Chapter 38.

6 1 0
                                    

◂◂ ► Ⅱ ▸▸


"Kita cukupkan dulu ya, Valery, terapi kali ini."

Seperti pada biasanya, tak ada sahutan respon apapun dari Valery. Dan seperti pada biasanya di belakangan ini, tatapan Valery semakin kian kosong.

Ia berdiri, dituntun oleh salah satu perawat wanita yang turut membawanya keluar. Sang perawat melakukan kontak mata pada laki-laki yang sebaya dengan Valery. Ya, tatapan tersirat yang tertelan dengan kasar oleh sang lawan.

"Semangat, Valery. Kamu pasti bisa," ucap si perawat sesaat ia telah berada di rengkuhan telapak Revaldy.

Lagi-lagi, Valery membalasnya dengan tatapan tak bernyawa.

"Makasih, sus," ucap Revaldy.

Perawat tersebut melipir, menyisakan Valery dan Revaldy di lorong koridor.

Revaldy menyamakan tingginya dengan Valery, lalu tersenyum lembut, "Kerja bagus, Val."

"Lu beneran ada disini, kan?"

"Iya, gue ada disini. Gue nyata."

"Jangan tinggalin gue lagi," Valery menurunkan tatapannya.

Ini bukanlah sekalinya Valery mengucapkan runtutan kalimat tersebut. Tentu setiap mendengarnya relung hati Revaldy kembali terhantam. Semuanya masih menjadi kesalahannya dan Revaldy pun tak bisa juga untuk memaafkan dirinya sama sekali.

"Maaf. Gue gak akan ninggalin lu lagi, gue akan tetap disini, selalu nemenin lu."

Dan kata maaf pun bukan sekalinya saja diucapkan oleh Revaldy, meski tahu makna maaf tersebut tampaknya tidak terbalaskan, tidak ada harganya, dan usahanya untuk selalu menemani Valery di masa kini pun juga tidak dapat menembus segala kesalahannya.

Rasa-rasanya Revaldy selalu ingin menitikkan air matanya setiap melihat kondisi Valery kini. Perempuan itu tidak bisa tidur sama sekali, berat badannya hilang, menyisakan kerangka tanpa bahan, mata yang gelap beserta sorotnya, dan bibir yang tidak ada warnanya lagi. Namun demikian, Revaldy harus menyembunyikan kesedihannya supaya rasa semangat untuk bangkit bisa tersalurkan kepada Valery.

"Kita tebus obat dulu, ya," ucap Revaldy.

Valery menganggukinya.

"Gue capek, Val."

Revaldy kembali tersenyum, "Lu bisa, Val. Gue yakin lu bisa. Semangat!"

Valery masih menunduk, menatap sepatu putih bersihnya yang selalu dicuci oleh Ibu setiap Minggu. Sepatu bersih—kontras dengan kepribadiannya.

Revaldy mengulurkan telapak tangannya, wajahnya ditatap oleh Valery sesaat, lalu jari telunjuknya diambil olehnya untuk digenggam. Berjalan mengarah tempat penebusan obat.

Kalau saja, manusia diberikan kesempatan untuk memiliki kekuatan ajaib, Revaldy akan meminta untuk diberikan kekuatan menyembuhkan orang. Atau mungkin kekuatan untuk mengutar ulang waktu sehingga ia masih bisa selalu ada untuk Valery baik dimasa sulit maupun senangnya.

Betapa bodohnya ia dan betapa egoisnya ia. Revaldy tak akan pernah lepas dari umpatan terhadap dirinya sendiri.

•❅•


Jika Resta disuruh menjabarkan hal rumit apa yang ada di dunia ini, sepertinya Resta akan meletakkan dunia fashion dan make-up wanita di urutan kedua setelah bagaimana cara mengatasi overthinking akan UTBK.

Warna merah dan cream yang samar pada kulit, Resta tak mengerti apa perbedannya. Semuanya sama saja. Belum lagi Nadia mengajaknya ke counter butik milik bundanya. Ah, terkait pertemuan hari ini, bukanlah kemauan Resta pastinya, melainkan ajakan bundanya.

ValeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang