Game Over, 18

351 49 36
                                    

"Beneran dibalikin?"

Saima mengernyit.

Wirya terkekeh, namun cowok itu tetap menerima paperbag berisi jaketnya yang Saima sodorkan sebelum mempersilahkan duduk.

Saima tidak tahu sesibuk apa Wirya, tetapi sepertinya sangat-sangat sibuk. Buktinya cowok itu sulit ditemui padahal ia hanya ingin mengembalikan jaket tetapi sulitnya bukan main. Beruntung, hari ini hal semacam itu tidak lagi terjadi.

Saima menarik kursi, mengisi tempat kosong yang Wirya tunjukkan yang mana tepat di depan cowok itu. Lalu, tatapannya mengedar pada ruangan Ćafe milik Tian. Meski tergolong tempat nongkrong yang sangat hits, ia baru pertama kali ke sini. Selain karena jaraknya jauh dari rumah, meja kosongnya yang selalu jarang tersisa membuat Saima harus berpikir ulang jika hendak ke sini.

"Makasih," ujar Saima.

Wirya menutup laptop yang sebelumnya menjadi fokus pemuda itu. "Sama-sama," balas Wirya. "Tapi abis ini traktir aku, ya," tambahnya dengan nada canda.

"Boleh." Saima menanggapi serius. Anggap saja ini sebagai ucapan terimakasihnya dengan cara lain.

"Aku cuma bercanda padahal." Wirya tidak bisa menyembunyikan senyum ketika melihat Saima mulai membuka buku menu. "Oke, ditraktir."

Wirya memanggil pelayan.

"Minum?" Tanya Saima ketika mendapati Wirya yang hanya memesan dessert.

"Nggak perlu, ini masih ada." Wirya mengangkat cangkir cappuccino-nya yang tinggal separuh.

"Oke." Kemudian, Saima menyebutkan pesanannya dan Wirya.

"Orange juice satu, fruit tart dua." Setelah memastikan pesanan yang ditulis tidak salah, barulah mbak-mbak pelayan itu pergi setelah memberi pesan untuk menunggu.

"Gimana sama sekolah kamu?" Wirya sedang tidak bilang jika pemuda itu memahami siapa itu seorang Saima Adara. Tetapi setidaknya Wirya tahu, jika topik obrolan semacam ini adalah sesuatu yang cukup Saima sukai, seingatnya dulu memang demikian.

Lalu, layaknya sebuah umpan, Saima menerimanya.

Saima bercerita. Tidak sedetail atau sepanjang seharusnya tetapi sudah lebih dari cukup bagi Wirya.

Obrolan mereka terhenti ketika pesanan datang.

"Saima ..." Wirya menggeser maju piring fruit tart-nya.

Saima berhenti mengaduk minumannya.

"Buat kamu," lanjut Wirya.

"..."

Wirya tahu jika Saima bingung. Ada kernyitan kecil disana.

"Iya, buat kamu," jelas Wirya.

Dengan wajah datar Saima, Wirya tidak bisa menebak apa yang sekarang ada di pikiran cewek itu. Namun sepertinya tidak jauh dari kalimat; kalo lo nggak mau, kenapa pesan?

Wirya tersenyum. "Aku pulang hari ini," ungkap cowok itu seraya melihat jam tangan di pergelangan. "Sepuluh menit lagi aku berangkat ke bandara."

"Kenapa nggak bilang?"

"Aku pengin ngobrol sama kamu sebelum pergi."

Saima tidak menjawab apa-apa tetapi memberi gestur jika ia siap mendengarkan yang lebih banyak lagi.

"Terima kasih."

"Buat?"

Wirya menggeleng, menolak untuk memperjelasnya dan Saima membiarkan.

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang