Game Over, 19

343 44 51
                                    

Kedua tangan Saima menopang dagu. Dengan suara pelan ia menambahkan, "Menjadi milik orang lain."

Entahlah. Sepertinya semesta sedang tidak berpihak padanya. Buktinya, bersamaan dengan kata yang Saima ucapkan—ponsel Niken berbunyi.

Yakin seratus persen jika Niken tidak mendengar apapun.

"Halo," sahut Niken mengangkat telepon. Tidak tahu panggilan dari siapa tetapi sepertinya sangat pribadi karena cewek itu sampai pamit keluar.

Saima menegakan tubuh. Tatapan datarnya mengikuti kepergian Niken.

Benar.

Belum saatnya.

Saima menghela nafas. Selagi menunggu, ia menghidupkan ponselnya yang memang sebelumnya dalam keadaan ia matikan. Dan bukan sesuatu yang mengejutkan ketika ponsel Saima benar-benar menyala dan ketika ia membuka aplikasi chatting, ada lebih dari satu pesan dari Jaendra.

Saima hanya menatap, tetapi tidak berniat membukanya. Lagi, Saima menghela nafas.

Mengabaikan pesan tersebut, telunjuknya menekan kontak Bu Hanum yang berada di urutan tepat di bawah kontak Jaendra. Beliau ternyata mengirimnya beberapa pesan. Saima membacanya seksama.

Bu Hanum: Saya senang melihat perkembangan pesat Juanda.

Bu Hanum: Sepertinya kalian cocok dan baru saja saya pengin bilang begitu tapi sayangnya Juanda sudah lebih dulu bilang sama saya, minta dicarikan tutor yang baru.

Bu Hanum: Kenapa Saima? Padahal sebelumnya Juanda nggak begitu.

Bu Hanum: Juanda sebelumnya bilang sendiri sama saya kalo selama tutornya itu kamu, dia sama sekali tidak masalah. Tapi tiba-tiba, kekeuh minta ganti?

Bu Hanum: Apa terjadi sesuatu? Kalian nggak berantem, kan?

Saima mengerjap. Tanpa harus dibaca berulangkali pun, ia sudah mengerti. Tidak membuang waktu lama, jemarinya mencari kontak sosok yang beberapa hari ini tidak lagi bertingkah menyebalkan namun menjadi menghindarinya. Saima tidak memilikinya dan untungnya kontak Juanda menjadi salah satu dari sekian kontak yang menghuni grup kelas.

Saima sebenarnya tidak mau ambil pusing mengenai Juanda, tetapi ini masih berhubungan dengannya—tepatnya, sebuah amanat dan tanggungjawab yang harus ia lakukan.

Saima menelepon Juanda. Tersambung, tetapi pemuda itu  tidak langsung mengangkat, entah sedang melakukan apa Juanda itu sampai menunggu beberapa saat, barulah teleponnya benar-benar diangkat.

"Saima," balas Saima ketika Juanda di seberang sana bertanya dengan nada jutek minta ampun.

Juanda diam. Saima pikir, panggilan terputus karena pemuda itu tak kunjung menjawab tetapi ketika ia melihat layar ponsel, masih tersambung.

Baiklah. Akan lebih baik Saima langsung saja mengatakan apa tujuannya menelpon Juanda.

"Bu Hanum chat gue," awal Saima.

"..."

Sepertinya Juanda sudah bisa menangkap maksud dari perkataannya, makanya Saima tidak menjelaskan lebih lanjut. Ia langsung mengatakan intinya, "Kenapa mau ganti tutor?"

"Emang gue nggak boleh minta ganti tutor?" Nada bicara Juanda sama sekali tidak santai. "Anak pintar di sekolah bukan cuma lo aja, nggak usah sombong!"

"Lo tahu jawaban yang lo kasih barusan bukan maksud dari pertanyaan gue."

Terdengar Juanda berdeham.

"Lo mau ganti tutor, silakan," tegas Saima. "Ngelarang lo untuk melakukan itu nggak masuk dalam tugas yang Bu Hanum amanatkan ke gue."

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang