"Haiii."
Saima menoleh sebentar kemudian kembali mendorong lebih lebar pintu gerbang.
"Kapan datang?" Saima menghampiri Jaendra yang senderan di mobil. "Aku nggak denger suara mobilmu."
"Nggak lama, barengan mobilnya sama Pak kurir." Jaendra menunjuk seorang yang memang menjadi alasan Saima turun. Ada paket datang. "Dapet kiriman dari siapa, Babe?"
"Belum tahu."
"Tanda tangan di sini, Mbak." Saima menurut. "Terimakasih." Setelahnya sang kurir mengansurkan paket pada Saima sebelum pamit pergi.
"Paket dari luar kota."
"Oh, ya?"
"Dari Mama Papa paling."
"Cie~~~"
"Apasih, Jae."
"Jadi iri. Buka dong."
"Nanti." Saima meneliti Jaendra. "Kamu kenapa datang?"
"Emangnya nggak boleh?"
"Bukannya aku udah bilang?" Karena setahu Saima, ia sudah mengatakan jika hari ini ia akan pergi bersama April. Sahabatnya itu baru bisa menemaninya membeli buku sekarang.
"Aku cuma mau numpang mandi kok."
"Tapi kami kelihatan bukan orang yang butuh mandi."
Jaendra nyengir. "Ketahuan, ya?"
Saima mendengus.
"Aku nggak akan lama-lama kok, Babe. Beneran."
"Harusnya."
Jaendra merangkul Saima. "Emangnya kamu mau pergi sekarang?"
"Sekarang."
"Sekarang banget?"
"Kalo bisa," sambung Saima dengan nada bicara lebih datar.
Jaendra tertawa. Seharusnya berlangsung cukup lama jika tidak terintrupsi oleh ponsel cowok itu yang berdering.
Jaendra melepas rangkulannya karena harus mengangkat telepon. "Halo?"
Saima diam memperhatikan. Karena saat ia hendak masuk lebih dulu, Jaendra menahannya. Lewat tatapan cowok itu mengisyaratkan agar menunggu.
"Kenapa?" Jaendra menyahut seseorang yang di seberang sana.
Jaendra tidak banyak bicara. Melihat bagaimana raut cowok itu yang berubah tidak mengenakkan walau hanya sekejap mata, sepertinya apa yang sedang didengarkan bukan kabar baik.
"Udah?"
Jaendra mengantongi ponselnya. "Dari Janu."
"Kamu kelihatan nggak senang."
"Oh, ya?" Jaendra berdeham.
Saima menatap Jaendra.
Jaendra nyengir.
"Kenapa?"
"Jelas aku nggak senang, Babe. Aku disuruh pulang padahal mau kangen-kangenan sama kamu."
"Kita ketemu tiap hari." Dalam beberapa hari ini, seingat Saima memang begitu.
Biasanya kuliah adalah alasan yang sering Jaendra gunakan jika tidak bisa bertemu Saima. Tetapi, ada dan tidaknya kuliah pun sama saja karena akhir-akhir ini Jaendra terlihat sangat senggang.
"Dan sayangnya, tetep aja nggak mengurangi secuil pun rasa kangenku ke kamu, Babe."
Enggan menjawab, Saima memilih berjalan masuk. Ia berhenti ketika sadar bila Jaendra tidak mengikuti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Game Over
Novela Juvenil"Let's play a game." Memiliki kekasih yang bucin mampus padanya membuat Saima Adara merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari hubungannya, sekalipun melihat dari sudut mana saja seorang Jaendra Eka Maharga itu berbeda. Tidak hanya menawan dari...