0

1.1K 209 13
                                    

***HAPPY READING***

Panti Asuhan Snowdown, 11 tahun lalu.

"Bagaimana dengan kesehatannya?" Seorang wanita berambut bob, berpakaian modis, bertanya tanpa melemaskan pegangan terhadap putrinya yang celingak-celinguk ke sekitar. Ramai oleh anak-anak seusia, namun condong beraura murung. Itulah yang menarik perhatian gadis kecil itu.

Biarawati panti menghela napas panjang, fokus menuntun jalan. "Semenjak tiga bulan kedatangannya, dia jarang sekali berbicara. Selalu menyendiri setiap diadakan apel. Makanan pun tidak disentuh membuat kami terpaksa memberi suntikan gizi kala dia tidur. Ketutupannya membuatnya dikucilkan. Dia amat tak dianjurkan oleh kepala panti. Makanya beliau penasaran sekali kenapa kalian berminat pada Jerome."

Mereka terus menyusuri lorong asrama, melewati kumpulan anak-anak yang bermain tanpa menghiraukan orang-orang tersebut. Asyik dorong-mendorong kereta, bermain boneka, dan melakukan permainan lainnya. Dengan tatapan kosong. Tatapan pupus harapan.

"Kudengar dia pernah dilecehkan."

"Benar, Nyonya. Ibu kandungnya mendandaninya seperti anak gadis lantas menjualnya ke klub malam dengan harga mahal. Tidak hanya itu, Ayahnya pun juga sering melakukan tindak kekerasan. Di beberapa kali kesempatan, anak itu mencoba bunuh diri. Kami tidak ingin mengambil resiko dan memutuskan untuk mengurungnya." Biarawati tersebut membuka kunci sel isolasi, mempersilakan mereka bertiga masuk ke dalam.

Betapa terkejutnya mereka—termasuk biarawati penjaga—demi melihat penghuni ruangan itu tengah berusaha mengigit pergelangan tangannya, berusaha memutus arteri. Darah mengotori lantai putih, muncrat ke sana-sini.

"Astaga!" Biarawati langsung memegangi kedua lengan anak itu yang memberontak.

"LEPASKAN AKU! BIARKAN AKU MATI!"

Bergegas mengeluarkan obat, Biarawati pun segera membiusnya. Lambat laun pemberontakannya melemah. Anak itu perlahan tenang, terkulai mengantuk.

"A-apa dia selalu begitu?"

Biarawati menggembok pintu sel setelah memastikan dia terlelap, mendesah. "Selalu, setiap hari. Tampaknya dia menderita trauma psikologis tingkat kronis. Kami sudah menghubungi banyak psikolog, namun luka masa lalu anak ini terlalu berat hingga dia tak tertolong. Kami menyerah mencari cara untuk menyembuhkannya."

Anak perempuan yang bersembunyi di belakang punggung Ibunya sejak masuk panti, memandang iba bocah laki-laki di dalam sel. Dia mungkin tidak tahu apa yang menimpa bocah itu, tapi dia sedikit mengerti dari peristiwa barusan.

"Setelah melihat ini, apa kalian masih ingin mengadopsinya? Hampir semua keluarga tidak mau mengangkatnya, bahkan keluarga yang tak dikarunia anak. Mereka memilih pergi ke panti lain. Siapa juga yang mau mengadopsi anak disabilitas."

Kedua pasangan itu bersitatap sedih.

"Jerena mau!" seru si anak perempuan, menoleh ke orangtuanya. "Jerena menginginkan adik, Ma, Pa. Dia jadi seperti itu karena tidak diberi kebahagiaan. Jerena yakin, dia pasti bisa sembuh jika Jerena menyiramnya dengan cinta."

Kedua orangtuanya bersitatap lagi, mengangguk. "Hanya karena mentalnya terganggu, bukan berarti dia harus ditelantarkan. Kamu benar, Sayang. Anak itu bisa kita selamatkan."

Biarawati tersenyum cerah. "Syukurlah. Ini kabar gembira untuk panti Snowdown. Kita sudah menanti-nantikan hari dimana Jerome Kavala akhirnya diadopsi. Bukannya kami tidak ingin merawatnya lagi, namun kami benar-benar mengharapkan Jerome memiliki keluarga. Potensinya untuk sembuh meningkat."

"Kalau begitu bisa kita urus surat adopsinya sekarang juga? Sepertinya putri kami tidak sabar bermain dengan Jerome."

"Sangat dibolehkan, Tuan, Nyonya. Silakan ikuti saya." Biarawati berkata sopan.

"Mama!" Si anak perempuan cemberut. "Jerena tidak suka nama Jerome."

"Kenapa begitu, Sayang? Kamu menyukainya tapi tidak menyukai namanya?"

"Ayo ganti namanya, Ma!"

Mama dan Papanya menoleh ke Biarawati. "Apakah itu memungkinkan? Merubah nama?"

"Sesuai undang-undang Panti Snowdown, kalian diharuskan menulis Surat Permohonan Ganti Nama terlebih dahulu. Akan tetapi, karena orangtua kandung Jerome sudah hilang kontak dan Jerome tidak memiliki wali, maka kalian bisa meminta persetujuan dengan Kepala Panti," jelas Biarawati singkat.

"Baiklah." Mereka berdua mengusap bahu putrinya. "Kalau begitu Mama sama Papa pergi dulu ya, Sayang. Kamu mau ikut?"

Jerena menggeleng, duduk di depan sel.

"Diam di sana sampai kami kembali, oke? Jangan ke mana-mana. Nanti kamu tersesat. Jangan bangunkan calon adikmu."

"Siap, Ma!" Jerena hormat, kembali menatap wajah Jerome yang terlihat lelah, tersenyum.

"Mulai hari ini, namamu adalah Jeremy Bari. Kamu akan menjadi adikku." []

[END] Jeremy Bari - Fail SnowdownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang