Saima tidak pernah menduga jika akan datang hari paling melelahkan. Dimana bahkan semua yang sebelumnya terasa tidak masalah baginya kini menjadi masalah.
Saima terlalu nyaman dengan keadaannya lalu saat ia terpaksa keluar dari zona nyaman tersebut, ia merasa seperti ditekan.
Hidup memang demikian. Dimana kita tidak mungkin tetap berdiri disatu tempat sama seiring berjalannya waktu dan di kehidupan Saima sekarang, ia dituntut untuk tidak hanya melakukan banyak hal tetapi juga memperluas pergaulan. Katanya, agar segalanya berjalan dengan lebih mudah. Tidak peduli apakah ia sanggup atau tidak.
Saima mencoba.
Terus mencoba.
"Saima."
Panggilan dari Tendra membuat Saima menghentikan aktivitasnya yang sedang menghapus makeup di wajahnya. Ia baru selesai pemotretan, omong-omong.
Tendra yang tadinya hanya melongok dari pintu ruang ganti yang memang dibiarkan terbuka, berjalan mendekat.
"Bisa ngomong sebentar?"
Saima mengangguk.
"Oke, langsung to the point aja karena gue tau lo nggak suka basa-basi orangnya."
"Ada masalah?" Tebak Saima.
"Keliatan banget apa gimana?" Tanya Tendra yang sepertinya tidak membutuhkan jawaban Saima karena bosnya itu segera melanjutkan, "Ada masalah, tapi sedikit tenang aja."
Saima mendapati Tendra yang nampak berpikir sebentar, seperti tengah menimbang sesuatu.
"Ini bukan masalah penting sebenarnya, selama lo bisa kerja dengan baik, kompeten, dan profesional. Tapi akhir-akhir ini gue terima banyak laporan dari anak gue yang lain." 'Anak gue yang lain' yang Tendra maksud jelas merujuk pada model di agensinya selain Saima.
"Nggak cuma satu, tapi banyak. Bikin gue mikir nggak ada salahnya dengerin mereka."
"Mereka bilang apa?" Tanya Saima setenang dan sebiasa itu, berbeda jauh dengan Tendra yang mulai memperlihatkan wajah tak enak.
"Gue nggak pernah membeda-beda kalian semua, sama aja. Nggak ada yang gue anak emaskan. Tapi, lo bisa turutin permintaan gue? Bukan karena semata-mata gue bos lo tapi buat kenyamanan bersama."
Dan ketika firasat Saima buruk, ternyata memang demikian. Terbukti dengan kalimat yang berikutnya Tendra ucapkan.
"Anak-anak bilang lo sombong, nggak pernah nyapa duluan."
Seingatnya, belum lama ini Saima juga mendapat laporan yang serupa sekali pun bukan dari satu orang yang sama. Mereka sama-sama mempermasalahkan satu hal, sifatnya.
"Setiap diajak gabung, nggak ada senang-senangnya sama sekali. Lo-nya mau tapi keliatan terpaksa."
Bukannya terpaksa, Saima hanya belum terbiasa. Akan tetapi ia berusaha sebisanya.
"Lebih ramah lagi sama yang lain, ya, Sai."
Ini bukan sekedar permintaan.
"Ngeliat gimana lo, ini hal yang sulit. Tapi mau bagaimana pun gue tau, lo pasti nggak akan mungkin ... nggak mengusahakan itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Game Over
Ficção Adolescente"Let's play a game." Memiliki kekasih yang bucin mampus padanya membuat Saima Adara merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari hubungannya, sekalipun melihat dari sudut mana saja seorang Jaendra Eka Maharga itu berbeda. Tidak hanya menawan dari...