Ekstra Part: Cemburu

293 48 45
                                        

Beberapa hari ini Saima memang sudah merasakan jika kondisi tubuhnya mulai menandakan gejala tidak fit, tetapi ia tetap acuh dan memaksakan diri untuk beraktifitas seperti biasanya.

Alhasil lihatlah bagaimana Saima tumbang, sekedar bangun untuk berjalan ke kamar mandi pun ia tidak mampu. Badan panas, tenggorokan kering, dan kepalanya pening bukan main.

Susah payah Saima meraih ponsel yang ia letakan di atas nakas. Helaan nafas berat itu keluar saat melihat angka jam yang tertera di sana.
Saima terlambat masuk kuliah. Belum lagi hari ini ia juga berniat mengantarkan flashdisk yang diminta kemarin oleh Kai—senior sekaligus ketua panitia di sebuah acara yang diadakan dijurusannya, dimana ia juga ikut serta menjadi anggotanya.

Sekarang Kai bahkan menelepon.
"Halo," sahut Saima menjawab Kai.

"Lo dimana, Sai? Gue butuh flashdisk-nya cepat, nih. Bisa anterin ke sini? Gue sekarang lagi ada di ruang BEM sih, tapi kalo nggak bisa ke sini gue bisa susulin lo."

"Gue anterin."

"Oh. Ya, udah gue tunggu." Kai yang berada di seberang sana terdengar berbicara dengan seseorang sebelum memanggil, "Saima."

"Ya."

"Lo dimana sekarang? Jaendra nyariin, nih. Cowok lo bilang, lo nggak ada masuk kelas terus—" Belum juga Kai menyelesaikan kalimatnya, suara lain terdengar.

"Babe."

Suara Jaendra.

"Kamu nggak masuk kelas, aku juga cari-cari di tempat lain tapi tetep nggak ada. Coba tanya sama yang lain pun, mereka nggak pada lihat kamu. Where are you? Aku chat cuma centang satu, di call nggak aktif dan sekalinya aktif malah sibuk. Kamu nggak kuliah, Babe?"

"Rumah." Hanya itu yang bisa Saima katakan karena rasa mual itu datang, ia ingin muntah namun tidak memiliki tenaga cukup untuk melakukannya.

Seolah tidak cukup menyusahkannya, tidak ada seorang pun di rumah. Kedua orangtuanya seperti biasa berada di luar kota, bekerja. Untuk Mbok Asih sendiri, sampai sekarang masih Saima pekerjakan tetapi kebetulan hari ini izin tidak masuk kerja karena katanya ada kerabatnya yang sedang menikah.

"Ada apa sama suaramu—shit." Jaendra berhenti sebelum melanjutkan dengan nada suara yang naik satu tingkat. Cowok itu panik maksimal. "Kamu sakit?!"

Saima mengangguk. Sepertinya ia lupa, jika responnya yang demikian tidak akan bisa Jaendra ketahui lewat panggilan telepon.

"Babe? Kamu masih bisa denger aku, kan?"

Sekali lagi, Saima mengangguk.
Kemudian suara keributan itu terjadi, tidak lagi terdengar suara Jaendra. Entah dimana cowok itu sebab kini suara Kai, lah yang terdengar dan memanggil namanya berkali-kali.
Saima tidak menjawab. Sekelilingnya terlihat seperti berputar-putar membuat perutnya bergejolak. Ia terlalu lelah untuk tetap terjaga lantas memilih kembali memejamkan mata.

Gelap.

Tidak tahu sudah berapa lama Saima terpejam karena begitu membuka mata, ia sudah berada di ruangan serba putih dengan aroma khas obat-obatan. Melihat ke bawah, salah satu tangannya terpasang infus.

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang