Dalam tidurnya, Saima merasa ada yang mengusap rambutnya beberapa kali. Ia belum sepenuhnya bangun, tetapi lewat celah matanya yang sedikit terbuka ia tahu jika Jaendra tengah mengangkat tubuhnya.
Berjalan entah kemana, oh kamar."Jae."
"Tidur lagi aja, Babe." Jaendra membaringkan tubuh Saima. "Maaf, ya masuk kamarmu tanpa izin."
"Mau pulang?"
Jaendra mengangguk sambil menyelimuti Saima.
"Jam berapa sekarang?"
Kebetulan Jaendra sedang memakai jam tangan dan cowok itu segera mengeceknya. "Jam ... dua?"
Mendengarnya, kedua mata Saima terbuka sepenuhnya. Melihat dengan jelas raut lelah juga kantung hitam di kedua mata Jaendra.
Saima bangun. "Nginep aja," katanya.
Jaendra hanya menanggapinya dengan senyum tetapi kemudian cowok itu tidak lagi berdiri, duduk di pinggir ranjang."Serius," tegas Saima.
"Cuma ada kita berdua di rumah." Jaendra menggeleng. "Aku pulang aja, Babe."
Saima menatap Jaendra.
"No. Jangan natap kaya gitu."
"Kaya gimana?""Tatapanmu berbahaya banget," keluh Jaendra memegang dada putus asa. "Jangan bikin goyah, dong ... Babe. Seharusnya kamu bantuin biar aku jadi orang yang kuat pendiriannya."
"Oke." Saima menyipit. "Tapi tetep."
"Apa?"
"Udah malem."
Jaendra tertawa, menjawil hidung Saima sebelum menukas, "Malem apaan, ini mah itungannya bukan malem lagi, Babe. Pagi."
"Iya."
"Iya apa?"
"Terserah."
"Kok?"
"Hak kamu."
"Apa, sih? Jangan gemes-gemes, ah. Susah pulang aku nanti jadinya."
Tatapan Saima bertambah datar.
"Galak."
"Sana pulang."
"Emang mau pulang," ledek Jaendra. "Kasih peluk dulu tapi."
Saima memeluk Jaendra.
"Jae."
"Hm?"
"Serius?"
"Serius apa?"
"Mau pulang aja."
"Ya, serius dong. Gini-gini aku ini cowok yang serius, apalagi kalo disuruh seriusin kamu. Beuh. Jelas, aku udah maju yang paling depan."
"Apasih, Jae."
"Babe."
"Kenapa?"
"Makasih udah nemenin aku. Lega banget bisa fokus dan selesain satu bab. Tumben banget, padahal kemarin sampai satu Minggu pun meski tiap malem begadang masih aja stuck. Efek ditemenin kamu kali, ya? Jadi idenya lancar karena semangat."
Saima tersenyum.
"Semoga aja nanti kalo disuruh revisi jangan banyak-banyak. Fiuh."
Benar. Memasuki semester lima, meski sempat tertunda karena mengurus banyak hal mengenai perceraian kedua orangtuanya—Jaendra mulai mengerjakan skripsinya. Tidak berhenti sampai disana kesibukannya, cowok itu bahkan mulai magang. Meski di tempat sendiri—maksudnya perusahan yang dulu dijalankan oleh mama Jaendra tapi sekarang diambil alih oleh pamannya—Jaendra memiliki keinginan untuk memulai dari bawah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Game Over
Teen Fiction"Let's play a game." Memiliki kekasih yang bucin mampus padanya membuat Saima Adara merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari hubungannya, sekalipun melihat dari sudut mana saja seorang Jaendra Eka Maharga itu berbeda. Tidak hanya menawan dari...