TDL - CHAPTER 9

25 8 4
                                    

-
-
-
-
-***-

Jujur Enzy lebih suka naik sepeda ke sekolah ketimbang naik mobil, naik sepeda lebih mengasikkan, menurutnya. Tapi sayang sepeda kesayangannya masih berada di markas.

Ia sudah beberapa kali meminta Yaksa untuk mengambilkannya, tapi laki-laki itu sangat sibuk. Bahkan selama hampir satu minggu Enzy belum bertemu dengan Yaksa, dan selama itu pula Enzy belum kembali ke markas, terlebih karena Yaksa melarangnya.

Ntah karena apa, Enzy tidak tahu. Bukannya laki-laki itu yang memintanya untuk bertahan?, tapi kenapa sekarang dia melarangnya untuk datang?, sangat sulit untuk di mengerti.

Setelah sejarah panjang yang Yaksa ceritakan beberapa hari silam, Yaksa meminta Enzy untuk tidak memikirkan hall itu berlebihan, dan biarkan Zayn melakukan tugasnya sebagai Informan.

Enzy menurut saja ia hanya perlu memercayakan semuanya kepada Yaksa. Ia tidak boleh sampai melupakan tujuan utamanya ke Indonesia hanya karena sejarah selama 4 tahun terakhir yang Yaksa ceritakan.

"Morning Enzy" sapa Widi saat Enzy dan Riya memasuki kelas.

Rutinitas yang sudah menjadi kebiasaan dari sang sekretaris yaitu menyapa Enzy di pagi hari. Enzy tidak merasa keberatan, toh hanya sapaan ringan, dia selalu membalasnya.

Enzy menoleh sekilas "Morning Wid" jawabnya singkat lalu duduk di bangkunya.

Bisa dibilang Enzy sangat menyukai kelas yang ia tempati saat ini, selain nyaman, teman-temannya juga ramah, baik, dan tidak terlalu kepo soal kehidupan pribadi masing-masing.

Enzy terhitung orang yang jarang omong, dan beberapa orang mengatainya angkuh, tapi teman sekelasnya selalu memperlakukannya dengan baik. Mereka selalu memaklumi bahwa setiap orang memiliki sifat dan karakkter yang berbeda-beda, jujur Enzy sangat menyukai itu.

Mungkin benar jika sekolah yang saat ini ia tempati sangat bagus, elit dan terpandang.

"Enzy?, ini caranya gimana?" tanya Riya, sambil menyodorkan buku ke arah Enzy.

Enzy menatap soal matematika yang baru saja Riya temukan random dari dalam bukunya. Enzy diam, seingatnya ia sudah mengajari Riya materi yang sama tadi malam?.

"tadi malam aku baru saja mengajarimu" kata Enzy

Riya, kurang begitu mahir dalam mapel Math tapi pintar dalam hall sejarah dan ilmu kedokteran "Lupa, Hehehe" ucapnya sambil menyengir.

"ayo dong En, nanti keburu dateng gurunya, jelasin sekali lagi okay!" bujuknya.

Jam pertama di hari ini adalah mapel matematika, beberapa hari yang lalu sudah disepakati jika hari ini akan ada Ulangan Harian. Syurga bagi Enzy dan neraka bagi Riya, sehingga gadis itu mati-matian belajar demi sekedar mendapatkan nilai diatas rata-rata.

"Eeeen" Riya terus merengek, tapi Enzy, gadis itu tidak merespon, ia hanya diam "ya-ampun ENZYYYYY" teriaknya kesal, membuat seisi kelas yang awalnya ramai menjadi senyap, refleks menatap kearah Riya.

"Riya lo ngapain sih?" tanya Fian tidak suka, pasalnya, hampir setiap saat Fian menegur tingkah over Riya "lo gak ada kerjaan lain selain teriak-teriak?, capek gue tiap hari negur lo"

"lo kalau gak tau apa-apa diem aja deh" kesalnya

Fian menghela nafas pelan "kalau ada apa-apa dibicarain pelan-pelan ya?, jangan teriak-teriak" tanyanya berusaha untuk tidak nyolot.

Karena takdir telah tertulis jika kaum adam akan selalu kalah dan mengalah pada kaum hawa, termasuk adu bacod. Semakin nyolot kaum adam semakin ngegas pula kaum hawa, apalagi kaum hawa itu Riya, tidak ada kata menyerah dalam kamusnya.

The Darkness LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang