balas memanggil.

"Kakak, maaf. Tadi, nih, Ibram usil. Tadi dia lagi sendirian di rumah, tante Azizah belum pulang waktu itu, dan Kenan lagi di depan nyapu halaman. Ibram tadi mau ngambil gelas minum di atas galon cuma gak bisa. Dia udah manggil aku tapi aku gak denger. Ngeliat ada handphone aku diatas etalase dia langsung nelpon nomor kakak. Dia minta tolong itu karena dia gak bisa ngambil gelas diatas galon dan gak ada yang nyahutin dia pas minta tolong itu, eh tau-taunya handphone Kenan langsung mati," cerita Kenan, penjelasan mengenai kejadian tadi.

Valery yang pupil matanya tadi melebar mulai menunjukan sedikit kelegaan.

"Kenan yang ngeliat riwayat telepon, langsung tanya alasan kenapa Ibram nelpon kakak. Setelah tau, aku udah nelfon kakak berkali-kali tapi gak ada jawaban dari kakak."

Valery menghembuskan nafasnya panjang, kepanikannya serasa keluar dari hembusan itu. Ya, nampaknya karena fokusnya sudah kemana-mana juga suara di sekeliling jalanan membuat Valery tak sadar kalau ada suara dari teleponnya.

Ia yang sedari tadi masih memegang kedua lengan Ibram, menatap adik terkecilnya. Ibram hanya membalas dengan kekehan polosnya.

"Yaampun, Ibram..." lenguh Valery sambil menundukan kepalanya.

"Bunda kira ada apa," Azizah mendekati posisi Valery. "Bunda baru pulang, ngeliat kamu yang kocar-kacir gitu bikin panik." Ia kemudian mengelus kepala Ibram pelan,"Ibram gak boleh kayak gitu lagi, ya nanti. Telepon kakak boleh tapi jangan bikin panik."

"Ibram gak tahu, tadi soalnya kan tiba-tiba hp bang Kenan mati," ucapnya dengan nada anak kecilnya itu.

"Minta maaf, Ibram," ucap Kenan dibelakangnya.

"Minta maaf, kakak," Ibram menyentuh salah satu lengan Valery, memintanya untuk mengangkat kepalanya.

Valery gak bisa marah. Kesal tentu kesal. Jantungnya berasa pergi entah kemana sedari mendapat telepon tersebut. Tapi dia memang gak akan pernah mau marah kepada adik-adiknya, apalagi melihat sifat kepolosan anak-anak dari Ibram. Valery hanya tersenyum lalu mengelus pucuk kepala Ibram.

ValeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang