Meski Saima serius, tetapi nyatanya April tidak sama seriusnya."Hahaha lucu. Boro-boro mau ke club. Denger gue mau kelayapan tengah malem gini aja telinga abang gue langsung siaga satu—" Terdengar pintu diketuk dari seberang sana. "Iya, Abang, iya. Ini mau tidur kok. Lo denger itu? Traktirannya besok aja oke?"
"Oke."
"Gue tunggu. Dadah, muach."
Panggilan berakhir.
Saima menghela nafas. Ia pandang dalam diam kue yang ada di atas meja, tidak tahu seberapa lama tetapi waktu benar-benar bergulir cepat padahal berjam-jam sudah waktu berlalu.
Jam dinding menunjukkan pukul empat pagi dan Saima memutuskan naik kamar untuk membasuh wajah. Ia turun saat terdengar bel berbunyi berulang-ulang.
Setahu Saima, Mbok Asih menginap tetapi mungkin beliau sudah tidur makanya tidak ada yang membukakan pintu.
"Happy birthday cantiknya mama~ happy birthday cantiknya mama~ happy birthday cantiknya mama~~ happy birthday ... cantiknya ... mama~~~"
Tangan Saima masih memegang pintu utama, tatapannya datar.
Benar-benar masih terlalu pagi untuk membuat kegaduhan di saat beberapa orang bisa saja masih tertidur. Saima hanya berharap semoga tidak ada tetangga yang menghampiri rumahnya, karena perbuatan mamanya.
Saima paham seperti apa mamanya tetapi ia tidak menyangka jika akan seperti ini. Saima tidak sedang merasa heran dengan suara mamanya yang ketika bernyanyi lebih heboh dari bunyi petasan tahun baru sebab sudah jelas, ini bukan kali pertama ia mendengar beliau bernyanyi. Hanya saja sosok yang biasanya berpakaian elegan layaknya wanita berkelas kini malah mengenakan kostum ... badut? Entahlah, sepertinya bukan. Namun, demi apapun! Warna bajunya benar-benar membuat kepala pusing.
Tidak mau kalah, sang papa yang berdiri di samping mamanya pun mengenakan kostum serupa. Meskipun raut wajah yang beliau tunjukkan tidak berlebihan tetapi Saima tahu jika papanya sedang merasa bahagia dan ia bisa mengetahuinya hanya dengan melihat sedikit lebih dalam dari sorot mata tajam tersebut.
Mamanya masih terus bernyanyi tetapi kemudian berhenti ketika mendapati Saima yang hanya berdiri dan tidak berekspresi apapun. Sempat kaget, tetapi kagetnya tentu bukan karena surprise ulang tahun yang orang tuanya buat melainkan kepulangan mereka.
"Bubar, bubar, bubar," seru mama Saima kesal seraya melenggang masuk.
Papa Saima menggeleng kecil, tetapi tangannya menepuk pelan beberapa kali pundak Saima. "Selamat ulang tahun."
Saima meneliti kostum papanya. "Nyaman?"
"Sama sekali nggak."
"Seharusnya jangan Papa pake."
"Dan membiarkan mamamu ngambek berkepanjangan?"
Saima tersenyum. Seharusnya senyumnya bertahan lama jika saja sosok yang kemudian muncul memegang tali yang berisi banyak balon berbentuk hati tersebut muncul.
Dagu papanya menunjuk Jaendra. "Bela-belain nunggu dijam-jam sebelum subuh di bandara buat jemput mama sama papa, pacarmu baik."
Hanya itu sebelum kemudian papanya benar-benar pergi untuk masuk ke rumah. Meninggalkan Saima dengan sosok yang sudah berdiri menjulang di hadapannya.
Jaendra mengusap rambut Saima. "Baru bangun tidur, ya?" Kepala cowok itu melongok, mencari. "Mbok Asih mana? Masih tidur?"
"..."
"Maaf, ninggalin kamu," pinta Jaendra. "Kuenya udah jadi tapi gimana dong? Kamu ketiduran dan aku nggak tega buat bangunin kamu. Eh, tapi badan kamu nggak ada yang sakit, kan? Nggak ada bentol-bentol digigit nyamuk? Karena tidur di sofa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Game Over
Teen Fiction"Let's play a game." Memiliki kekasih yang bucin mampus padanya membuat Saima Adara merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari hubungannya, sekalipun melihat dari sudut mana saja seorang Jaendra Eka Maharga itu berbeda. Tidak hanya menawan dari...