Chapter 27.

5 1 0
                                    

◂◂ ► Ⅱ ▸▸

Nabila berjalan bersisian dengan Anin melewati koridor yang menuju kearah kelasnya. Kejadian kemarin hari benar-benar tak disangka. Nabila menyeringai kecil ketika kayu pintu telah diraihnya. Teman-teman sekelasnya tampaknya berbisik-bisik masih membahas kejadian menghebohkan kemarin.

"Kejadian yang kemarin malah bikin rameh aja gak, sih?" ucap Nabila kepada Anin disampingnya.

Benar saja. Hampir semua orang di sekolahnya kini tengah mengeluarkan nama Valery dari mulut mereka. Berita dan kejadian tersebut sudah begitu menyebar.

Anin hanya membalas dengan deheman kecilnya. Tatapannya kosong menatap lantai mengkilat.

"Eh, tapi-" Nabila melepaskan kaitan tali tasnya pada pundaknya, lalu duduk diatas kursinya, "Gue jadi penasaran deh, sosok Revaldy yang sebenarnya kayak gimana."

Anin masih berdiri di depan meja Nabila, tanpa ekspresi memandang teman dari sekolah dasarnya lalu dipertemukan kembali di SMA kini.

Nabila menggeleng-gelengkan kepalanya miris, "Gak nyangka gue dia jadi gila, udah lama juga ya, ternyata, kayaknya?"

"Siapa yang lu kata gila?" sahut sinis suara laki-laki dari dua meja di pojok belakang. Aji mengangkat buku yang ia buat tadi untuk menutupi wajahnya, sedari tadi dia sangat mendengar pembicaraan yang keluar dari mulut Nabila. "Bukannya lu yang gila? Gue tahu selama ini lu udah naif di depannya. Teman lu lagi susah, alih-alih ada disampingnya tapi malah ngomongin dia dari belakang."

Nabila memasang muka kesutnya menerima omongan dari Aji tersebut.

Aji mulai berdiri dari kursinya, berjalan kearah Nabila dengan tangan di dalam saku celananya. Ia membungkukkan punggungnya, menyemaratakan bahwa wajah Nabila benar-benar ada di depannya kini, "Capek, ya, selama ini jadi orang munafik?"

Wajah Nabila semakin masam. Giginya berkeretak di dalam mulutnya yang tertutup rapat. Aji kemudian menegakkan tubuhnya, lalu berjalan keluar dari kelas.

Nabila masih menatap cowok itu kesal dengan tatapannya yang seolah-olah mengeluarkan kilatan merah, tangannya diatas meja ia kepalkan rapat-rapat.

"Lu gak akan mulai, La?" sahut Anin tiba-tiba dengan masih berdiri, "Kesempatan lu buat ngedapetin Resta lagi, karena kebetulan Valery sekarang jadi gila."

Anin tahu kalau Nabila sudah menunggu waktu-waktu ini sedari lama. Ini akan menjadi mudah untuk Nabila, bukan?

Nabila sempat sejenak mengedipkan matanya berkali-kali selagi menatap Anin, kemudian mulai mengeluarkan senyum berartinya, "Ya, ntar aja."

•❅•

Seharusnya ia tak pergi ke sekolah. Seharusnya ia tetap berada di rumah. Seharunya ia mengunci dirinya di dalam kamar. Derau-derau itu yang terus membayangi Valery. Memang harusnya ia begitu. Harusnya ia tak bersikeras untuk berangkat ke sekolah dan tak mengacuhkan saran dari ibu.

Valery tak tahu kenapa orang-orang menertawakannya. Bisik-bisikan orang setiap kali Valery melewati mereka dan tatapan menjudifikasi mereka. Valery tak tahu kenapa bisa ada video dirinya yang tersebar. Berulang kali orang-orang menontonnya; sengaja dengan volume yang begitu besar. Valery tak tahu sosok apa yang berada di dalam video tersebut.

Dirinya kini menelungkupkan dirinya dalam ketakutan, di bawah pohon besar yang daunnya melingkupi, Valery meloloskan diri dari UKS, karena di UKS pun orang yang tengah sakit di dalamnya memandang dirinya aneh. Ia mencoba berbaring di atas kasur, namun suara erangan tersebut terus menghantuinya. Berbeda dengan disini, suara berisik tersebut terganti dengan suara gemerisik daun. Walau nafasnya masih tak beraturan, dentuman di dadanya masih terus memukulnya kuat nan sakit, dan 'orang itu' tak ada.

ValeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang