Chapter 26.

36 6 3
                                    

◂◂ ► Ⅱ ▸▸

Cuaca entah kenapa sekarang bercampur menjadi kelam dan dingin. Sinaran matahari sudah tak bisa menghangati mereka lagi. Cuma angin dingin yang terus mulai datang.

Sama seperti Farhan yang berjalan kesana-kemari seperti daun yang sudah tergeletak jatuh ditanah sana terseok-seok dibawa angin dingin. Dinding berwarna maroon di samping kiri mereka terasa seperti akan menghimpitnya, ditambah lagi dengan Karina yang kini tengah bersamanya masih mengelus-ngelus kedua lengannya gelisah dengan sisa tegukan isakan sehabis mengeluarkan segala cerita mengejutkannya ia di hari ini. Keduanya sekarang tengah berada di depan teras rumah Valery.

"Kita gak bisa gini terus, Han," keluh Karina lagi. "Gue- gue- gak bisa lagi-"

"Lu diem dulu, Rin! Tolong hentiin isakan tangis lu yang gak guna itu!!" ucap Farhan marah, suaranya terasa menggema.

Karina menggigit bagian dalam bibirnya, merengkuh dirinya sendiri dengan tundukan kepala yang semakin dalam, berusaha menahan isakannya seperti apa yang diperintah Farhan. Farhan kemudian mengeluarkan nafas resahnya, menangkup kedua pundak perempuan di depannya ini, "Sorry."

"Gue gak bisa lagi, Han, ngeliat Valey kayak dulu. Lu pasti udah tau segala ceritanya dari Bang Oki, kan?"

"Iya, gue tau, Rin."

"Kalau semakin dibiarin, bakal ada banyak yang akan tersakiti lagi. Apalagi Resta. Semuanya juga akan balik lagi ke Valery," Karina tersenggukan.

Farhan masih terus mengusap kecil pundak Karina dengan tatapannya yang sama sedih. Farhan tak tahu harus berbicara apa. Beritanya tadi, masih menjadi hantaman batuan tajam. Rasanya, belum lama ini Farhan mendengar lebih jelasnya dari Oki, sekarang hal itu benar-benar terjadi lagi di depan matanya.

"Kenapa ini selalu terjadi di akhir tahun sekolah?"

Ya, kenapa ini selalu terjadi di tahun terakhir sekolah.

"Lu harus tenang, Rin. Kalau kita kayak gini terus percuma. Kita gak bakal ngeluarin solusi kalau lu terus-terusan gak tenang," Farhan sedikit menekan pundak Karina agar perempuan tersebut mau membalas tatapannya, "Lu tenang dulu, key? Apapun keputusannya, kita cuma harus selalu bisa ada di sisi Valey."

Karina menganggukkan kepalanya, "Iya, harus."

•❅•

Dentingan alat makan saling beradu di bawah kilauan lampu gantung besar dan mewah. Lapisan kaca diatas meja itu memantulkan mimik wajah mereka masing-masing. Semuanya tampak senang dan baik-baik saja. Kecuali, satu orang, yaitu Resta, yang sedari datang ke tempat ini terus menundukan wajahnya murung tak semangat. Tunggikan senyumnya hanya dikeluarkan jika orang tua bukan kandungnya itu bertanya padanya.

Melihat itu Nadia yang duduk disampingnya menyikut pinggang Resta– membuatnya sedikit tersentak dan berdelik kearahnya. Nadia memberikan senyum manisnya sambil memiringkan kepalanya ke kanan sedikit– mengkode agar setidaknya Resta mau tersenyum lebih lama lagi. Dia tak mau semuanya jadi ikut khawatir karena melihat wajah Resta yang selalu tertekuk ini.

"Resta, bagaimana salmon en croute-nya?" tanya mama Nadia.

"Oh, enak tante," berulang kalinya lagi Resta memaksakan senyumnya.

"Oh, ya, mah. Nadia sama Resta udah ngerencanain kampus yang mau kita tuju," ucap Nadia membuka topik lagi.
"Oh," sahut papa Nadia. "Bagus, dong. Gimana? Jadi kalian untuk kuliah di kampus yang sama?"

ValeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang